Sold, Anak dalam Pelacuran di India

April 06, 2019

Rumahku hanya beratapkan jerami. Kelak jika sudah bekerja, aku akan membelikan atap seng untuk rumahku. Tapi ibuku tak menggubris niatku, dia justru menyemangatiku untuk menyelesaikan sekolah. Walau tinggal di pedesaan Nepal, ibuku tau pentingnya pendidikan. Dia mendidikku dengan sangat baik.

Hari itu hujan deras, sawah keluargaku rusak, otomatis tak ada sumber pemasukan. Ayah tidak dapat berbuat apa-apa, selain karena sawah rusak, dia juga cacat. Saat menghadiri festival desa aku bertemu Bilma, wanita yang sebelumnya tak pernah kutemui, dia menceritakan kemegahan kota padaku, dan menawarkan pekerjaan sebagai pelayan di India. Aku ragu dan menjauh darinya. Aku dan ibu melihat ayah berbicara dengan wanita itu. Entah apa yang mereka bicarakan, tiba-tiba ayah sudah membuat kesepakatan dengannya. Ayah menerima uang dari Bilma, dan menyerahkan aku padanya. Singkat cerita, entah disadari atau tidak, ayah telah menjualku, menjual anak kandungnya, Lakshmi.

Aku dibawa Bilma hingga melewati perbatasan, kemudian aku diajaknya ke sebuah bangunan, yang ternyata adalah rumah bordil. Bilma menyerahkanku pada Mumtaz, awalnya kupikir dia baik karena memberi dan memakaikan cincin di jari kakiku, belakangan aku tau kalau dia seorang germo. Kemudian dia meminta seorang pelacur mengajarkan ekspresi menggoda. Aku dipaksa untuk mengikuti, tapi tak kulakukan. Lalu aku didandani, Mumtaz mengajakku ke sebuah kamar, kakiku diikat.

Tak lama seorang pria masuk, Varun. Dia adalah pelanggan pertamaku, orang kaya yang berani membayar mahal untuk keperawanan gadis berusia 14 tahun. Aku sangat takut, ketika dia mulai mendekat dan meraba, aku menggigit wajahnya hingga berdarah, dia terdorong dan jatuh. Aku lekas membuka ikatan di kakiku dan kabur, namun anak buah Mumtaz berhasil menangkapku. Aku dimasukkan ke dalam ruangan yang gelap, dipukuli habis-habisan. Dari jendela aku meminta pertolongan, tapi tak ada yang menggubris.

Keesokan harinya ada wanita asing melintas, aku menjatuhkan bulu sebagai petunjuk untuknya, dia melihatku di jendela, aku meminta pertolongan, lalu dia memotretku. Anak buah Mumtaz melihat dan menghancurkan kamera wanita itu.

~

Aku Sophia, fotografer yang bekerja sama dengan organisasi anti perdagangan manusia, Hope House. Hari itu aku menyamar, membagikan brosur kesehatan untuk orang-orang di tempat lokalisasi. Ketika sedang berjalan, aku menemukan bulu yang terjatuh, lalu aku mencari asalnya. Ternyata seorang gadis yang menjatuhkan dari jendela sebuah bangunan. Dia meminta tolong, wajahnya sangat ketakutan. Aku hanya bisa memotretnya.

Seorang pria memergoki dan merusak kameraku. Kemudian dia pergi, tak lama setelah itu aku mendengar jerit kesakitan dari dalam bangunan. Gadis itu dipukuli dengan keras. Aku tak dapat berbuat apa-apa.

Beruntung aku masih bisa menyelamatkan foto-foto dari kamera yang dirusak. Aku bertekad menyelamatkan gadis malang itu. Aku meminta Vikram, untuk melakukan penggerebekan rumah bordil itu, tetapi dia enggan melakukannya tanpa perencanaan yang tepat. Karena persiapan penggerebekan membutuhkan waktu berminggu-minggu.

Vikram seorang mantan polisi, dia pernah datang ke rumah bordil dan melihat atasannya menerima suap. Lalu seorang gadis berlari ke arahnya dan meminta pertolongan. Beberapa hari kemudian dia kembali ke tempat itu, si gadis kecil sudah menghilang. Sejak itu dia memutuskan bergabung di Hope House sebagai mata-mata.

~

Mumtaz melakukan bebagai upaya supaya aku mau menurutinya, aku dengan tegas menolak. Tanpa sepengetahuanku, dia memasukan obat ke dalam jus, aku meminumnya. Entah apa yang terjadi saat itu, aku setengah sadar ketika dibawa ke sebuah kamar, Varun memperkosaku. Keesokan harinya, aku dibius lagi dan dipaksa melayani beberapa pria dalam semalam. Sejak itu, aku resmi menjadi bagian dari mereka, pelacur di rumah Mumtaz.

Di rumah itu aku mengenal Harish, dia seorang bocah lelaki, tinggal di tempat itu bersama ibu dan adik perempuannya yang masih balita. Ibunya seorang pelacur yang sudah sakit-sakitan. Harish mengetahui pekerjaan ibunya, ketika ada pelanggan, Harish yang menjaga adiknya.

