Adakah Pemenang Sejati?

Desember 19, 2010


Judul: The Winner Stands Alone
Penulis: Paulo Coelho

“A diamond is the supreme manifestation of human vanity.”

Novel ini menceritakan tentang seorang kaya raya asal Rusia bernama Igor. Ia percaya bahwa dengan membunuh ia bisa mendapatkan kembali mantan istrinya yang telah menjadi istri seorang tokoh terkemuka di bidang fashion designer. Igor seorang pria yang berkemauan keras dan berambisi, yang kemudian menjadi seorang pembunuh berantai.
Sebagai mantan tentara Rusia yang terlatih, sangatlah mudah baginya untuk membunuh korbannya secara cepat dan tepat, bahkan tanpa menggunakan senjata. Dengan adanya pembunuhan berantai yang misterius, maka mantan istrinya akan segera mengetahui siapa di balik pembunuhan tersebut dan memahami bahwa mantan suaminya itu menginginkan agar ia kembali ke sisinya.
Pembaca juga disuguhi cerita di balik layar Festival Film Cannes yang notabene tidak jauh dari kehidupan para artis, model, sutradara, dan semua orang yang terlibat dalam industri fashion dan film. Dalam novel ini pun jelas tergambar bahwa di balik ketenaran mereka tersimpan sebuah kehidupan yang penuh dengan kepura-puraan. Dengan setting Festival Film Cannes yang menggambarkan kemegahan dan kemewahan, Paulo menyoroti kehidupan manusia yang jatuh dalam kesombongan.
Hal lainnya yang disorot adalah mengenai fenomena mengidolakan seorang artis dengan cara yang berlebihan. Menganggap bahwa idola kita adalah segala-galanya. Di sini Paulo juga berbicara mengenai “celebrity syndrome” yang menyebabkan kita meninggalkan apa yang kita percaya demi ketenaran, uang dan ego.
Novel ini layak dibaca karena memberikan banyak pencerahan. Kisahnya membawa kita ke dalam lingkup orang-orang terkenal, sukses, dan bergelimang uang, namun juga menjadi cerminan mengejutkan tentang kedangkalan dan keganasan dunia, di mana manusia saling memangsa sesamanya.

Kemiskinan dan Ketidakmerataan Akses Pendidikan

November 09, 2010


Pendidikan dan Hak
Kompetisi dalam segala aspek kehidupan ekonomi dan perubahan kebutuhan yang cepat didorong oleh kemajuan ilmu dan teknologi. Maka dari itu, untuk memenuhi perkembangan ilmu dan teknologi, diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Oleh karenanya, pendidikan di Indonesia perlu ditingkatkan dalam hal pemerataan akses bagi semua kalangan. Pendidikan menjadi landasan kuat untuk meraih kemajuan bangsa di masa depan, bahkan pendidikan merupakan bekal dalam menghadapi era global yang sarat akan persaingan. Dengan demikian, pendidikan menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi. Karena, pendidikan telah menjadi faktor determinan bagi suatu bangsa untuk bisa memenangi kompetisi global.
Dengan melihat latar belakang tersebut, pembangunan pendidikan seharusnya menjadi salah satu prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional. Pembangunan pendidikan sangat penting karena perannya yang signifikan dalam mencapai kemajuan di berbagai bidang: ekonomi, politik, sosial dan budaya. Maka dari itu, pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak setiap warga negara dalam memperoleh layanan pendidikan guna meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, yang mewajibkan pemerintah bertanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan kesejahteraan umum. Semua warga negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran tanpa terkecuali, baik ’yang kaya’ maupun ’yang miskin’. Namun, ketidakmerataan akses terhadap pendidikan di Indonesia masih menjadi suatu masalah klasik yang hingga kini belum terselesaikan.

