Si Cerdas

Februari 28, 2015



“Manusia tidak dilahirkan dan tidak pula mati. Setelah mewujudkan eksistensinya, dia tidak akan sirna begitu saja, sebab dia abadi dan tidak lekang.”
~ Paulo Coelho


Hari ini aku memutuskan untuk keluar dari cangkang, mencoba lepas dari kenyamanan. Aku menyusuri jalan dengan bertelanjang. Seluruh mata memandang, mengamati Id yang selama ini kusembunyikan, bahwa aku adalah sesosok yang liar. 

Aku adalah si Berani, aku adalah si Pengecut. Aku terlalu mengandalkan kecerdasan, sampai aku sadar bahwa itu membuatku meremehkan kekuatan lawan. Aku terlalu berstrategi, sampai itu berubah menjadi tragedi yang memuakan. Namun, karena aku cerdas, aku menyadari bahwa strategi tak akan mampu mengalahkan kekuatan.

Pada saat sulit dan melelahkan, aku memilih menghadapi berbagai tantangan dengan kepasrahan dan keberanian. Aku tak mundur dalam medan perang. Aku lebih suka menghadapi kekalahan dengan luka dan darah yang bercucuran, kemudian mengobatinya di depan si Lawan. Aku tak pernah melarikan diri tanpa menghasilkan pelajaran, karena aku tak mau memberikan kekuatan pada si Lawan lebih besar dari yang pantas ia dapatkan.

Namun, aku harus ingat bahwa aku adalah si Cerdas, perpaduan kental antara si Berani dan si Pengecut. Kadangkala dalam perang, aku mundur dengan teratur menghadapi si Kuat, menunggu ia lelah, dan saat itu aku membuat pertahanan.

Sampai akhirnya, tak hanya ia yang berpikir bahwa ‘ketika seseorang melihat kelemahan orang lain, saat itulah ia sedang melihat kelemahan dirinya sendiri’ dan ‘ketika ia memamerkan kekuatannya, ia sedang menutupi betapa rapuh dirinya’.

Kemudian, aku berjalan tanpa cangkang, namun semua yang di sekitar memaksaku untuk tidak bertelanjang, kalau tidak ingin terjadi perang. Aku kembali masuk ke cangkang, dan berubah menjadi kunang-kunang, tak memberi terang tapi sangat dikenang, karena aku pernah mencoba bertelanjang.

Mulai sekarang namaku si Jalang. Tak apa, masih lebih baik..., daripada disebut 'si Belang'....

Bebas (Jangan) Dilepas

Februari 20, 2015



Kebebasan berpendapat, menghargai setiap pendapat. Tapi kebanyakan dari kita hanya fokus pada kata ‘kebebasan’. Kita melupakan beberapa hal yang menyertai makna kebebasan berpendapat, seperti kepentingan, kesetaraan dan sikap saling menghargai.

Seperti yang terjadi pada kasus Charlie Hebdo. Ia dan negara yang ia tinggali sangat menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Maka dari itu, baginya tidak jadi soal ketika ia mengungkapkan pemikiran melalui karyanya tentang Islam, Kristen dan sebagainya. Namun, bagaimana kebebasan tersebut dapat membakar amarah banyak golongan?

Berkaca dari kasus tersebut, mari kita selami makna kebebasan yang selama ini membelenggu kita dalam kebingungan.

Ketika kebebasan sudah menjadi komoditas pribadi atau golongan, otomatis kepentingan publik sudah dikesampingkan. Saat ini kebebasan lebih sering berada di sisi kepentingan pribadi atau golongan. Contohnya, melalui jasa media massa seseorang bisa meningkatkan citra dirinya, pun bisa menjatuhkan citra lawannya. Media massa memiliki sebuah ‘ruang’ di mana sering terjadi penyalahgunaan kebebasan dalam berpendapat dan menyampaikan informasi.

Balada Isteri-Suami

Februari 17, 2015

Dalam sebuah siang yang gersang, berbalut debu yang pekat, saya duduk bersama seorang pria yang telah menjadi seorang ayah. Entah apa yang kami tunggu, di tempat yang sama selama bermenit-menit. Untungnya kami tak menjadi bagian dari debu. Hahaha.

Untuk mengusir rasa bosan, saya melukis di tanah berpasir yang kami pijak. Lukisan yang saya ukir dengan ranting pohon tapi tak memiliki arti, hanya gunung dan pantai. Saya rasa, anak-anak pun mampu melukisnya.

"Kangen anak," ucapnya.
"Seberapa kangen?"
"Banget, susah dijelasin."
"Hm, sama isteri lebih kangen mana?"
"Anak lah," jawabnya singkat.
"Setelah menikah, rasa kangen sama isteri beda atau sama?"
"Beda,"
"Sekarang gimana?"
"Biasa aja. Kalo kangen anak bisa banget banget," jawabnya sambil tersenyum.

GOWES YUK!

Februari 13, 2015





Gowes dari Cakung sampai Senayan. Pulangnya nonton teater di Museum Nasional. Mantab, Gan!

Belajar Keseimbangan


Membaca judulnya jangan berpikir bahwa saya akan bercerita pengalaman saya berdiri dengan satu kaki, sambil membungkuk dan melebarkan lengan (masa TK). Atau, berdiri dengan satu kaki sambil menjewer kedua telinga saya (masa SD). Tapi, boleh juga sih saya cerita sedikit tentang pengalaman itu sebelum saya menceritakan apa yang sebenarnya ingin saya umbar dalam tulisan ini.


Kalau ingat masa-masa di TK pasti bahagia (senyum-senyum sendiri). Coba dipikir, kalau bukan di TK, di mana lagi kita bisa jadi pesawat, kancil, srigala, polisi, pilot, pramugari, arsitek dan sebagainya? Coba dipikir, kapan lagi kita bisa 'sok-sok' punya profesi yang keren dan setiap saat bebas ganti-ganti tanpa ada yang komentar nyi-nyir? Ya, cuma di TK. Sayangnya, saat ini kebanyakan TK kurang mengajarkan anak berimajinasi dan bermain, justru anak sekecil itu (nyanyi - Iwan Fals) dipaksa untuk bisa baca-tulis. Yah, mau gimana lagi ya, tuntutan untuk masuk SD semakin tinggi. Alhasil, anak-anak dijejali "asupan" yang tidak sesuai dengan usianya. Ups, kok saya jadi sok mengkritisi ya... Hahaha. Mungkin, jari saya bisa mati rasa kalau harus menceritakan semua pengalaman unik di TK. Baiklah, mari kita akhiri cerita TK dengan mengucapkan, "Alhamdulillah..., masih sempat merasakan masa anak-anak di TK".

Pantul

Februari 04, 2015

Aku mulai ragu. Mimpiku seperti nyata. Kenyataan seperti mimpi bagiku. Semakin hari, makin sulit membedakan keduanya. Kaca yang berada di antaranya hanya memisahkan tanpa bisa membuatnya menjadi berbeda. Dunia nyata, memperlihatkan lukisan mimpi. Dunia mimpi, mempertontonkan goresan-goresan nyata. Di sisi mana aku harus berpijak? Keduanya, hanya imajiku atau ciptaan orang-orang di sekeliling?
Bahkan, muncul pertanyaan dalam kebingungan yang sulit untuk kujelaskan.

Dokumentasi Pribadi

 
Design by Pocket