Suatu hari Harish mengajakku bermain layang-layang di atap. Dari atas aku melihat anak buah Mumtaz mengubur mayat di pekarangan belakang. Aku merasa takut dan tak berdaya, hingga aku ingin bunuh diri, tapi seseorang berhasil mencegah.

Hari-hari berlalu, aku pasrah dengan nasibku. Malam itu aku mendapat pelanggan seorang Amerika, dia menunjukkan sebuah bulu, saat itu aku tau dia sedang dalam penyamaran, wanita asing itu yang mengirimnya. Dia memberiku kartu nama Hope House dan mengatakan akan ada penggerebekan dalam waktu dekat. Aku diminta memberi petunjuk jika Mumtaz berusaha menyembunyikanku.

Seminggu kemudian, aku dan pelacur lainnya dibawa ke sebuah klinik, menurut mereka ini hal yang rutin dilakukan untuk memastikan bahwa kami tidak memiliki "penyakit". Di malam harinya terjadi penggerebekan, kami digiring ke ruang tersembunyi di bawah tanah. Aku tak bisa memberi petunjuk karena diancam.

~

Suatu malam, aku, Vikram, Sam dan beberapa polisi menggerebek rumah bordil itu, namun kami tak menemukan siapapun. Aku yakin gadis yang kulihat di jendela dan beberapa gadis lainnya telah disembunyikan. Tapi tak ada petunjuk apapun yang harusnya dia tinggalkan. Kami pergi dari sana. Rasa penyesalan datang padaku, gadis di jendela itu selalu muncul dalam ingatanku. Bagaimana tidak, dia seusia anakku. Entah apa lagi yang harus kulakukan.

~

Keesokan harinya Mumtaz mengirim seorang pelacur ke Timur Tengah untuk dijadikan budak seks, karena dianggap membocorkan informasi soal rumah bordil itu sehingga terjadi penggerebekan. Harish dan keluarganya terpaksa harus pergi karena sakit ibunya semakin parah. Diam-diam aku meletakkan kartu nama Hope House di koper Harish. Aku merasa sedih dia pergi, karena dia satu-satunya temanku.

Hari itu aku merencanakan pelarian, ketika semua orang sedang menyaksikan acara pemujaan Dewi Kali di televisi, aku kabur melalui jendela menggunakan kain panjang yang sudah aku ikat. Penjaga hampir menangkapku, lalu kusemburkan cabai ke wajahnya, aku berhasil lolos. Tujuanku hanya Hope House, hanya itu yang aku tau. Dan di sana aku bertemu Harish.

~

Aku senang dia bisa kabur dari rumah bordil itu. Kini aku bisa melihat senyumnya. Dia ada di sini, di Hope House. Tempat banyak anak sepertinya belajar berbagai keterampilan untuk menghilangkan trauma dan supaya berdaya.

Beberapa hari setelah pelarian Lakshmi, kami mengadakan penggerebekan lagi. Lakshmi yang pemberani menjadi petunjuk bagi kami, sehingga anak-anak lain yang menjadi korban perdagangan manusia bisa diselamatkan.

Sekian.

Parched, Perempuan di Lingkaran Tradisi India

April 01, 2019

Hari ini ada pertemuan warga, dipimpin oleh para tetua, yang semuanya laki-laki. Pertemuan ini untuk membahas Campha yang kabur dari rumah mertuanya. Di rumah itu dia tidak mendapat kebahagiaan, suami tidak peduli padanya, dia hanya dijadikan bulan-bulanan oleh mertua dan saudara iparnya, dilecehkan dan disiksa, bahkan dia pernah menggugurkan kandungan karena tidak tau siapa ayah dari janin itu. Tetua memutuskan Campha harus kembali ke rumah mertuanya untuk menjaga kehormatan desa dan menghindari pertikaian dua keluarga. Aku melihat Campha menangis, memohon pada ibunya, meminta pertolongan, tapi sia-sia.

Inilah desaku, terletak di Rajasthan, India. Segala hal diputuskan oleh para tetua. Di sini laki-laki bebas melakukan apapun, tapi perempuan sangat terbatas. Apa yang ingin kami lakukan, apa yang ingin kami miliki, semua ditentukan oleh laki-laki. Mereka yang berhak memutuskan apa yang benar dan salah bagi kami. Turun-temurun hal itu dilakukan, sudah menjadi tradisi. Maka tak heran kekerasan terhadap perempuan sering terjadi, tidak hanya dilakukan oleh laki-laki, tapi juga perempuan. Seperti yang aku lakukan pada menantuku.

Aku Rani, janda beranak satu. Anakku laki-laki, Gulap namanya, aku menikahkannya dengan seorang gadis pilihanku, Janki. Dengan mas kawin 4 lakh aku membawa Janki pulang ke rumah, namun aku, anakku, dan seluruh warga desa kaget ketika melihat rambutnya yang pendek. Semua orang mengutuk dan mencelanya, termasuk aku. Keesokan harinya ibuku meninggal, semua berpikir dia meninggal karena malu melihat rambut Janki. Aku dan anakku semakin tidak menyukai Janki dan memperlakukannya dengan kasar. Hal yang biasa bagi mertua berlaku demikian, terlebih jika menantu tak sesuai harapan.