Ketidakmerataan Akses Pendidikan
Krisis global membuat kehidupan semakin sulit, bahkan telah menjadi suatu dilema yang belum terselesaikan. Salah satu problematika yang nampak adalah semakin meningkatnya jumlah penduduk miskin di Indonesia. Hal ini akan berdampak pada rendahnya tingkat pendidikan yang dapat dirasakan oleh mereka. Kemiskinan itu pula yang menyebabkan sebagian masyarakat di negara ini lebih mengedepankan urusan perut untuk bertahan hidup daripada memikirkan bagaimana untuk membayar sekolah. Sehingga masyarakat terus terpuruk dalam belenggu kemiskinan.
Kemiskinan merupakan rintangan terbesar bagi seseorang untuk memperoleh hak-hak pendidikan mereka. Padahal, pendidikan diyakini sebagai mekanisme untuk melakukan mobilitas vertikal secara cepat. Keterkaitan pendidikan dengan kemiskinan ini telah menjadi isu yang semakin meluas. Di Indonesia, permasalah pendidikan terletak pada ketidakadilan dalam memperoleh akses pendidikan antara Si Kaya dan Si Miskin.
Kesenjangan partisipasi pendidikan yang terjadi berpengaruh terhadap upaya penuntasan program wajib belajar yang diterapkan. Meskipun pemerintah telah menyediakan bantuan operasional sekolah (BOS) untuk jenjang pendidikan dasar, namun masih ditemukan adanya beberapa sekolah yang menarik berbagai iuran, sehingga memberatkan orang tua, terutama bagi keluarga miskin. Kesenjangan partisipasi pendidikan tersebut terlihat mencolok pada jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Faktor mahalnya biaya pendidikan menjadi pemicu terpinggirkannya masyarakat miskin dari jangkauan pendidikan. Akses mereka untuk bisa mendapatkan pendidikan yang murah dan bermutu semakin sulit diwujudkan, karena kendala ekonomi. Ketiadaan biaya benar-benar membuat mereka tidak bisa memperoleh salah satu hak dasarnya, yaitu pendidikan.
Sampai saat ini pendidikan yang berkualitas untuk masyarakat bawah belum tersentuh dalam program pendidikan nasional. Institusi pendidikan semakin tidak memberikan tempat bagi masyarakat miskin. Prestasi yang bagus sama sekali bukan jaminan untuk bisa mendapat tempat di sekolah negeri atau perguruan tinggi negeri. Bersembunyi di balik permasalahan kemiskinan, institusi pendidikan negeri mulai menutup akses bagi orang miskin guna memperoleh pendidikan yang baik. Jangan ditanya lagi hak anak-anak dari golongan miskin yang tidak berprestasi.
Kenyataannya, biaya menyekolahkan anak kaya maupun miskin dalam sistem pendidikan formal itu sama, bahkan cenderung lebih mahal bagi kaum miskin. Hal tersebut disebabkan, sekolah-sekolah negeri yang 90% pembiayaannya ditanggung oleh negara justru diduduki oleh mayoritas anak-anak orang kaya (kelas menengah). Sebaliknya, anak-anak nelayan, pemulung, buruh tani,buruh pabrik, buruh kasar, buruh bangunan, dan sebaginya justru bersekolah di swasta-swasta kecil, yang 90% pembiayaannya ditanggung sendiri. Dengan demikian, orang-orang kaya di Indonesia justru membayar biaya pendidikan lebih kecil dibanding orang-orang miskin yang harus membayar biaya pendidikan jauh lebih banyak. Munculnya ketidakadilan itu bersumber pada sistem seleksi peserta didik yang didasarkan pada besaran nilai hasil ujian yang memperlihatkan pencapaian nilai tertinggi. Sedangkan, untuk memperoleh nilai yang tinggi harus memenuhi kelengkapan fasilitas belajar dan asupan gizi dalam makanan yang dikonsumsi sehari-hari agar seorang anak bisa menjadi cerdas. Kadua hal itu hanya bisa dicapai oleh orang-orang yang mampu secara ekonomi.
Permasalahan ini dapat dilihat dengan perspektif konflik. Perspektif ini menekankan pada perbedaan diri individu dalam mendukung suatu sistem sosial. Menurut perspektif konflik, masyarakat terdiri dari individu yang masing-masing memiliki berbagai kebutuhan yang sifatnya langka. Keberhasilan individu mendapatkan kebutuhan dasar tersebut berbeda-beda, hal ini dikarenakan kemampuan individu untuk mendapatkannya pun berbeda-beda. Persaingan untuk mendapatkan kebutuhan itulah yang akan memicu munculnya konflik dalam masyarakat.
Dalam permasalah ketidakmerataan akses pendidikan, menurut perspektif ini disebabkan karena adanya kemampuan individu yang berbeda sehingga memunculkan persaingan, dalam hal ini terjadi persaingan anatara Si Kaya dan Si Miskin untuk memperoleh pendidikan. Dengan kemampuan yang terbatas, Si Miskin tidak dapat menjangkau pendidikan, sedangkan Si Kaya yang memiliki kemampuan lebih akan dengan mudah memperoleh akses terhadap pendidikan.

Lingkaran Setan Kemiskinan dan Pendidikan
Pendidikan sebagai pemutus rantai kemiskinan ternyata hanya isapan jempol belaka. Yang terjadi justru pendidikan dijadikan sebagai jembatan menuju kemiskinan. Lihat saja yang terjadi, pendidikan hanya dapat dijamah oleh mereka yang memiliki modal. Maka, bukan hal yang mustahil jika pendidikan hanya akan menjadi khayalan bagi sebagian warga negara Indonesia, mengingat orang miskin tumbuh subur di negeri ini. Akibatnya, persentasi rakyat yang bodoh dan miskin semakin tinggi.
Padahal, salah satu rencana pemerintah adalah ingin menekan angka kemiskinan. Namun, strategi yang dilakukan pemerintah justru menambah angka kemiskinan. Pemerintah menyadari, salah satu penyebab kemiskinan adalah kebodohan. Kebodohan disebabkan oleh mutu pendidikan yang rendah. Pendidikan yang mutunya rendah dan ditambah lagi dengan sulitnya akses untuk mengenyam pendidikan menjadikan permasalahan kemiskinan semakin pelik dan sulit dipecahkan. Subsidi silang berupa pemberian beasiswa bagi kalangan kelas menengah bawah yang di ambil dari biaya pendidikan kalangan atas tampaknya tidak akan efektif, karena masyarakat yang menengah atas jumlahnya tidak banyak.
Keterbatasan memperoleh akses pendidikan akan semakin menjerumuskan Si Miskin ke dalam jurang kebodohan. Perjuangan untuk keluar dari lingkaran setan kemiskinan hanya menjadi sesuatu yang utopis. Akhrinya, Si Miskin akan selamanya menjadi bodoh dan tidak mempunyai keterampilan. Karena tidak mempunyai keterampilan mereka tidak mempunyai pekerjaan, apalagi menciptakan lapangan pekerjaan. Jika menjadi pengangguran, mereka akan tetap menjadi miskin dan menjadi beban bagi keluarga, masyarakat dan juga pemerintah.

