Tawuran: Potret Perilaku Agresif Pelajar

Agustus 02, 2012


Oleh: Sekar Anindyaputri*

Maraknya tingkah laku agresif para pelajar merupakan sebuah masalah yang menarik untuk dibahas. Seorang pelajar kerap melampiaskan kekesalannya karena tidak mempunyai sesuatu dengan mencuri atau merampas hak orang lain. Adanya keinginan yang tidak terpenuhi membuat beberapa pelajar cenderung bertindak anarkis. Biasanya, mereka melakukan tawuran karena alasan sepele, seperti saling mengejek, rebutan suatu barang, rebutan pacar dan sebagainya. 

Tawuran bisa terjadi kapan saja, apalagi melihat kondisi emosi remaja yang mudah tersinggung. Tawuran biasanya terjadi saat pertandingan bola antarsekolah. Adanya ketidakpuasan terhadap hasil pertandingan menyebabkan konflik, yang nantinya akan berujung pada tawuran. Hal ini tentunya merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan. Generasi yang diharapkan mampu membawa perubahan bangsa ke arah yang lebih baik ternyata jauh dari harapan. Kondisi ini juga dapat membawa dampak buruk bagi masa depan bangsa. 

Setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar. Faktor yang menyebabkan seorang pelajar terlibat tawuran, antara lain faktor internal atau kurang mampunya seseorang melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang.

Faktor keluarga juga menjadi penyebab seorang pelajar terlibat tawuran. Biasanya, pelajar yang terlibat tawuran karena kurangnya perhatian dari orangtua. Selain itu, adanya pembiasaan cara mendidik yang keras di dalam keluarga akan berdampak pada anak. Sebab, ia belajar bahwa kekerasan sudah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia akan melakukan kekerasan pula. 

Sekolah pun menjadi faktor penting yang menyebabkan seorang pelajar terlibat tawuran. Sekolah yang tidak mampu menyediakan kenyamanan bagi peserta didiknya, akan menimbulkan kejenuhan dalam kegiatan belajar-mengajar. Kejenuhan tersebut memunculkan sikap perlawanan dari peserta didik. Bahkan, saat ini seringkali kita temukan kekerasan dalam kegiatan pembelajaran di sekolah. Guru sebagai seorang pendidik lebih sering berperan sebagai penghukum. Maka, peserta didik menganggap guru tak lebih dari seorang yang otoriter, yang sebenarnya juga menggunakan dan mengajarkan kekerasan pada peserta didiknya. 

Faktor lainnya, yakni lingkungan. Lingkungan membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya, lingkungan yang masyarakatnya berperilaku buruk akan berpengaruh pada karakter dan dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari sana. Kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung munculnya perilaku buruk yang diadopsi dari lingkungan tersebut. 

Dari permasalahan di atas kita dapat melihat betapa pentingnya interaksi positif di dalam lingkungan, baik di lingkungan keluarga maupun di sekolah. Dalam hal ini, orangtua dan guru menjadi aktor penting untuk menumbuhkan sikap anti kekerasan melalui pendidikan, dengan cara membentuk kegiatan yang positif dan bermanfaat yang nantinya dapat mengalihkan remaja dari kegiatan tawuran.

*Siswa SMA Labschool Jakarta
 
Design by Pocket