Sold, Anak dalam Pelacuran di India

April 06, 2019

Rumahku hanya beratapkan jerami. Kelak jika sudah bekerja, aku akan membelikan atap seng untuk rumahku. Tapi ibuku tak menggubris niatku, dia justru menyemangatiku untuk menyelesaikan sekolah. Walau tinggal di pedesaan Nepal, ibuku tau pentingnya pendidikan. Dia mendidikku dengan sangat baik.

Hari itu hujan deras, sawah keluargaku rusak, otomatis tak ada sumber pemasukan. Ayah tidak dapat berbuat apa-apa, selain karena sawah rusak, dia juga cacat. Saat menghadiri festival desa aku bertemu Bilma, wanita yang sebelumnya tak pernah kutemui, dia menceritakan kemegahan kota padaku, dan menawarkan pekerjaan sebagai pelayan di India. Aku ragu dan menjauh darinya. Aku dan ibu melihat ayah berbicara dengan wanita itu. Entah apa yang mereka bicarakan, tiba-tiba ayah sudah membuat kesepakatan dengannya. Ayah menerima uang dari Bilma, dan menyerahkan aku padanya. Singkat cerita, entah disadari atau tidak, ayah telah menjualku, menjual anak kandungnya, Lakshmi.

Aku dibawa Bilma hingga melewati perbatasan, kemudian aku diajaknya ke sebuah bangunan, yang ternyata adalah rumah bordil. Bilma menyerahkanku pada Mumtaz, awalnya kupikir dia baik karena memberi dan memakaikan cincin di jari kakiku, belakangan aku tau kalau dia seorang germo. Kemudian dia meminta seorang pelacur mengajarkan ekspresi menggoda. Aku dipaksa untuk mengikuti, tapi tak kulakukan. Lalu aku didandani, Mumtaz mengajakku ke sebuah kamar, kakiku diikat.

Tak lama seorang pria masuk, Varun. Dia adalah pelanggan pertamaku, orang kaya yang berani membayar mahal untuk keperawanan gadis berusia 14 tahun. Aku sangat takut, ketika dia mulai mendekat dan meraba, aku menggigit wajahnya hingga berdarah, dia terdorong dan jatuh. Aku lekas membuka ikatan di kakiku dan kabur, namun anak buah Mumtaz berhasil menangkapku. Aku dimasukkan ke dalam ruangan yang gelap, dipukuli habis-habisan. Dari jendela aku meminta pertolongan, tapi tak ada yang menggubris.

Keesokan harinya ada wanita asing melintas, aku menjatuhkan bulu sebagai petunjuk untuknya, dia melihatku di jendela, aku meminta pertolongan, lalu dia memotretku. Anak buah Mumtaz melihat dan menghancurkan kamera wanita itu.

~

Aku Sophia, fotografer yang bekerja sama dengan organisasi anti perdagangan manusia, Hope House. Hari itu aku menyamar, membagikan brosur kesehatan untuk orang-orang di tempat lokalisasi. Ketika sedang berjalan, aku menemukan bulu yang terjatuh, lalu aku mencari asalnya. Ternyata seorang gadis yang menjatuhkan dari jendela sebuah bangunan. Dia meminta tolong, wajahnya sangat ketakutan. Aku hanya bisa memotretnya.

Seorang pria memergoki dan merusak kameraku. Kemudian dia pergi, tak lama setelah itu aku mendengar jerit kesakitan dari dalam bangunan. Gadis itu dipukuli dengan keras. Aku tak dapat berbuat apa-apa.

Beruntung aku masih bisa menyelamatkan foto-foto dari kamera yang dirusak. Aku bertekad menyelamatkan gadis malang itu. Aku meminta Vikram, untuk melakukan penggerebekan rumah bordil itu, tetapi dia enggan melakukannya tanpa perencanaan yang tepat. Karena persiapan penggerebekan membutuhkan waktu berminggu-minggu.