Solusi Sebagai Upaya Pemerataan
Upaya-upaya peningkatan pemerataan pendidikan bagi masyarakat miskin dan masyarakat terpencil yang disarankan oleh penulis adalah pendidikan tidak harus dibangun dengan biaya yang mahal, tetapi sekolah bisa membuat badan amal usaha sehingga siswa tidak dikenakan biaya. Kalaupun siswa dikenai biaya itu pun harus disesuaikan dengan tingkat pendapatan orang tua.
Kebijakan BOS telah ditelurkan oleh pemerintah, namun pada kenyatannya di lapangan masih banyak sekolah-sekolah yang mencari lahan untuk menarik pungutan kepada siswa (orang tua) dengan embel-embel program tertentu. Dalam hal ini, pemerintah perlu memperketat pengawasan di lapangan dan menerima serta menanggapi pengaduan-pengaduan dari masyarakat.
Memprioritaskan sekolah negeri untuk masyarakat kalangan bawah. Untuk itu, pemerintah harus mengubah sistem penerimaan peserta didik yang selama ini membuat Si Miskin tersingkirkan dari sekolah-sekolah negeri. Dalam penerimaan peserta didik pun harus didasarkan pada kemampuan sosial dan ekonomi peserta didik, tidak semata mengutamakan nilai. Namun, kita tidak dapat sepenuhnya menyalahkan pemerintah. Tampaknya, masyarakat juga harus berpartisipasi dalam membangun pendidikan yang adil. Untuk orang-orang yang berkecukupan seharusnya mau membiayai sekolah orang-orang yang tidak mampu. Selain itu, mahasiswa yang disebut sebagai ‘agen perubahan’ diharapakan bisa mengorganisir bantuan-bantuan pendidikan bagi kaum miskin. Sehingga dapat terwujud pendidikan yang adil.

Daftar Pustaka
Buku:                                                          
Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan, Yogyakarta: Lkis, 2005.
Pora, Yusran, Selamat Tinggal Sekolah, Yogyakarta: MedPress, 2007.
Tilaar, HAR, Manifesto Pendidikan Nasional, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2005.

Jalan Pintas Menembus Batas

Oktober 06, 2010


Tuntutan hidup membuat orang berlomba-lomba untuk mencari harta. Maka tak heran jika harta menjadi sesuatu yang ingin dimiliki oleh setiap orang. Berbagai cara pun dilakukan untuk mendapatkan harta, baik cara sportif maupun cara curang. Setiap orang memiliki definisi masing-masing tentang harta berdasarkan apa yang mereka anggap paling penting. Misalnya, bagi peserta didik harta mereka adalah nilai, bagi koruptor harta mereka adalah uang. Seakan telah membudaya, cara curang tersebut dianggap hal yang biasa, bahkan dianggap lumrah.
Salah satu cara curang yang dianggap biasa adalah menyontek, bahkan banyak orang yang menobatkan menyontek sebagai “budaya” Indonesia. Mulai dari ujian sekolah, ujian nasional, ujian Pegawai Negeri Sipil (PNS), plagiat di tingkat universitas, bahkan menyontek budaya antarnegara yang sampai sekarang masih hangat dibahas di beberapa media. Setiap manusia memang memiliki sifat dasar untuk meniru, namun bukan berarti menyontek dapat dianggap wajar.

Waktu

September 14, 2010

Waktu itu adalah hari terakhirku menangis. Ketika aku sedang duduk di sebuah kursi yang berada di tengah taman kota seekor kucing hitam menghampiriku. Aku tak tahu darimana kucing itu berasal. Yang kutahu, aku butuh teman untuk berbagi kesedihan, dan kurasa kucing ini tak keberatan jika aku memuntahkan apa yang sudah tak sanggup kupendam lagi.
“Kau tau, Manis….  Aku sangat sedih. Orang yang kusayang membohongiku,” ucapku datar.
“Meong…,” kucing menyahut.
“Apakah itu artinya kau mengerti. Ahgggg…, Manis…., mungkin hanya kau yang mengerti perasaanku ini.”
“Pasti banyak orang yang mengerti asal kau mau berbagi dengan mereka,” ujar si kucing sambil manggaruk-garuk badannya dengan salah satu kakinya.
“Kau bisa bicara dengan bahasa manusia?” tanyaku spontan.
“Tidak. Aku menjadi seperti apa yang kau pikirkan,” jawabnya dengan tenang.
“Aku tak bisa berpikir.”
“Baiklah, seperti apa yang kau rasakan.”
“Hmmm…, aku tak mengerti.”
“Kau yakin sudah tak dapat berpikir?”
“Dengan apa aku berpikir? Aku tak punya kepala, apalagi otak.”
“Mengapa untuk berpikir manusia hanya bergantung pada otak? Padahal manusia bisa berpikir menggunakan hatinya, itulah yang kau sebut perasaan. Sejak masih kecil manusia hanya diajarkan bagaimana berpikir menggunakan otak, bukan hati. Maka, aku tak heran jika kau tak pernah merasa berpikir dengan hatimu.”
“Entahlah. Aku tak pernah mendengar ada manusia yang berpikir dengan hatinya….”
“Tapi sebenarnya mereka melakukannya.”
“Darimana kau tahu? Kau hanya seekor kucing.”
“Baru saja kau menggunakan hatimu untuk berpikir.”
“Aku tak mengerti.”
“Kau tak akan bicara padaku jika kau hanya menggunakan otakmu untuk berpikir.”
“Kenapa membahas ini menjadi penting? Padahal aku hanya ingin mencurahkan apa yang kurasakan padamu.”
“Aku sudah tahu permasalahanmu.”
“Kau hanya kucing. Tahu apa kau tentang urusanku?!”
“Kau manusia, tahu apa kau tentang aku? Selama ini yang kau tahu hanya binatang tak bisa berpikir!”
“Baiklah…. Terserah kau saja.”
“Semua manusia itu pernah berbohong. Kau pun pernah. ”
“Ya, aku pernah berbohong.”
“Coba katakan padaku apa saja kebohongan yang pernah kau lakukan.”
“Kau bilang kau tahu segala tentangku.”
“Aku ingin kau mangatakannya.”
“Aku membohongi orangtuaku demi dia. Aku pun membohongi teman-temanku demi dia. Aku juga pernah membohongi dia demi dia. Bahkan, aku membohongi Tuhan demi dia, meski aku tahu, Tuhan tak bisa dibohongi.”
“Lantas, kenapa kau melakukannya?”
“A….”
“Tak perlu kau jawab. Semua orang yang berbohong pasti punya alasan mengapa mereka berbohong. Kau tahu, semua alasan mereka sama. Untuk sesuatu yang menurut mereka baik.”
“Tapi aku merasa diinjak-injak olehnya ketika aku mengetahui kebohongannya. Berkali-kali  dia membohongiku,” aku mangisak.
“Kau tahu, ketika aku memintamu untuk menyebutkan kebohongan yang pernah kau lakukan sebenarnya agar kau bercermin dan membuka pikiranmu.”
“Aku tak mengerti. Aku tak mengerti. Aku membohongi orang-orang yang kusayang demi dia, tapi dia malah membohongiku. Aku merasa sangat sakit,” tangisku pecah.
“Berpikirlah. Dengan otakmu, juga hatimu, karena kau masih memiliki keduanya.”
Kucing itu pun manghilang.
“Siapa kucing itu?” gumamku sambil menyeka airmata di pipi.
“Aku adalah seperti apa yang kau pikirkan,” suara si kucing dari dalam diriku.
Kedua mataku mengatup dan kepalaku menunduk. Aku kalut. Aku menangis. Aku mengingat kebohonganku dan kebohongannya. Aku merasa hancur. Aku merasa bodoh. Kalau ada perempuan terbodoh di dunia, itu adalah aku. Karena, kepalaku sudah hancur diinjak-injak oleh kebohongan. Kepalaku sudah tak ada, apalagi otak. Lalu, dengan apa aku berpikir?
Ya, sekarang aku tak bisa lagi berpikir. Aku hanya mengandalkan perasaanku. Maka, ketika aku tahu dia berbohong, aku hanya menangis. Tangis. Walaupun itu tak menyelesaikan apa yang terlanjur terjadi, tapi paling tidak aku dapat mangungkapkan emosiku.
Aku menjerit. Semua orang yang ada di sekitarku manengok ke arahku. Mungkin mereka berpikir aku gila.
“Aku tak peduli.”
***
Waktu telah meminta langit untuk menjemput senja. Angin pun turut mengiringnya. Desaunya membuatku terbangun dari lamunan.
“Hm, bernostalgia kesakitan di masa lalu,” pikirku. Kemudian beranjak dari kursi kayu yang tiga tahun lalu menjadi saksi perbincanganku dengan kucing.
Kini, waktu telah membekukan hatiku untuk meratap. Lalu, waktu pun membekukan airmataku untuk mengiba.
“Aku tak peduli.”
Terimakasih, Waktu.