Aku merasa iba melihat kekerasan yang dialami perempuan di desaku, namun entah kenapa aku melakukannya juga, ini seperti sudah mendarah daging. Lajjo, teman dekatku, tidak ada hari yang berlalu tanpa kekerasan yang dilakukan suaminya, Manoj, karena Lajjo tidak bisa memberinya anak. Di sini perempuan yang tidak bisa melahirkan anak dianggap tidak berharga dan memalukan, maka Lajjo berhak mendapat perlakuan buruk terus menerus. Ketika kesakitan dia datang padaku, aku mengobati lukanya dengan perasaan sedih. Tapi aku tidak dapat berbuat apa-apa.

Lajjo tersakiti dan aku kesepian, sebab itu kami sering menghabiskan waktu bersama. Kami pun tak jarang saling "menyentuh", karena kami merindukan belaian lembut dan kasih sayang dari seseorang. Sebenarnya aku memiliki teman dekat yang lain, namanya Bijli, seorang pelacur. Walau dia tidak tinggal di desaku seluruh penduduk kenal dengannya. Laki-laki di desa sering menyaksikan tarian erotis Bijli, bahkan tidur dengannya. Gadis itu sangat cantik, dia memiliki aura seksi. Jangankan laki-laki, perempuan sepertiku saja bisa terbius olehnya. Aku dan Bijli jarang bertemu namun pertemanan kami masih terjalin dengan baik. Dulu suamiku adalah pelanggan setia Bijli, sampai akhirnya lelaki itu tewas dalam kecelakaan, kemudian Bijli datang, sejak itu kami berteman.

Bijli memiliki pemikiran yang terbuka, tidak tunduk pada tradisi. Dia yang menyadarkanku soal Gulap. Dia mengatakan perilaku Gulap sudah melewati batas dan harus dihentikan. Aku merasa terpukul dan marah pada Bijli, tapi kemudian aku menyadari apa yang dikatakannya benar. Gulap pernah terlilit utang karena dia hobi bermain perempuan, dia juga merusak kerajinan yang dibuat oleh perempuan desa, aku menyalahkan Janki atas semua yang dilakukan Gulap. Uangku juga pernah hilang, tanpa curiga pada Gulap aku justru menuduh Janki. Untuk menunjukan bahwa dirinya tidak bersalah, Janki rela dipukili Gulap, aku menolongnya, kuusir Gulap dari rumah.

Janki mengungkapkan perasaannya, dia merasa tertekan dipaksa menikah dengan Gulap. Dia sengaja menggunting rambutnya supaya pernikahan dibatalkan, namun ternyata tidak. Janki memiliki kekasih, mereka saling mencintai, beberapa kali laki-laki itu datang ke rumahku untuk mempengaruhi Janki, namun Janki mengusirnya. Aku menyadari kekeliruanku, aku telah merampas hidup Janki. Akhirnya aku membebaskan Janki dari ikatan pernikahan, menyerahkannya pada pemuda yang selama ini dia cintai.

Tidak hanya menyadarkanku, Bijli juga memberi harapan pada Lajjo. Dia bilang bahwa laki-laki bisa mandul, jadi ada kemungkinan kalau Lajjo tidak mandul. Untuk membuktikan itu Bijli memberi ide, Lajjo setuju. Suatu malam kami pergi mengantar Lajjo ke sebuah tempat, di sana Lajjo dan kekasih Bijli berhubungan seks. Kemudian, terbukti ucapan Bijli, Lajjo hamil.

~

Lajjo memberi tau Manoj, bukan kegembiraan yang didapat, dia justru dipukuli, dituduh berselingkuh. Lajjo bersikukuh tidak selingkuh, namun pria itu semakin marah, mempertanyakan anak siapa yang ada di kandungnya. Di situ Lajjo sadar selama ini Manoj menutupi kemandulannya. Untuk menutupi rasa malunya dia terus menerus menyiksa Bijli, membuat seolah-olah Bijli yang mandul.

"Anak itu bukan milikku, tidak akan jadi milikku, karena kau seorang pelacur."

"Mungkin aku memang pelacur, tapi aku tidak mandul. Katakanlah pada semua orang, isterimu tidur dengan orang lain, isterimu hamil, katakanlah kau tak mampu melakukannya karena kau mandul."

Semakin keras pukulan dan tendangan menghantam tubuh Lajjo. Aku datang tepat waktu, kami bertiga bergulat, sampai akhirnya pria itu jatuh ke api lalu terbakar. Aku dan Lajjo meninggalkan Manoj dalam kuburan api, kami berlari menemui Bijli di tendanya, dan memutuskan pergi dari desa itu.

Desaku, desa yang memenjara kehidupan perempuan, desa yang menolak untuk maju, karena para laki-laki takut kehilangan posisi mereka. Sayang sekali, ketika ada orang yang ingin memajukan desa, justru dihajar habis-habisan sampai sekarat. Desa terkutuk yang membiarkan laki-laki mabuk, bermain pelacur, memukuli isteri, melecehkan orang lain, dan perempuan lah yang harus membayar semuanya.