Vikram seorang mantan polisi, dia pernah datang ke rumah bordil dan melihat atasannya menerima suap. Lalu seorang gadis berlari ke arahnya dan meminta pertolongan. Beberapa hari kemudian dia kembali ke tempat itu, si gadis kecil sudah menghilang. Sejak itu dia memutuskan bergabung di Hope House sebagai mata-mata.

~

Mumtaz melakukan bebagai upaya supaya aku mau menurutinya, aku dengan tegas menolak. Tanpa sepengetahuanku, dia memasukan obat ke dalam jus, aku meminumnya. Entah apa yang terjadi saat itu, aku setengah sadar ketika dibawa ke sebuah kamar, Varun memperkosaku. Keesokan harinya, aku dibius lagi dan dipaksa melayani beberapa pria dalam semalam. Sejak itu, aku resmi menjadi bagian dari mereka, pelacur di rumah Mumtaz.

Di rumah itu aku mengenal Harish, dia seorang bocah lelaki, tinggal di tempat itu bersama ibu dan adik perempuannya yang masih balita. Ibunya seorang pelacur yang sudah sakit-sakitan. Harish mengetahui pekerjaan ibunya, ketika ada pelanggan, Harish yang menjaga adiknya.

Suatu hari Harish mengajakku bermain layang-layang di atap. Dari atas aku melihat anak buah Mumtaz mengubur mayat di pekarangan belakang. Aku merasa takut dan tak berdaya, hingga aku ingin bunuh diri, tapi seseorang berhasil mencegah.

Hari-hari berlalu, aku pasrah dengan nasibku. Malam itu aku mendapat pelanggan seorang Amerika, dia menunjukkan sebuah bulu, saat itu aku tau dia sedang dalam penyamaran, wanita asing itu yang mengirimnya. Dia memberiku kartu nama Hope House dan mengatakan akan ada penggerebekan dalam waktu dekat. Aku diminta memberi petunjuk jika Mumtaz berusaha menyembunyikanku.

Seminggu kemudian, aku dan pelacur lainnya dibawa ke sebuah klinik, menurut mereka ini hal yang rutin dilakukan untuk memastikan bahwa kami tidak memiliki "penyakit". Di malam harinya terjadi penggerebekan, kami digiring ke ruang tersembunyi di bawah tanah. Aku tak bisa memberi petunjuk karena diancam.

~

Suatu malam, aku, Vikram, Sam dan beberapa polisi menggerebek rumah bordil itu, namun kami tak menemukan siapapun. Aku yakin gadis yang kulihat di jendela dan beberapa gadis lainnya telah disembunyikan. Tapi tak ada petunjuk apapun yang harusnya dia tinggalkan. Kami pergi dari sana. Rasa penyesalan datang padaku, gadis di jendela itu selalu muncul dalam ingatanku. Bagaimana tidak, dia seusia anakku. Entah apa lagi yang harus kulakukan.

~

Keesokan harinya Mumtaz mengirim seorang pelacur ke Timur Tengah untuk dijadikan budak seks, karena dianggap membocorkan informasi soal rumah bordil itu sehingga terjadi penggerebekan. Harish dan keluarganya terpaksa harus pergi karena sakit ibunya semakin parah. Diam-diam aku meletakkan kartu nama Hope House di koper Harish. Aku merasa sedih dia pergi, karena dia satu-satunya temanku.

Hari itu aku merencanakan pelarian, ketika semua orang sedang menyaksikan acara pemujaan Dewi Kali di televisi, aku kabur melalui jendela menggunakan kain panjang yang sudah aku ikat. Penjaga hampir menangkapku, lalu kusemburkan cabai ke wajahnya, aku berhasil lolos. Tujuanku hanya Hope House, hanya itu yang aku tau. Dan di sana aku bertemu Harish.