Gara-gara Teknologi

September 07, 2010

Kita semua pasti sadar kalau kemajuan teknologi semakin meningkat, jangankan yang di kota, yang di desa saja “melek” teknologi. Teknologi ini mendatangkan manfaat yang besar terhadap penggunanya, lho…! Namun, tak dapat dipungkiri pula kalau teknologi juga dapat merugikan. Lho, kok bisa?

Banyak orang-orang yang tidak bertanggung jawab dalam menggunakan teknologi. Kemajuan teknologi seringkali disalahgunakan. Selain itu, kerugian juga disebabkan oleh penggunaan yang berlebihan, hingga menyebabkan kecanduan. Nah, kecanduan teknologi merupakan sebuah fenomena yang tengah menjadi sorotan. Pasalnya, dampak yang disebabkan oleh kecanduan ini dapat menyebabkan ketergantungan pada produk-produk teknologi. Bahkan, kecanduan teknologi ini tidak saja menggelayuti orang dewasa. Anak-anak pun tak mau ketinggalan untuk mencicipi kenikmatan produk-produk teknologi.

Ini buktinya…

Ini adik saya...



Lihat gambar di atas! Seorang anak kecil berusia 15 bulan yang "gila" teknologi. Keren ya masih kecil sudah "melek" teknologi. Tapi lihat dooooongg dampak negatifnya. Setiap lagi ngerjain tugas, saya harus berebut laptop dengan adik saya. Kalau saya tak ngalah, dia akan menangis. Karena tidak tega, yasudahlah saya pasrahkan laptop padanya. Dan, kalau laptop sudah jatuh ke tangannya, alamaaaaaakkkkkkk saya tak jadi ngerjain tugas. Itu selalu terjadi.

