Oleh:
Mochammad Reyhandhiva Elvanto Putra*
“Music, like every other art, but
especially music, makes us desire that everyone, as many people as possible,
take part in our experience of pleasure. Nothing more forcefully reveals the
true meaning of art: you are transported into others, and you want to feel
through them.” (Tolstoy’s Diary)
Saat
semuanya menjadi sulit, mereka memilih bergurau. Bagi mereka, canda mampu menepis kegelisahan yang menggelayut dalam nada-nada indah yang menari. Di
sana lah mereka bisa berkata, di
sana lah mereka tertawa, di sana lah mereka bisa terus beridiri tanpa
ragu dan selalu tegar. Bagi mereka, inilah dunia yang paling indah.
Hidup tanpa rekayasa, berteman tanpa basa-basi,
jujur apa adanya, tidak ada yang tersakiti. Tak ada koruptor ataupun
penyelewengan, tidak ada intrik untuk menyakiti atau melukai orang lain. Gaya
hidup yang seadanya menjadi kunci utama. Musisi jalanan,
nama indah bagi para pelaku seni yang bersahabat dan setia melantunkan
tembang-tembangnya. Indah dan menarik.
“Hei, orang-orang yang berkulit bersih, kulitmu tak seindah kulit hitam legamku
ini. Hai, manusia yang memakai dasi di sana! Harum parfummu tak sewangi
keringat basahku ini. Dan hei, engkau yang berdiri di antara kemewahan.
Kehidupanmu tak sebaik kemewahan gitar tuaku yang kusam. Hahaha…, aku adalah raja yang berlari tanpa
beban hidup yang berarti. Hai orang-orang...! Hahahahahaha….”
Inilah karya mereka. Mereka mampu
mengekspresikan perasaannya untuk ketegaran dan keyakinan hatinya. Untuk
bertahan hidup. Tawa dan canda bagian dari kehidupan
para musisi jalanan.
Beberapa
waktu lalu saya melewati salah satu stasiun di Jakarta,
dalam perjalanan itu saya menemukan pemandangan
yang menarik. Empat orang pria berusia sekitar 30 tahun, masing-masing membawa alat musik (biola,
gitar dan bas betot serta kendang) yang
tidak dimainkan pada setiap lagu. Lagu-lagu yang mereka bawakan adalah lagu
yang umum didengar, mulai dari lagu The
Beatles, Santana sampai Situmorang. Semuanya dibawakan dengan
santai, seolah tanpa beban.
Ini merupakan pemandang baru bagi saya, mungkin
juga bagi penikmat musik lainnya.
Mereka bukan
artis terkenal, juga bukan seorang amatiran. Semua
nada terjalin dengan baik dan sempurna.
Kelebihan mereka dibanding artis-artis label
ringtone adalah semua penonton bebas ikut menikmati lantunan lagu tanpa
harus ikut menyumbangkan uang (semacam free
rider). Penampilan mereka jauh
lebih berharga daripada para pemain musik yang terkenal di
berbagai media.
Mereka menghibur sambil mencari nafkah, namun mereka tak pernah memaksa pendengar untuk membayar.
Mungkin
bagi warga New York, London, Singapura dan Paris ini merupakan hal yang lumrah. Tapi, bagi warga Jakarta ini
bagaikan seteguk air segar di tengah “Kota
Panas”.
Tampilan musisi jalanan yang semakin profesional membuat
citarasa musik semakin meningkat. Kalau bisa
dibandingkan, kualitas musik mereka tidak kalah dengan musisi kelas internasional. Di sini
kita tidak berbicara tentang para pengamen biasa, tetapi musisi
jalanan profesional. Semakin banyak musisi jalanan yang profesional, semakin
menunjukkan kualitas kemapanan musik Indonesia dan membuat masyarakat kita
semakin belajar untuk mengapresiasi secara baik.
Hal
tersebut sudah dibuktikan oleh Klantink, yaitu musisi jalanan yang berarasal
dari kota Surabaya. Musik mereka yang apa adanya
namun kreatif, selalu menyuguhkan hal-hal yang baru. Mereka memanfaatkan barang
selain alat musik untuk dimainkan, misalnya dengan memukul lantai untuk
menghasilkan nada. Sekarang mereka telah mengukir prestasi lewat sebuah ajang
kompetisi yang digelar salah salah satu stasiun TV nasional.
*Siswa SMA Labschool Jakarta