Sekian.

Perempuan vs Perempuan

Oktober 05, 2017

Setelah menikah perempuan harus bekerja dan berpenghasilan sendiri? Menurutku TIDAK HARUS selama suami ada dan mampu mencukupi kebutuhan hidup kita sebagai perempuan, ibu dan isteri. Tapi sebagai perempuan kita HARUS memberdayakan diri, mencintai diri sendiri, belajar banyak hal, berpendidikan, intinya mau meng-upgrade diri. Itu wajib, bagi perempuan yang sudah menikah maupun yang belum. Jadi meski sudah menikah dan punya anak kita tetap berdaya. Ditinggal suami? Kita masih berdaya.

Kamu mau teriak-teriak kalau ini eranya emansipasi, bahwa perempuan (isteri) harus bekerja supaya dihargai laki-laki (suami)? Agar dinilai "mahal" dan tidak akan ditinggalkan? Kalau kamu berpikir begitu, meski kamu bekerja dan punya penghasilan kamu bukan perempuan yang berdaya.

Emansipasi bukan lagi soal persaingan laki-laki dan perempuan untuk menjadi yang dominan atau sama. Tapi soal mengubah sudut pandang. Misalnya soal pekerjaan, kita (baik laki-laki ataupun perempuan) harus mengubah pandangan yang selama ini mengecilkan peran ibu rumah tangga (IRT), menganggap IRT tidak bekerja dan tidak mandiri hanya karena mereka tidak berpenghasilan. Itu yang harus ditekankan.

Kenapa saya bilang perempuan juga harus mengubah sudut pandang mereka? Karena sekarang justru perempuan-perempuanlah yang ribut sendiri. Beberapa waktu lalu sempat muncul ribut-ribut soal 'Ibu Bekerja vs IRT', di mana kedua belah pihak saling mengecilkan peran, Ibu Bekerja dianggap ibu yang tidak peduli pada keluarga, IRT dianggap ibu yang tidak mandiri, bergantung (secara finansial) pada suami.

Belum lama ini juga muncul perdebatan sengit antar sesama IRT. Ada IRT yang mencurahkan kelelahannya karena mengurus anak sampai tidak sempat untuk merawat diri. Kemudian terbentuklah dua kubu, kubu pertama sependapat dengan "curhatan" tersebut, kubu kedua menganggap "curhatan" itu terlalu berlebihan. Kenapa dianggap berlebihan? Karena, kubu kedua merasa mereka tetap bisa merawat diri dan mengurus rumah meski punya anak, dan mereka "menakuti" kubu pertama sebagai kaum yang rentan ditinggalkan suami.

Mereka merasa sama-sama hebat, itu bagus. Buruknya adalah ketika mereka saling merendahkan satu sama lain. Karena dari situ kita bisa melihat bahwa kaum kita, ya perempuan, masih banyak yang belum bisa memberdayakan diri. Mereka tidak mencintai peran mereka. Lalu bagaimana bisa kita menuntut laki-laki mengubah sudut pandang mereka soal peran kita kalau kita "meludahi diri sendiri"?!

Halo, Perempuan....

Kalau kamu ingin bekerja, bekerjalah karena apa yang kamu kerjakan bermanfaat bagi banyak orang dan tidak merugikan siapapun, bukan untuk meninggikan citra diri, apalagi untuk memenuhi gaya hidup. Kalau kamu memilih untuk menjadi IRT, lakukanlah karena cintamu pada keluarga, jadi kamu tidak akan "baper" melihat perempuan lain bekerja di luar rumah dan punya penghasilan sendiri. Kalau kamu harus merawat diri, lakukan itu untuk dirimu sendiri bukan untuk orang lain.

Surat Terbuka

Juni 13, 2015

Jangan pernah lupakan 'kita' sebagai cerita sebelumnya, jika nanti ada cerita sesudahnya. Karena di antara itu 'kita' pernah punya sebuah kalimat.


Darimana pun penghargaan yang kita dapat, itu pemberian Tuhan, hanya saja Dia memilih orang-orang tertentu sebagai perantara.

Dua tahun ini merupakan sebuah berkah yang luar biasa. Salah satu penghargaan yang melekat dan menjadi bagian dari kehidupan saya.

Jika diibaratkan sebuah buku, tentu saja saya akan melipat bagiannya, karena menjadi sebuah tanda ada kalimat penting di halaman itu.

Kalimat penting....

Mungkin hanya terdiri dari beberapa kata yang dibangun dari rangkaian huruf. Tapi, di dalam cerita, sebuah kalimat dapat menghidupkan kalimat-kalimat lainnya.

Sebuah kalimat di dalam cerita tidak dapat berdiri sendiri. Dan, saya telah berhasil menyusun kata-kata menjadi sebuah kalimat yang sesuai dengan cerita saya, tidak berdiri sendiri, walau tidak semua orang akan mengerti.