PPL: Berani Beda

Agustus 25, 2010


Sudah beberapa minggu saya PPL di sebuah sekolah swasta yang cukup ternama di Jakarta. Banyak teman yang mengatakan jika PPL di sekolah ini sangat menyeramkan dan sulit, tapi saya tidak menghiraukan apa omongan orang. Bukannya saya belagu, tapi saya berpikir ini tantangan, tantangan yang tidak mudah. Kalau saya bisa melewati ini berarti saya bisa menghadapi tantangan yang mudah. Lagi pula, sudah sekitar setahun saya mengajar di sekolah ini, walaupun hanya menjadi pelatih ekstrakurikuler jurnalistik. Setiap saya datang saya pasti mengamati anak-anak yang bersekolah di sini. Dan, sejauh penglihatan saya, siswa-siswa di sekolah ini masih dapat dikategorikan baik ketimbang sekolah-sekolah yang pernah saya kunjungi.
Hari demi hari saya lalui. Mengajar dan piket -di sebuah sekolah yang tentunya memiliki aturan- menjadi rutinitas mendadak. Membosankan? Pasti. Tapi ketika saya sedang dilanda kebosanan selalu ada angin segar yang lumayan bisa mengukir senyum di wajah saya. Tuhan menitipkan angin segar itu kepada murid-murid –sebenarnya tak pantas saya menyebut mereka murid, tapi saya kesulitan mencari kata ganti- untuk ditiupkan pada saya.
Hahh…, anak-anak…
Saya jadi teringat ketika teman saya bercerita tentang pengalaman temannya yang pernah PPL di sekolah ini. Ceritanya itu tentang anak-anak di sekolah ini yang katanya sangat bandel dan menyebalkan. Lagi-lagi saya tidak menghiraukan itu karena semua tergantung pada diri kita sendiri, dan tidak semua anak-anak di sekolah ini seperti itu. Beda waktu, beda anak, beda pula karakteristiknya. Toh, nyatanya sampai hari ini perilaku murid-murid saya masih bisa dikatakan wajar, bahkan menurut saya mereka lucu dan unik.
Sulit atau tidak sebenarnya bukan tergantung pada karakteristik murid, tapi pada karakteristik diri kita. Sebagai seorang guru kita harus memiliki karakteristik. “Mau manjadi guru yang seperti apa saya?” pertanyaan itulah yang saya tanyakan pada diri saya sebelum mulai mangajar. Dan, saya memilih untuk menjadi guru yang tidak mencari wibawa, biarlah wibawa itu datang dan melekat pada diri saya dengan sendirinya.
Bagaimana menjadi guru yang tidak mencari wibawa (menurut saya)?
Ini yang saya lakukan. Saya tak pernah memasang wajah jutek ketika masuk ke dalam kelas. Saya juga tidak membuat aturan-aturan khusus di dalam kelas saat pelajaran berlangsung. Pertama saya masuk, saya tidak langsung mengenalkan diri, yang terpenting bagi saya murid tahu kalau saya sedang PPL dan mengajar Sosiologi. Melihat ekspresi mereka yang beragam, saya tak dapat menerka apa yang mereka pikirkan tentang mahasiswa yang sedang PPL ini. Yang pasti saya mengatakan, di kelas ini tak ada guru dan murid karena kita sama-sama belajar. Kita teman. Selain itu, di dalam kelas saya selalu tersenyum karena saya menginginkan suasana yang santai saat belajar. Saya pun membebaskan mereka untuk berpose apapun saat belajar, yang penting bagi saya mereka bisa menangkap apa yang saya sampaikan. Alhamdulillah…, murid-murid menerima saya dengan baik dan menghargai saya.
Mengapa saya membebaskan mereka dalam menentukan gaya belajar?
Karena, saya pun tak suka gaya belajar yang kaku. Bagi saya, belajar di dalam kelas itu sangat membosankan, maka dari itu sebisa mungkin saya menciptakan suasana belajar di dalam kelas menjadi menyenangkan. Selain itu, saya sering tidak menyukai guru yang senang mencari wibawa, itu membuat saya malas mendengarkan apa yang mereka sampaikan. Alhasil, saya jadi tak suka dengan pelajaran yang diberikan oleh guru-guru yang sok berwibawa itu. Bagi saya, guru yang mencari wibawa adalah guru yang suka menggurui.
Sekian dulu pengalaman yang saya dapat selama PPL. Nanti saya lanjutkan…

Feminisme: Masih Pentingkah?

Agustus 24, 2010

Siapa yang berani mengakui secara terbuka bahwa dirinya adalah seorang penganut feminisme? Pasti tidak banyak yang berani mangakuinya. Pasalnya, feminisme cenderung dipandang negatif, dan para feminis dianggap membenci laki-laki, kebarat-baratan, individualistis, bahkan tak jarang yang menganggap feminis itu anti agama. Apa sih sesungguhnya feminisme? Mengapa para feminis digambarkan sebagai tokoh yang demikian negatif?
Feminisme muncul karena adanya kesadaran akan ketidakadilan terhadap perempuan yang sudah lama terjadi. Sebenarnya, kaum perempuan sudah lama melakukan perjuangan untuk membebaskan diri dari ketidakadilan tersebut, tetapi pada waktu itu belum ada feminisme. Istilah itu mulai disosialisasikan oleh majalah Century pada tahun 1914, meski sejak tahun 1910-an kata feminisme (yang berakar dari bahasa Prancis) sudah kerap dipergunakan. Kata feminisme yang berasal dari bahasa Prancis ini, di negaranya pertama kali digunakan pada tahun 1880-an. Feminisme masih banyak disalahartikan dan dipandang sebagai ancaman, baik oleh laki-laki maupun oleh perempuan itu sendiri. Kondisi ini wajar kerena feminisme membuat “analisis yang tajam” untuk mengetahuai akar masalah ketidakadilan dalam masyarakat di seluruh dunia.
Sampai hari ini, beberapa perempuan masih aktif dalam perjuangan persamaan hak dengan laki-laki atau yang lazim disebut kesetaraan gender. Namun, tidak sedikit yang menganggap bahwa telah tercipta kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, terbukti dengan adanya perempuan karir yang sukses, berprestasi, punya background pendidikan yang dapat dikatakan tinggi, berpartisipasi dalam bidang politik, dan bebas menentukan haknya.
Tapi, mengapa masih ada kaum perempuan yang tetap giat berjuang atas nama semua perempuan yang masih terpasung? Pada saat ini, apakah perjuangan tersebut masih benar-benar relevan, khususnya di Indonesia? Sebab bagaimanapun, perempuan telah memiliki banyak hak demokratisnya, seperti pendidikan, pekerjaan, otoritas, dan sebagainya. Jika kita melihat pada perempuan kelas atas, pasti banyak yang setuju bahwa telah tercipta kesetaraan anatara laki-laki dan perempuan, dan menganggap gerakan feminis tidak diperlukan lagi.
Namun, coba kita lihat perempuan kelas bawah, perempuan dari kalangan buruh tani, buruh pabrik, pembantu, TKW, perempuan di wilayah konflik, dan perempuan di desa-desa terpencil. Mereka ini sangat rentan terhadap bentuk-bentuk ketidakadilan gender. Kemiskinan keluarga kerap menjadikan mereka mudah masuk dalam perangkap eksploitasi dan kekerasan. Mereka memilih hidup di ”jalur gelap” demi membantu ekonomi keluarga. Mereka jelas masih membutuhkan sebuah gerakan penyadaran dan pemberontakan terhadap segala bentuk ketidakadilan gender.
Jika angka kemiskinan di Indonesia terus meningkat, bukan tidak mungkin gerakan perempuan menjadi sesuatu yang wajib ada dan diperlukan. Apabila keberadaan gerakan perempuan tidak dianggap perlu, maka dengan apa kaum perempuan miskin berjuang?
Perlu disadari, tidak semua perempuan yang meneriakan kesetaraan gender adalah seorang penganut feminisme. Tengoklah perempuan kelas bawah, apa mereka tahu tentang feminisme? Tidak semua. Jadi, untuk menjadi seorang feminis, mereka tidak perlu menghafal teori-teori feminisme. Yang mereka butuhkan adalah kesadaran dan semangat untuk mengakhiri ketidakadilan gender. Namun, mereka layak menyandang nama ”feminis sejati”. Karena, pada dasarnya feminisme adalah gerakan kemanusiaan untuk menuju keadilan.
Tentang pertanyaan ”masih pentingkah feminisme di Indonesia?”, silahkan Anda tentukan sendiri.