~

Aku senang dia bisa kabur dari rumah bordil itu. Kini aku bisa melihat senyumnya. Dia ada di sini, di Hope House. Tempat banyak anak sepertinya belajar berbagai keterampilan untuk menghilangkan trauma dan supaya berdaya.

Beberapa hari setelah pelarian Lakshmi, kami mengadakan penggerebekan lagi. Lakshmi yang pemberani menjadi petunjuk bagi kami, sehingga anak-anak lain yang menjadi korban perdagangan manusia bisa diselamatkan.

Sekian.

Parched, Perempuan di Lingkaran Tradisi India

April 01, 2019

Hari ini ada pertemuan warga, dipimpin oleh para tetua, yang semuanya laki-laki. Pertemuan ini untuk membahas Campha yang kabur dari rumah mertuanya. Di rumah itu dia tidak mendapat kebahagiaan, suami tidak peduli padanya, dia hanya dijadikan bulan-bulanan oleh mertua dan saudara iparnya, dilecehkan dan disiksa, bahkan dia pernah menggugurkan kandungan karena tidak tau siapa ayah dari janin itu. Tetua memutuskan Campha harus kembali ke rumah mertuanya untuk menjaga kehormatan desa dan menghindari pertikaian dua keluarga. Aku melihat Campha menangis, memohon pada ibunya, meminta pertolongan, tapi sia-sia.

Inilah desaku, terletak di Rajasthan, India. Segala hal diputuskan oleh para tetua. Di sini laki-laki bebas melakukan apapun, tapi perempuan sangat terbatas. Apa yang ingin kami lakukan, apa yang ingin kami miliki, semua ditentukan oleh laki-laki. Mereka yang berhak memutuskan apa yang benar dan salah bagi kami. Turun-temurun hal itu dilakukan, sudah menjadi tradisi. Maka tak heran kekerasan terhadap perempuan sering terjadi, tidak hanya dilakukan oleh laki-laki, tapi juga perempuan. Seperti yang aku lakukan pada menantuku.

Aku Rani, janda beranak satu. Anakku laki-laki, Gulap namanya, aku menikahkannya dengan seorang gadis pilihanku, Janki. Dengan mas kawin 4 lakh aku membawa Janki pulang ke rumah, namun aku, anakku, dan seluruh warga desa kaget ketika melihat rambutnya yang pendek. Semua orang mengutuk dan mencelanya, termasuk aku. Keesokan harinya ibuku meninggal, semua berpikir dia meninggal karena malu melihat rambut Janki. Aku dan anakku semakin tidak menyukai Janki dan memperlakukannya dengan kasar. Hal yang biasa bagi mertua berlaku demikian, terlebih jika menantu tak sesuai harapan.

Aku merasa iba melihat kekerasan yang dialami perempuan di desaku, namun entah kenapa aku melakukannya juga, ini seperti sudah mendarah daging. Lajjo, teman dekatku, tidak ada hari yang berlalu tanpa kekerasan yang dilakukan suaminya, Manoj, karena Lajjo tidak bisa memberinya anak. Di sini perempuan yang tidak bisa melahirkan anak dianggap tidak berharga dan memalukan, maka Lajjo berhak mendapat perlakuan buruk terus menerus. Ketika kesakitan dia datang padaku, aku mengobati lukanya dengan perasaan sedih. Tapi aku tidak dapat berbuat apa-apa.

Lajjo tersakiti dan aku kesepian, sebab itu kami sering menghabiskan waktu bersama. Kami pun tak jarang saling "menyentuh", karena kami merindukan belaian lembut dan kasih sayang dari seseorang. Sebenarnya aku memiliki teman dekat yang lain, namanya Bijli, seorang pelacur. Walau dia tidak tinggal di desaku seluruh penduduk kenal dengannya. Laki-laki di desa sering menyaksikan tarian erotis Bijli, bahkan tidur dengannya. Gadis itu sangat cantik, dia memiliki aura seksi. Jangankan laki-laki, perempuan sepertiku saja bisa terbius olehnya. Aku dan Bijli jarang bertemu namun pertemanan kami masih terjalin dengan baik. Dulu suamiku adalah pelanggan setia Bijli, sampai akhirnya lelaki itu tewas dalam kecelakaan, kemudian Bijli datang, sejak itu kami berteman.