Kalimat saling terkait jika diletakan pada susunan yang tepat. Namun, tak jarang ada kejanggalan di dalam kalimat, itu terjadi ketika ada kata yang kurang atau salah susunan.

Mungkin, tak semua orang mampu menyusun kalimat dengan benar, pun dengan saya. Tapi jika kita mau membaca kalimat sebelum dan sesudahnya, kita akan tau susunan kata yang tepat untuk membangun sebuah kalimat.

Bahkan, saya membutuhkan waktu dua tahun untuk menyusun sebuah kalimat. Apakah berhasil? Entahlah, tapi kalimat itu milik saya karena bagian dari cerita saya.

"Kalianlah kalimat itu...."

Menjadi judul bab baru dalam cerita saya, juga menjadi kalimat terakhir di bab tersebut. Kalian dibangun dengan kata-kata ajaib yang mampu menyihir orang lain sehingga mereka ingin melipat halaman yang di dalamnya terdapat kalian (kalimat itu).

Dan sekarang saya akan meninggalkan bab dengan lipatan itu, menuju bab berikutnya. Lipatan mungkin akan meninggalkan bekas, tapi tak akan mengubah susunan dan makna sebuah kalimat. Karena sebuah lipatan adalah bentuk penghargaan yang belum tentu ada di setiap bab.

Salam Manipulatif. Tabik!

Menang-Kalah Bermanfaat

Juni 11, 2015

Jika dalam hal ini saya menjadi arang, saya bersyukur masih menjadi sesuatu yang berguna. Arang, terbuat dari batok kelapa. Arang biasa digunakan untuk membakar sate, jagung, singkong dan sebagainya (yang pasti bukan membakar diri dan terjun dari ketinggian 40 m). Jika dibakar menggunakan arang, rasa dan aroma makanan akan terasa khas. Selain menjadi bahan bakar, arang juga memiliki fungsi lain.

Saat masih kecil saya sering bermain demprok (mungkin tiap daerah memiliki nama berbeda untuk permainan ini), untuk menggambar kotak-kotaknya saya lebih suka menggunakan arang daripada kapur (lagi-lagi karena masalah harga), dengan harga Rp. 500,- saya bisa mendapatkan sekantong arang yang bisa digunakan untuk menggambar kotak seumur hidup (ya gak gitu juga sih). Selain itu, arang berfungsi sebagai pengatur kelembaban udara di dalam ruangan. Arang juga memiliki manfaat menyerap bau ruangan yang tidak sedap dan zat-zat yang merugikan.

Kehormatan

Mei 27, 2015



 
Apa yang tidak terlihat mata, tak akan pernah ditangisi oleh hati....


Si anjing liar dengan keberanian dan kekuatannya, si rusa betina dengan kelembutan, intuisi, dan keanggunannya. Pemburu dan buruan bertemu dan saling jatuh cinta. Sesuai hukum-hukum alam, yang satu seharusnya menghancurkan yang lain, tapi dalam cinta tidak ada baik atau buruk, tidak ada pembuatan atau penghancuran, yang ada haanyalah gerakan. Dan cinta mengubah hukum-hukum alam.

Di padang-padang tempatku dilahirkan, anjing liar dilihat sebagai makhluk feminin. Sensitif, pandai berburu karena telah mengasah nalurinya, tapi juga hati-hati. Dia tidak menggunakan kekuatan semata-mata, tapi juga strategi. Berani, hati-hati, cepat. Dia bisa berubah dalam sedetik dari keadaan santai ke keadaan siap menerkam mangsa.

Sedangkan rusa betina memiliki atribut lelaki dalam hal kecepatan dan pengenalan bumi. Mereka berdua berjalan bersama di dunia simbolis mereka, dua makhluk berbeda yang telah saling menemukan, dan kerena mereka telah mengatasi sifat-sifat alami mereka dan penghalang-penghalang mereka, mereka membuatnya menjadi mungkin. Dari dua naluri yang berbeda lahirlah cinta. Dalam kontradiksi, cinta semakin kuat. Dalam konfrontasi dan transformasi, cinta bisa bertahan.

***

“Haruskah selalu kuceritakan mitos Mongolia itu, biar kau tak meremehkan aku, biar kalian tau bagaimana cinta tanpa harus ‘memperbudak’ atas nama agama?!”

Menunggangi Si Kuning

Mei 09, 2015


Sepeda yang tumbuh bersama saya, Polygon Bike to Work. Masih ingat ketika ayah membelikan sepeda ini saat pertama kali beredar, rasanya senang karena memiliki sepeda paling keren di antara sepeda teman-teman saya. Sampai sekarang sepeda ini masih saya gunakan, biar tidak ketinggalan jaman, spek-nya saya upgrade.



Dari 4 sepeda yang saya miliki, hanya sepeda ini yang tak lekang di hati... Selamat berhari Sabtu-Minggu!