Wina: Semua untuk Ibu


Sosoknya sama sekali jauh dari kesan mewah, setidaknya dalam pengertian cara ia berpenampilan. Hampir dalam setiap kegiatannya, ia terlihat sangat sederhana dengan kemeja lengan panjang tanpa corak, rok yang menjuntai sampai menutupi mata kaki dan jilbab yang selalu setia membungkus kepalanya sampai menutupi dada. Cara berbicara santun, serius, dan terkadang terselip canda yang tak berlebihan. Namun, di tengah itu semua, ia sering dianggap sebagai sosok yang misterius, karena ia jarang berbaur dengan lingkungan sekitar. Wina, begitu ia dipanggil. Perempuan berdarah Palembang ini bernama lengkap Wina Wananingsih. Perempuan yang lahir pada 10 Desember 1987 ini merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

Tanpa Bapak

Wina mengingat saat pertama kali ia datang ke Jakarta, saat itu ia berusia lima tahun. Ia menempati rumah yang disewa bapak dengan uang pesangon dari tempat kerja di Palembang. Seminggu di Jakarta bapak belum mendapat pekerjaan. Tidak lama setelah itu, seorang tetangga mengajak bapak bergabung dalam orkes musik dangdut sebagai penata panggung. Uang yang didapat digunakan untuk melamar pekerjaan di pabrik. Empat bulan kemudian bapak diterima di sebuah pabrik. Penghasilannya lumayan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pekerjaan sebagai penata panggung ia terima hanya pada saat libur kerja. Dua tahun bekerja sebagai buruh dan panata panggung, bapak mampu membuka penyewan tenda dan panggung sendiri, bahkan memiliki lima orang karyawan.
Seiring berjalannya waktu usaha tersebut makin maju. Akhirnya, bapak memutuskan untuk keluar dari pabrik dan fokus pada usahanya. Pekerjaan sebagai penata panggung membuat bapak sering bertemu dengan banyak biduan. Saat itu, tepatnya saat Wina berusia lima belas tahun, bapaknya pergi dari rumah karena seorang biduan. Semua barang-barang yang berkaitan dengan usaha bapak dibawa pergi. Menurut kabar yang Wina dengar, tidak lama setelah pergi dari rumah, bapaknya menikah dengan biduan itu. Sejak saat itu, Wina sangat membenci bapaknya. Bahkan ia beranggapan bapaknya sudah mati. “Bapak mati, tapi saya masih punya ibu yang akan selalu hidup,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Wina merasa hanya memiliki ibu dan kedua adiknya. Ia sangat menyayangi mereka, terutama ibu, karena berkat ibu ia bisa terus bersekolah. Ibu merupakan sosok perempuan yang tegar. Wina ingat betul, saat bapak pergi ibu tidak meneteskan airmata. Ibu melepas bapak dengan ikhlas. Saat ini, ibunya bekerja sebagai penjual kue dan nasi uduk pada pagi dan sore hari di pasar tradisional. Menurut Wina, ibunya memulai pekerjaan itu sejak bapaknya pergi. Keuntungan hasil berjualan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dan ditabung untuk keperluan sekolah Wina dan adik-adiknya, Waya dan Lina.

Bekerja Demi Ibu

Penghasilan dari menjual kue dan nasi uduk di pasar tradisional ternyata sangat minim. Keuntungan yang didapat hanya cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, tapi tidak cukup untuk membiayai sekolah Wina, Waya dan Lina, yang pada saat itu Wina duduk di kelas satu SMA, Waya di kelas dua SMP, dan Lina kelas tiga SD. Akhirnya, ibu memutuskan mengirim Waya ke Lampung untuk bersekolah di sana yang dibiayai oleh pamannya. Berpisah dari ibu, kakak dan adik membuat Waya sakit-sakitan. Sampai sekarang tidak diketahui apa penyakitnya. Jika Waya sakit, ibu harus mengirimkan uang ke Lampung untuk berobat. Mau tidak mau ibu harus bekerja ekstra supaya mendapatkan uang lebih. Wina merasa kasihan melihat ibunya, maka Wina memutuskan untuk mencari pekerjaan. Pada saat itu, kebetulan sekali Wina ditawarkan pekerjaan oleh seorang guru sebagai penjaga koperasi sekolah dengan gaji Rp. 450.000,- /bulan. Bekerja sebagai penjaga koperasi sekolah tidak semudah yang ia bayangkan, sering ia dicibir oleh guru-guru lain karena kelalaiannya, juga karena kesalahan yang tidak pernah ia perbuat. Namun, guru yang menawarkan pekerjaan tersebut padanya selalu menyemangati. “Demi ibu saya harus bekerja. Saya harus tegar seperti ibu,” katanya dengan semangat.
Tiga tahun menggali ilmu di SMA, Wina lulus dengan nilai yang memuaskan. Setelah lulus bukan berarti Wina dapat meninggalkan sekolahnya, ia masih harus bekerja di koperasi sekolah sampai ia mendapatkan pekerjaan baru. Dengan bekal Ijazah SMA jurusan IPA ditangannya, ia mencari pekerjaan. Sebenarnya, Wina ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, namun keterbatasan biaya membuatnya harus menunda keinginan tersebut. Enam bulan kemudian ia mendapatkan pekerjaan di sebuah pabrik pembuatan alat musik, mulai saat itu ia tidak lagi bekerja di koperasi sekolah. Bekerja di pabrik membuatnya harus siap berhadapan dengan malam. Pasalnya, ia harus pulang malam jika masuk pagi dan berangkat malam jika masuk malam. Selain itu, ia harus mempertaruhkan jilbabnya, karena syarat untuk dapat bekerja di sana tidak boleh memakai jilbab.
Gunjingan tetangga sampai ke telingan Wina. Ia digosipkan menjadi “perempuan nakal” karena membuka jilbab dan sering keluar malam. Namun, Wina tidak menghiraukan hal itu. “Allah mengerti keadaan saya, sedangkan mereka tidak,” ketusnya. Selain sebagai sebuah pengabdian pada ibu, baginya bekerja sebagai buruh pabrik adalah jembatan yang akan mengantarkannya ke bangku kuliah, jadi ia harus kuat.