Bijli memiliki pemikiran yang terbuka, tidak tunduk pada tradisi. Dia yang menyadarkanku soal Gulap. Dia mengatakan perilaku Gulap sudah melewati batas dan harus dihentikan. Aku merasa terpukul dan marah pada Bijli, tapi kemudian aku menyadari apa yang dikatakannya benar. Gulap pernah terlilit utang karena dia hobi bermain perempuan, dia juga merusak kerajinan yang dibuat oleh perempuan desa, aku menyalahkan Janki atas semua yang dilakukan Gulap. Uangku juga pernah hilang, tanpa curiga pada Gulap aku justru menuduh Janki. Untuk menunjukan bahwa dirinya tidak bersalah, Janki rela dipukili Gulap, aku menolongnya, kuusir Gulap dari rumah.

Janki mengungkapkan perasaannya, dia merasa tertekan dipaksa menikah dengan Gulap. Dia sengaja menggunting rambutnya supaya pernikahan dibatalkan, namun ternyata tidak. Janki memiliki kekasih, mereka saling mencintai, beberapa kali laki-laki itu datang ke rumahku untuk mempengaruhi Janki, namun Janki mengusirnya. Aku menyadari kekeliruanku, aku telah merampas hidup Janki. Akhirnya aku membebaskan Janki dari ikatan pernikahan, menyerahkannya pada pemuda yang selama ini dia cintai.

Tidak hanya menyadarkanku, Bijli juga memberi harapan pada Lajjo. Dia bilang bahwa laki-laki bisa mandul, jadi ada kemungkinan kalau Lajjo tidak mandul. Untuk membuktikan itu Bijli memberi ide, Lajjo setuju. Suatu malam kami pergi mengantar Lajjo ke sebuah tempat, di sana Lajjo dan kekasih Bijli berhubungan seks. Kemudian, terbukti ucapan Bijli, Lajjo hamil.

~

Lajjo memberi tau Manoj, bukan kegembiraan yang didapat, dia justru dipukuli, dituduh berselingkuh. Lajjo bersikukuh tidak selingkuh, namun pria itu semakin marah, mempertanyakan anak siapa yang ada di kandungnya. Di situ Lajjo sadar selama ini Manoj menutupi kemandulannya. Untuk menutupi rasa malunya dia terus menerus menyiksa Bijli, membuat seolah-olah Bijli yang mandul.

"Anak itu bukan milikku, tidak akan jadi milikku, karena kau seorang pelacur."

"Mungkin aku memang pelacur, tapi aku tidak mandul. Katakanlah pada semua orang, isterimu tidur dengan orang lain, isterimu hamil, katakanlah kau tak mampu melakukannya karena kau mandul."

Semakin keras pukulan dan tendangan menghantam tubuh Lajjo. Aku datang tepat waktu, kami bertiga bergulat, sampai akhirnya pria itu jatuh ke api lalu terbakar. Aku dan Lajjo meninggalkan Manoj dalam kuburan api, kami berlari menemui Bijli di tendanya, dan memutuskan pergi dari desa itu.

Desaku, desa yang memenjara kehidupan perempuan, desa yang menolak untuk maju, karena para laki-laki takut kehilangan posisi mereka. Sayang sekali, ketika ada orang yang ingin memajukan desa, justru dihajar habis-habisan sampai sekarat. Desa terkutuk yang membiarkan laki-laki mabuk, bermain pelacur, memukuli isteri, melecehkan orang lain, dan perempuan lah yang harus membayar semuanya.

Sekian.

 
Design by Pocket