Pendekatan Penelitian Sosial

April 24, 2015


Metodologi penelitian adalah bagian yang membuat ilmu sosial menjadi ilmiah. Lalu munculah sebuah pertanyaan “apakah yang peneliti lakukan ketika meneliti?, bagaimana mereka melakukan penelitian?”, pertanyaan tersebut bukanlah pertanyaan yang dapat dijawab secara sederhana. Perdebatan mengenai ilmu sosial disebabkan oleh definisi yang kaku mengenai ilmu. Pertanyaan lainpun  muncul, “apakah yang membuat sebuah penelitian ilmiah itu menjadi ilmiah?”.

Ada tiga pendekatan dalam penelitian sosial berdasarkan asumsi filosofis berbeda tentang tujuan ilmu pengetahuan dan sifat realita sosial. Ketiga pendekatan tersebut memiliki jawaban yang berbeda-beda atas pertanyaan dasar tentang penelitian. Namun, kebanyakan peneliti hanya menggunakan satu pendekatan saja, lalu mereka mengombinasikan elemen-elemen dari tiap pendekatan.

Para tokoh sosiologi klasikal berpendapat bahwa observasi di dunia sosial yang tepat dan sistematik, digabungkan dengan pemikiran yang teliti dan cermat dapat menghadirkan jenis pengetahuan yang baru dan bernilai mengenai hubungan manusia. Namun, beberapa orang lebih tertarik dan memilih ilmu alam dan mengikuti metodenya. Alasannya sederhana, kemegahan ilmu alam terletak pada metode ilmiahnya, maka ilmu sosial pun sebaiknya mengadaptasi pendekatan yang sama. Sebagian peneliti menerima alasan tersebut, tapi hal ini masih memiliki banyak hambatan. Pertama, pengertian ilmu masih dalam perdebatan, bahkan dalam konteks ilmu alam. Kedua, banyak ahli mengatakan bahwa manusia sangatlah berbeda dari objek yang diteliti dalam ilmu alam. Itu berarti, bahwa dibutuhkan ilmu khusus untuk mempelajari kehidupan sosial masyarakat.

Pendekatan-pendekatan ini serupa dengan program penelitian, tradisi penelitian dan paradigma ilmiah. Pada umumnya, sebuah paradigama ilmiah merupakan keseluruhan sistem berpikir yang menyangkut asumsi dasar, pertanyaan yang penting dijawab, teknik penelitian yang digunakan, dan contoh bentuk penelitian ilmiah. Tiga pendekatan penelitian sosial tersebut, yaitu:

(Kayaknya) Aksi Teatrikal

April 11, 2015

Melanjutkan pos sebelumnya yang bertajuk Singkong, Gandum dan Peluncuran Jurnal, di sini saya hanya ingin berbagi hasil dokumentasi kegiatan launching jurnal terbaru dari Yayasan Bina Desa. Dalam kegiatan itu Wadon Sindikat melakukan pentas, ya semacam aksi teatrikal mungkin (yang jadi narator aja gak yakin), yang pasti dalam pertunjukan tersebut kami mengkritisi..., sepertinya tidak perlu saya jelaskan lagi karena sudah dijabarkan di Singkong, Gandum dan Peluncuran Jurnal.





Inilah beberapa perempuan yang "nyemplung" ke dalam Wadon Sindikat. Dari mana saja asal mereka? Ada yang masih mahasiswa, dosen, aktivis dan komnas perempuan, yang pasti mereka berasal dari rahim yang sama, rahim perempuan.


Singkong, Gandum dan Peluncuran Jurnal*

Maret 24, 2015

Makan singkong pagi ini membuatku ingat ketika aku mengantarkan istriku ke acara yang dia ikut tampil di dalamnya. Ia membacakan narasi. Aku tak tahu acara utamanya apa di tempat itu, sepertinya diskusi atau seminar yang menemani launching jurnal terbaru dari Yayasan Bina Desa. Banyak aktivis LSM yang kutemui di sana juga aktivis gerakan bahkan ada juga Happy Salma. Hahaha..., tampaknya menarik sekali acara ini.

Di sana aku membaca sebuah artikel gratis yang tergeletak di meja, judulnya “Kenapa Tidak Gandum?” tampaknya menarik sebab di salah satu adegan yang dipentaskan oleh kelompok yang istriku main di dalamnya menceritakan tentang pertarungan gandum dan ganyong. Awalnya aku tidak mengerti bagaimana mungkin ada makanan yang yang dipertarungkan dan itu menyebabkan budaya dan perekonomian suatu negeri dapat terkena dampaknya. Halah... terlalu jauh itu orang mengait-ngaitkan, begitu pikirku.

Statement of Purpose

Maret 20, 2015



Bertulang Besi Berkulit Kayu:
Eksistensi Becak di Pasar Cakung Jakarta Timur


Trisna Ari Ayumika


Garis Besar Tulisan

Tulisan ini menguak eksistensi becak pasca diberlakukannya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum, yang melarang beroperasinya becak di Ibu Kota, sehingga mengantarkan becak ke daerah pinggiran seperti Pasar Cakung Jakarta Timur, dan menjadikan becak sebagai transportasi yang termarjinalkan. Tujuan tulisan ini dituangkan dalam beberapa hal. Pertama, menjelaskan bahwa becak merupakan salah satu transportasi publik di Jakarta. Kedua, menceritakan eksistensi becak di Jakarta, khususnya di Pasar Cakung Jakarta Timur. Ketiga, menguak hal yang melatarbelakangi pelarangan pengoperasian becak di Jakarta.