Kerja atau Kuliah                     

Setelah enam bulan bekerja, Wina mendaftarkan dirinya ke sebuah universitas swasta di Jakarta. Ia memilih mendalami ilmu Keperawatan. Sejak saat itu, hari-harinya diisi dengan kesibukan. Senin sampai Jumat ia bekerja, Sabtu dan Minggu ia kuliah. Ia menikmati masa-masa itu. Namun, lambat laun Wina mulai jenuh dengan rutinitasnya sebagai buruh. Ia merasa tidak mendapat ilmu selama bekerja di pabrik, ia justru merasa dieksploitasi. Selain itu, ia tidak bisa meninggalkan jilbab yang telah bertahta di kepalanya sejak ia berusia enam tahun. Akhirnya, Wina memutuskan mengundurkan diri dari pabrik tempatnya bekerja. Baginya, ini adalah pilihan yang sulit, karena ia juga memikirkan dengan apa ia akan membayar uang kuliahnya Rp. 740.000,- /bulan jika ia tidak bekerja. Namun, itu tidak melunturkan keputusannya.
Wina tetap melanjutkan kuliahnya sampai semester kedua. Selama itu pula uang kuliahnya menunggak. Ia tidak bisa membayar karena tidak lagi bekerja. Habis semester kedua, Wina mendapat tawaran dari teman kuliahnya untuk bekerja di sebuah klinik. Klinik itu menuntutnya untuk bekerja setiap hari. Ia merasa bingung, jika bekerja, ia tidak kuliah. Tapi jika kuliah, ia tidak bekerja, itu artinya tidak ada penghasilan untuk membayar kuliah. Bekerja, itu yang dipilih Wina dengan pertimbangan yang matang. Dengan bekerja ia bisa membantu keuangan ibunya dan bisa mencicil uang kuliah yang tertunggak. Namun, belum lama Wina bekerja, klinik tersebut pindah di wilayah luar Jakarta. terpaksa ia mengundurkan diri karena ia tidak bisa meninggalkan ibu dan adiknya. Wina sangat kecewa dengan kehidupannya. Ia merasa hidup ini tidak adil, ia mulai putus asa. Kuliah tidak bisa, kerja pun tidak terwujud.
Setelah itu Wina mengisi hari-harinya dengan membantu ibunya di pasar dan menjaga adiknya. Ibunya merasa kasihan padanya. Pada suatu hari, ibu mengajak Wina berbicara tentang masa depan, tentang laki-laki dan pernikahan. Usia Wina sudah “kepala dua”, ibunya khawatir, ia takut anaknya menjadi perawan tua. Selain itu, ibunya ingin ada yang menjaga Wina. Ibunya meminta Wina untuk segera menikah dengan laki-laki pilihan ibunya. Wina menolak permintaan ibunya dengan keras. Bukan karena ia tidak suka dengan pilihan ibunya, namun karena ia sangat membenci laki-laki. Wina trauma melihat ibu yang ditinggalkan bapaknya. Wina sangat membenci bapaknya sampai ia juga membenci laki-laki. Ibunya tidak dapat berbuat apa-apa. “Saya buktikan, saya bisa hidup tanpa laki-laki. Suatu saat saya akan bekerja dan kuliah, dengan cara apa pun akan saya usahakan, dan saya bisa menjaga diri sendiri, tanpa harus bergantung pada laki-laki,” janji Wina pada dirinya sendiri.

Kembalinya Semangat

Pembicaraan dengan ibunya membuat semangat Wina terpompa. Semangat yang telah lama terkubur kini bangkit kembali. Ia rajin mencari info lowongan kerja terbaru melalui media, seperti koran dan internet. Selain itu, Wina membuat berpuluh-puluh lamaran untuk dikirim ke berbagai perusahaan. Dari sekian banyak lamaran yang ia kirim, hanya beberapa yang mendapat jawaban. Secara bergilir ia datangi perusahaan-perusahaan yang memanggilnya untuk mengikuti tes. Namun, tidak satu pun perusahaan yang menerimanya. Bukan karena ia tidak lulus tes, melainkan karena ia tidak bersedia untuk melepas jilbabnya. Wina tidak putus asa. Ia percaya Allah akan menolongnya dan memberikan pekerjaan yang layak padanya. Kepercayaan Wina berbuah manis, tidak lama kemudian ia mendapat panggilan untuk mengajar di sebuah tempat bimbingan belajar (bimbel).
Mulai saat itu, Senin sampai Jumat Wina mengajar di bimbel. Sabtu dan Minggu ia membantu ibunya berjualan di pasar. Keinginannya untuk kuliah masih membara. Untuk itu, perempuan berparas manis ini berniat membuka usaha bimbel bersama teman-temannya, supaya ia bisa melanjutkan kuliahnya yang terbengkalai. “Saya bekerja untuk ibu, saya kuliah pun untuk ibu. Untuk itu saya akan berusaha.”

