Kemiskinan dan Ketidakmerataan Akses Pendidikan

November 09, 2010


Pendidikan dan Hak
Kompetisi dalam segala aspek kehidupan ekonomi dan perubahan kebutuhan yang cepat didorong oleh kemajuan ilmu dan teknologi. Maka dari itu, untuk memenuhi perkembangan ilmu dan teknologi, diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Oleh karenanya, pendidikan di Indonesia perlu ditingkatkan dalam hal pemerataan akses bagi semua kalangan. Pendidikan menjadi landasan kuat untuk meraih kemajuan bangsa di masa depan, bahkan pendidikan merupakan bekal dalam menghadapi era global yang sarat akan persaingan. Dengan demikian, pendidikan menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi. Karena, pendidikan telah menjadi faktor determinan bagi suatu bangsa untuk bisa memenangi kompetisi global.
Dengan melihat latar belakang tersebut, pembangunan pendidikan seharusnya menjadi salah satu prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional. Pembangunan pendidikan sangat penting karena perannya yang signifikan dalam mencapai kemajuan di berbagai bidang: ekonomi, politik, sosial dan budaya. Maka dari itu, pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak setiap warga negara dalam memperoleh layanan pendidikan guna meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, yang mewajibkan pemerintah bertanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan kesejahteraan umum. Semua warga negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran tanpa terkecuali, baik ’yang kaya’ maupun ’yang miskin’. Namun, ketidakmerataan akses terhadap pendidikan di Indonesia masih menjadi suatu masalah klasik yang hingga kini belum terselesaikan.

Ketidakmerataan Akses Pendidikan
Krisis global membuat kehidupan semakin sulit, bahkan telah menjadi suatu dilema yang belum terselesaikan. Salah satu problematika yang nampak adalah semakin meningkatnya jumlah penduduk miskin di Indonesia. Hal ini akan berdampak pada rendahnya tingkat pendidikan yang dapat dirasakan oleh mereka. Kemiskinan itu pula yang menyebabkan sebagian masyarakat di negara ini lebih mengedepankan urusan perut untuk bertahan hidup daripada memikirkan bagaimana untuk membayar sekolah. Sehingga masyarakat terus terpuruk dalam belenggu kemiskinan.
Kemiskinan merupakan rintangan terbesar bagi seseorang untuk memperoleh hak-hak pendidikan mereka. Padahal, pendidikan diyakini sebagai mekanisme untuk melakukan mobilitas vertikal secara cepat. Keterkaitan pendidikan dengan kemiskinan ini telah menjadi isu yang semakin meluas. Di Indonesia, permasalah pendidikan terletak pada ketidakadilan dalam memperoleh akses pendidikan antara Si Kaya dan Si Miskin.
Kesenjangan partisipasi pendidikan yang terjadi berpengaruh terhadap upaya penuntasan program wajib belajar yang diterapkan. Meskipun pemerintah telah menyediakan bantuan operasional sekolah (BOS) untuk jenjang pendidikan dasar, namun masih ditemukan adanya beberapa sekolah yang menarik berbagai iuran, sehingga memberatkan orang tua, terutama bagi keluarga miskin. Kesenjangan partisipasi pendidikan tersebut terlihat mencolok pada jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Faktor mahalnya biaya pendidikan menjadi pemicu terpinggirkannya masyarakat miskin dari jangkauan pendidikan. Akses mereka untuk bisa mendapatkan pendidikan yang murah dan bermutu semakin sulit diwujudkan, karena kendala ekonomi. Ketiadaan biaya benar-benar membuat mereka tidak bisa memperoleh salah satu hak dasarnya, yaitu pendidikan.
Sampai saat ini pendidikan yang berkualitas untuk masyarakat bawah belum tersentuh dalam program pendidikan nasional. Institusi pendidikan semakin tidak memberikan tempat bagi masyarakat miskin. Prestasi yang bagus sama sekali bukan jaminan untuk bisa mendapat tempat di sekolah negeri atau perguruan tinggi negeri. Bersembunyi di balik permasalahan kemiskinan, institusi pendidikan negeri mulai menutup akses bagi orang miskin guna memperoleh pendidikan yang baik. Jangan ditanya lagi hak anak-anak dari golongan miskin yang tidak berprestasi.
Kenyataannya, biaya menyekolahkan anak kaya maupun miskin dalam sistem pendidikan formal itu sama, bahkan cenderung lebih mahal bagi kaum miskin. Hal tersebut disebabkan, sekolah-sekolah negeri yang 90% pembiayaannya ditanggung oleh negara justru diduduki oleh mayoritas anak-anak orang kaya (kelas menengah). Sebaliknya, anak-anak nelayan, pemulung, buruh tani,buruh pabrik, buruh kasar, buruh bangunan, dan sebaginya justru bersekolah di swasta-swasta kecil, yang 90% pembiayaannya ditanggung sendiri. Dengan demikian, orang-orang kaya di Indonesia justru membayar biaya pendidikan lebih kecil dibanding orang-orang miskin yang harus membayar biaya pendidikan jauh lebih banyak. Munculnya ketidakadilan itu bersumber pada sistem seleksi peserta didik yang didasarkan pada besaran nilai hasil ujian yang memperlihatkan pencapaian nilai tertinggi. Sedangkan, untuk memperoleh nilai yang tinggi harus memenuhi kelengkapan fasilitas belajar dan asupan gizi dalam makanan yang dikonsumsi sehari-hari agar seorang anak bisa menjadi cerdas. Kadua hal itu hanya bisa dicapai oleh orang-orang yang mampu secara ekonomi.
Permasalahan ini dapat dilihat dengan perspektif konflik. Perspektif ini menekankan pada perbedaan diri individu dalam mendukung suatu sistem sosial. Menurut perspektif konflik, masyarakat terdiri dari individu yang masing-masing memiliki berbagai kebutuhan yang sifatnya langka. Keberhasilan individu mendapatkan kebutuhan dasar tersebut berbeda-beda, hal ini dikarenakan kemampuan individu untuk mendapatkannya pun berbeda-beda. Persaingan untuk mendapatkan kebutuhan itulah yang akan memicu munculnya konflik dalam masyarakat.
Dalam permasalah ketidakmerataan akses pendidikan, menurut perspektif ini disebabkan karena adanya kemampuan individu yang berbeda sehingga memunculkan persaingan, dalam hal ini terjadi persaingan anatara Si Kaya dan Si Miskin untuk memperoleh pendidikan. Dengan kemampuan yang terbatas, Si Miskin tidak dapat menjangkau pendidikan, sedangkan Si Kaya yang memiliki kemampuan lebih akan dengan mudah memperoleh akses terhadap pendidikan.