Untuk menggali dan memperdalam tujuan penulisan tersebut, tulisan ini akan dilengkapi dengan beberapa data pendukung, di antaranya: (1) Konteks historis keberadaan becak baik secara umum di Indonesia maupun secara khusus di Jakarta. (2) Data-data yang merupakan sumber primer didapatkan melalui wawancara dan kajian pustaka. Metode ini diharapkan dapat menggali kedalaman dan kekayaan informasi, sehingga informasi tersebut dapat mempertajam analisa tulisan ini.

Membangun Pembiasaan

Maret 11, 2015

Saya yakin, tidak ada sesuatu yang dikatakan sebagai budaya tanpa ada pembiasaan sebelumnya. Maka dari itu, tulisan ini tidak menekankan pada ‘budaya’ apa yang harus dimiliki oleh suatu golongan supaya dapat terwujud nilai yang dicita-citakan, saya lebih tertarik melihat bagaimana budaya dapat terbentuk dengan ‘revolusi’. Salah satu cara yang saya soroti adalah pembiasaan. Sebagian besar masyarakat kita sepakat bahwa agama merupakan bagian dari budaya. Namun, (mungkin) tidak banyak orang yang setuju jika saya katakan eksistensi agama tetap hidup karena pembiasaan. Berawal dari kebutuhan untuk mempercayai bahwa ada yang menciptakan manusia dan alam semesta, kebutuhan untuk mengendalikan pihak lain dan kebutuhan untuk membuat kehidupan berjalan dengan stabil, akhirnya dibuatlah aturan-aturan. Dibuat, diterima, diterapkan secara kontinyu (pembiasaan), dibakukan, kemudian dibungkus dengan nama agama. 

Pun dengan sopan santun yang diklaim sebagai budaya bangsa, masih hidup karena pembiasaan. Seperti mencium tangan orang yang lebih tua, atau mengucapkan salam saat bertemu orang lain. Sama halnya dengan agama, aturan mengenai apa yang dianggap sopan dan tidak sopan lahir karena adanya kebutuhan, kebutuhan untuk dihargai dan menghargai. Jika tidak mengikuti apa yang telah disepakati masyarakat tentu ada sanksi yang didapat, karena itu yang membuat 'agama' dan 'sopan santun' masih kita lihat sampai sekarang.

Dalam pembentukan sebuah budaya (disadari atau tidak) sanksi adalah "bahan pengawet" yang wajib ada. Tanpa adanya sanksi, pembiasaan tidak akan berjalan, karena pada dasarnya tingkat kesadaran seseorang bersifat individual, tidak bisa langsung kolektif. Yang membuat kesadaran mencapai titik kolektif adalah ketika “keseluruhan” kepercayaan dan sentimen bersama tumbuh. 

Maka dari itu, perlu adanya aturan (untuk mengontrol masyarakat agar tetap berada pada posisinya) dan sanksi (untuk mengembalikan mereka yang berusaha keluar dari jalur). Sistem seperti itu perlahan akan membangun sentimen bersama. Ketika ada seseorang yang keluar jalur, masyarakat sepakat menganggapnya bersalah. Bukan semata tindakan menghakimi, tapi upaya menyelamatkan sebuah sistem yang sudah mereka bangun bersama. 

Saya punya contoh kasus berkaitan dengan bagaimana suatu (yang dianggap) budaya terbentuk karena pembiasaan. Saya pernah membaca sebuah tulisan mengenai korupsi di Hongkong pada masa lalu. Bahkan ada pernyataan bahwa semua orang Hongkong korup, tapi lembaga kepolisian yang paling korup. Kepolisian Hong Kong pernah menjual stiker seharga $3 yang dapat membebaskan pengemudi dari pelanggaran lalu lintas. Stiker tersebut hanya berlaku sebulan dan dapat diperbaharui. Jelas, ini menjadi pemasukan paling besar bagi kepolisian saat itu. 

Korupsi yang lahir dan berkembang di Hongkong karena adanya peluang dan pembiasaan, bahkan dilakukan pula oleh lembaga penegak hukum. Di sini saya melihat masyarakat hanya sebagai korban (yang ikut serta secara aktif) dalam ketidakberesan sistem. Ketika sebuah lembaga penegak hukum dan masyarakat sudah dininabobokan oleh “kenyamanan” tersebut, rasanya bukan hal yang mudah untuk membalikan ‘pembiasaan korupsi’ menjadi ‘pembiasaan anti korupsi’. Tapi, itu bukanlah hal yang tidak mungkin.

1974, Independent Commission Against Corruption (ICAC) lahir, lembaga ini tidak jarang menggunakan cara koersif untuk membabat habis mereka yang dianggap korup. Tidak butuh waktu lama untuk membuat ratusan pejabat (yang terbukti korup) mundur dari jabatannya. Singkat cerita, Hongkong berhasil melakukannya. Di sini saya melihat revolusi bukan isapan jempol belaka. Bagaimana dengan budaya? Budaya akan terbentuk dengan sendirinya jika sudah ada pembiasaan melalui aturan dan sanksi yang ajeg.

