Siapakah manusia Indonesia?

Agustus 10, 2012

Siapakah manusia Indonesia? Pertanyaan itulah yang mengawali esai karya Robertus Robet yang berjudul Gagasan Manusia Indonesia dan politik Kewargaan Indonesia Kontemporer. Dari pertanyaan tersebut lahir pembahasan lebih dalam tentang identitas manusia Indonesia. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Muchtar Lubis mengemukakan ciri kultural manusia Indonesia. Menurutnya, manusia Indonesia enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, suka takhayul, artistik dan berwatak lemah. Menurut Robertus Robet, ciri yang disebutkan Muctar Lubis menyiratkan bahwa manusia Indonesia memiliki karakter psikologis dan antropologis yang lebih banyak buruknya daripada baiknya. Lebih jauh lagi, Robet mengemukakan bahwa kritik Moctar Lubis tentang manusia Indonesia merupakan kritik modernis terhadap realitas empirik dari konstruksi Manusia Pancasila Orde Baru.
Identitas dan kewargaan tidak memiliki tetapan dan tidak stabil karena pendirian-pendirian dasarnya terbentuk sebagai hasil dari kontestasi dan relasi kekuasaan yang bisa terus-menerus berubah seiring dengan dinamika yang melatarbelakanginya. Setiap kali membicarakan persoalan kewargaan, maka tidak bisa terlepas dari suatu konstruksi tertentu mengenai subyek politik modern dalam relasinya dengan praktek politik, hukum, sejarah dan kekuatan-kekuatan ekonomi serta kebudayaan. Konsepsi kewargaan bergerak dan berubah seiring dengan berbagai relasi dan kontradiksi dalam matriks ekonomi-politik Indonesia.

Politik Orde Baru dimulai dengan politik kewargaan yang ditangkup dalam suatu politik kebudayaan yang dari awal dimaksudkan untuk mengintegrasikan wilayah mental dengan wilayah biologis dan dirumuskan dengan sebuah konsep antropologi politis bernama Manusia Pancasila. Dari konsepsi tersebut dilanjutkan dengan gagasan kewargaan yang lebih halus, yakni ‘manusia Indonesia seutuhnya’. Politik kebudayaan berupaya menurunkan konsepsi ‘manusia Indonesia seutuhnya’ ke dalam bidang-bidang kehidupan melalui institusi kebudayaan dan pranata sosial. Tantangan terbesar politik kewargaan Orde Baru datang dari dua arah. Pertama, dari konsepsi mengenai kelas, dan yang kedua dari konsepsi mengenai manusia universal dalam gagasan HAM. Gagasan kelas menyodorkan suatu tantangan yang berbasis pada fakta brutal mengenai ketidakadilan akibat perbedaan kepemilikan sumber daya dalam masyarakat, sehingga masyarakat tidak dapat digeneralisasi atau distandarisasi. Dalam gagasan ini, konsep kewargaan Orde Baru lebih merupakan operasi ideologis untuk menciptakan ilusi mengenai keseimbangan dan keteraturan tatanan. Sedangkan, gagasan HAM menantang pandangan ‘manusia Indonesia seutuhnya’. Negara tidak berhak mengklaim ‘memiliki’ warganya atas nama nasionalisme.

Misalnya dalam kasus Ahmadiyah, hak sebagai warga hanya berarti apabila identitas Ahmadiyah-nya diakui. Jika identitasnya ditanggalkan, maka lenyap pula keseluruhan sistem identifikasi universalnya. Bagi mereka, hak sebagai warga akan berarti jika eksistensinya sebagai Ahmadiyah diakui terlebih dahulu. Selain itu, dalam kasus sakralitas tubuh perempuan jelas terlihat bahwa perempuan belum dipandang sebagai suatu kekuatan politik dengan basis identitas yang kuat sehingga rekonstruksi mengenai tubuhnya sendiri tidak muncul dalam kontestasi politik kewargaan Indonesia. Dalam kasus kemiskinan pun negara tidak memiliki kekuatan untuk mentransformasi identitas subyek ekonomi kemiskinan ke subyek kesejahteraan. Di titik inilah ditemukan bahwa konstruksi politik kewargaan yang dilakukan negara terbatas pada bentuk ‘kewargaan politik’ bukan ‘kewargaan sosial’. Kesimpulannya, Indonesia kontemporer tidak memiliki konsepsi dan praktek kewargaan sosial.
 
Design by Pocket