Lingkaran Setan Kemiskinan dan Pendidikan
Pendidikan sebagai pemutus rantai kemiskinan ternyata hanya isapan jempol belaka. Yang terjadi justru pendidikan dijadikan sebagai jembatan menuju kemiskinan. Lihat saja yang terjadi, pendidikan hanya dapat dijamah oleh mereka yang memiliki modal. Maka, bukan hal yang mustahil jika pendidikan hanya akan menjadi khayalan bagi sebagian warga negara Indonesia, mengingat orang miskin tumbuh subur di negeri ini. Akibatnya, persentasi rakyat yang bodoh dan miskin semakin tinggi.
Padahal, salah satu rencana pemerintah adalah ingin menekan angka kemiskinan. Namun, strategi yang dilakukan pemerintah justru menambah angka kemiskinan. Pemerintah menyadari, salah satu penyebab kemiskinan adalah kebodohan. Kebodohan disebabkan oleh mutu pendidikan yang rendah. Pendidikan yang mutunya rendah dan ditambah lagi dengan sulitnya akses untuk mengenyam pendidikan menjadikan permasalahan kemiskinan semakin pelik dan sulit dipecahkan. Subsidi silang berupa pemberian beasiswa bagi kalangan kelas menengah bawah yang di ambil dari biaya pendidikan kalangan atas tampaknya tidak akan efektif, karena masyarakat yang menengah atas jumlahnya tidak banyak.
Keterbatasan memperoleh akses pendidikan akan semakin menjerumuskan Si Miskin ke dalam jurang kebodohan. Perjuangan untuk keluar dari lingkaran setan kemiskinan hanya menjadi sesuatu yang utopis. Akhrinya, Si Miskin akan selamanya menjadi bodoh dan tidak mempunyai keterampilan. Karena tidak mempunyai keterampilan mereka tidak mempunyai pekerjaan, apalagi menciptakan lapangan pekerjaan. Jika menjadi pengangguran, mereka akan tetap menjadi miskin dan menjadi beban bagi keluarga, masyarakat dan juga pemerintah.

Solusi Sebagai Upaya Pemerataan
Upaya-upaya peningkatan pemerataan pendidikan bagi masyarakat miskin dan masyarakat terpencil yang disarankan oleh penulis adalah pendidikan tidak harus dibangun dengan biaya yang mahal, tetapi sekolah bisa membuat badan amal usaha sehingga siswa tidak dikenakan biaya. Kalaupun siswa dikenai biaya itu pun harus disesuaikan dengan tingkat pendapatan orang tua.
Kebijakan BOS telah ditelurkan oleh pemerintah, namun pada kenyatannya di lapangan masih banyak sekolah-sekolah yang mencari lahan untuk menarik pungutan kepada siswa (orang tua) dengan embel-embel program tertentu. Dalam hal ini, pemerintah perlu memperketat pengawasan di lapangan dan menerima serta menanggapi pengaduan-pengaduan dari masyarakat.
Memprioritaskan sekolah negeri untuk masyarakat kalangan bawah. Untuk itu, pemerintah harus mengubah sistem penerimaan peserta didik yang selama ini membuat Si Miskin tersingkirkan dari sekolah-sekolah negeri. Dalam penerimaan peserta didik pun harus didasarkan pada kemampuan sosial dan ekonomi peserta didik, tidak semata mengutamakan nilai. Namun, kita tidak dapat sepenuhnya menyalahkan pemerintah. Tampaknya, masyarakat juga harus berpartisipasi dalam membangun pendidikan yang adil. Untuk orang-orang yang berkecukupan seharusnya mau membiayai sekolah orang-orang yang tidak mampu. Selain itu, mahasiswa yang disebut sebagai ‘agen perubahan’ diharapakan bisa mengorganisir bantuan-bantuan pendidikan bagi kaum miskin. Sehingga dapat terwujud pendidikan yang adil.

Daftar Pustaka
Buku:                                                          
Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan, Yogyakarta: Lkis, 2005.
Pora, Yusran, Selamat Tinggal Sekolah, Yogyakarta: MedPress, 2007.
Tilaar, HAR, Manifesto Pendidikan Nasional, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2005.
 
Design by Pocket