Si Cerdas

Februari 28, 2015



“Manusia tidak dilahirkan dan tidak pula mati. Setelah mewujudkan eksistensinya, dia tidak akan sirna begitu saja, sebab dia abadi dan tidak lekang.”
~ Paulo Coelho


Hari ini aku memutuskan untuk keluar dari cangkang, mencoba lepas dari kenyamanan. Aku menyusuri jalan dengan bertelanjang. Seluruh mata memandang, mengamati Id yang selama ini kusembunyikan, bahwa aku adalah sesosok yang liar. 

Aku adalah si Berani, aku adalah si Pengecut. Aku terlalu mengandalkan kecerdasan, sampai aku sadar bahwa itu membuatku meremehkan kekuatan lawan. Aku terlalu berstrategi, sampai itu berubah menjadi tragedi yang memuakan. Namun, karena aku cerdas, aku menyadari bahwa strategi tak akan mampu mengalahkan kekuatan.

Pada saat sulit dan melelahkan, aku memilih menghadapi berbagai tantangan dengan kepasrahan dan keberanian. Aku tak mundur dalam medan perang. Aku lebih suka menghadapi kekalahan dengan luka dan darah yang bercucuran, kemudian mengobatinya di depan si Lawan. Aku tak pernah melarikan diri tanpa menghasilkan pelajaran, karena aku tak mau memberikan kekuatan pada si Lawan lebih besar dari yang pantas ia dapatkan.

Namun, aku harus ingat bahwa aku adalah si Cerdas, perpaduan kental antara si Berani dan si Pengecut. Kadangkala dalam perang, aku mundur dengan teratur menghadapi si Kuat, menunggu ia lelah, dan saat itu aku membuat pertahanan.

Sampai akhirnya, tak hanya ia yang berpikir bahwa ‘ketika seseorang melihat kelemahan orang lain, saat itulah ia sedang melihat kelemahan dirinya sendiri’ dan ‘ketika ia memamerkan kekuatannya, ia sedang menutupi betapa rapuh dirinya’.

Kemudian, aku berjalan tanpa cangkang, namun semua yang di sekitar memaksaku untuk tidak bertelanjang, kalau tidak ingin terjadi perang. Aku kembali masuk ke cangkang, dan berubah menjadi kunang-kunang, tak memberi terang tapi sangat dikenang, karena aku pernah mencoba bertelanjang.

Mulai sekarang namaku si Jalang. Tak apa, masih lebih baik..., daripada disebut 'si Belang'....

Bebas (Jangan) Dilepas

Februari 20, 2015



Kebebasan berpendapat, menghargai setiap pendapat. Tapi kebanyakan dari kita hanya fokus pada kata ‘kebebasan’. Kita melupakan beberapa hal yang menyertai makna kebebasan berpendapat, seperti kepentingan, kesetaraan dan sikap saling menghargai.

Seperti yang terjadi pada kasus Charlie Hebdo. Ia dan negara yang ia tinggali sangat menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Maka dari itu, baginya tidak jadi soal ketika ia mengungkapkan pemikiran melalui karyanya tentang Islam, Kristen dan sebagainya. Namun, bagaimana kebebasan tersebut dapat membakar amarah banyak golongan?

Berkaca dari kasus tersebut, mari kita selami makna kebebasan yang selama ini membelenggu kita dalam kebingungan.

Ketika kebebasan sudah menjadi komoditas pribadi atau golongan, otomatis kepentingan publik sudah dikesampingkan. Saat ini kebebasan lebih sering berada di sisi kepentingan pribadi atau golongan. Contohnya, melalui jasa media massa seseorang bisa meningkatkan citra dirinya, pun bisa menjatuhkan citra lawannya. Media massa memiliki sebuah ‘ruang’ di mana sering terjadi penyalahgunaan kebebasan dalam berpendapat dan menyampaikan informasi.

Balada Isteri-Suami

Februari 17, 2015

Dalam sebuah siang yang gersang, berbalut debu yang pekat, saya duduk bersama seorang pria yang telah menjadi seorang ayah. Entah apa yang kami tunggu, di tempat yang sama selama bermenit-menit. Untungnya kami tak menjadi bagian dari debu. Hahaha.

Untuk mengusir rasa bosan, saya melukis di tanah berpasir yang kami pijak. Lukisan yang saya ukir dengan ranting pohon tapi tak memiliki arti, hanya gunung dan pantai. Saya rasa, anak-anak pun mampu melukisnya.

"Kangen anak," ucapnya.
"Seberapa kangen?"
"Banget, susah dijelasin."
"Hm, sama isteri lebih kangen mana?"
"Anak lah," jawabnya singkat.
"Setelah menikah, rasa kangen sama isteri beda atau sama?"
"Beda,"
"Sekarang gimana?"
"Biasa aja. Kalo kangen anak bisa banget banget," jawabnya sambil tersenyum.

 
Design by Pocket