Taman Monas: Ruang "Terbuka" Publik

Taman Monas merupakan sebuah hutan kota yang dirancang dengan taman yang indah. Taman ini dilengkapi dengan berbagai fasilitas. Taman Monas merupakan RTH yang paling eksis. Hal ini terlihat dari banyaknya jumlah pengunjung yang datang. Selain karena Monas sebagai salah satu ikon kota Jakarta, Monas juga memiliki taman yang indah. Maka, tak jarang Monas dijadikan salah satu tujuan utama bagi orang-orang dari luar Jakarta yang ingin berekreasi.
Taman Monas dapat dijangkau dengan kendaraan pribadi maupun angkutan umum. Salah satu angkutan umum yang ada yaitu Trans Jakarta. Dari Halte Bus Trans Jakarta Harmoni naik bus jurusan Blok-M, harga tiket Rp 3.500,-. Lalu, turun di Halte Monumen Nasional, halte pemberhentian pertama dari Harmoni. Keluar dari halte, Tugu Monas sudah bisa terlihat dengan jelas.
Biasanya, di depan halte sudah ada delman yang siap menawarkan jasa untuk mengantar ke pintu masuk area Monas, tapi harga yang ditawarkan lumayan mahal, yaitu Rp.20.000,- sekali antar. Jika ingin berhemat, perjalanan ke pintu masuk dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Jarak tempuh kira-kira 200 meter atau kira-kira 10-15 menit dengan berjalan kaki. Di dekat pintu masuk terdapat mobil box besar berwarna jingga, itu adalah toilet. Jadi, jika ingin pergi ke toilet di dalam Taman Monas cukup mencari mobil box berwarna jingga, biaya Rp1.000,-.
Tidak jauh dari pintu masuk ada tempat untuk menunggu kereta wisata di Monas. Kereta ini  bertugas membawa pengunjung ke pintu masuk Tugu Monas, dan yang lebih penting kereta ini tidak dipungut biaya. Kapasitas kereta ini tidak terlalu banyak dan hanya ada dua kereta yang beroperasi. Jadi, jika ingin naik kereta harus mengantri cukup lama. Waktu operasi kereta ini disesuaikan dengan waktu buka dan tutupnya Monas.
Taman Monas memiliki cirri khas tersendiri dibanding taman-taman lain yang ada di kota Jakarta. Dulu taman ini merupakan tempat dibacakannya teks proklamasi. Selain itu, pada bagian Utara Taman Monas berhadapan langsung dengan Istana Negara. Sebuah simbol yang merepresentasikan politik nasional. Namun, keadaan yang terjadi di area Taman Monas sangat kontras dengan sejarah dan simbol negara ini. Taman ini labih banyak disalahgunakan, baik penyalahgunan pengelolaan maupun tindakan kriminal.

Setting Taman Monas                                     

Di area Merdeka Square ini, banyak orang berkumpul untuk tujuan rekreasi atau pun tujuan politik. Pada pusat taman berdiri Tugu Monumen Nasional (Monas) yang menjadi ikon kota Jakarta. Monas dibangun di kawasan seluas 80 hektare di Merdeka Square. Di sebelah utara dibatasi oleh Jalan Medan Merdeka Utara, di sebelah timur oleh Jalan Medan Merdeka Timur, di selatan oleh Jalan Medan Merdeka Selatan, di barat oleh Jalan Medan Merdeka Barat. Untuk menuju Taman Monas dapat melalui empat pintu yang ada pada jalan-jalan tersebut.
Di sekitar area Monas banyak kantor pemerintahan. Pada bagian utara terdapat Taman Merdeka, di bagian tersebut ditempatkan patung perunggu Pangeran Diponegoro yang sedang menaiki kuda. Dari sana pengunjung dapat menjangkau dasar Monas. Area Monas dibuka pada pukul 04.00 WIB dan ditutup pada pukul 00.00 WIB.
Di sekeliling tugu terdapat taman, dua buah kolam dengan lebar 80 x 45 meter persegi dan beberapa lapangan terbuka tempat berolahraga. Fasilitas yang tersedia di taman terdiri dari lapangan futsal, area berlari, tapak refleksi, dan lapangan senam. Ada pula atraksi perpaduan laser multiwarna tiga dimensi yang membuat Tugu Monas berubah warna pada malam hari.
Pada hari Sabtu dan Minggu, digelar atraksi air mancur yang diiringi alunan musik, sehingga area air terjun tersebut selalu padat dikelilingi orang-orang yang ingin menyaksikan. Atraksi lampu laser dimainkan sebanyak dua kali dengan durasi selama setengah jam, yakni mulai pukul 19.00-19.30 WIB dan pukul 20.00-20.30 WIB. Atraksi air mancur menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung.
Air Mancur Pesona Monas ini dibangun di lokasi air mancur lama yang dibangun pada pemerintahan Ali Sadikin di tahun 1974 dengan biaya renovasinya mencapai Rp. 26 Miliar. Renovasi air mancur ini bertujuan untuk memaksimalkan fungsi ruang terbuka hijau di taman Monas yang merupakan taman kota terbesar di Asia Tenggara. Air Mancur Pesona Monas memiliki 33 buah pompa air, 717 lampu air, juga ada sinar laser. Konfigurasi pancaran air dari 33 pompa air, sorotan lampu air, dan sinar laser itu lah yang bisa membuat air mancur seperti terlihat sedang menari.
Di Taman Monas juga tumbuh banyak pohon. Masing-masing pohon diberi keterangan. Keterangan tersebut mengenai nama pohon, tahun penanaman pohon, dan asal pohon. Banyaknya pohon membuat Taman Monas menjadi asri dan teduh. Selain itu, di Taman Monas juga terdapat beberapa rusa yang dipelihara.
Penangkaran rusa tidak jauh dari lapangan parkir. Hingga saat ini jumlah rusa yang ada mencapai sekitar 80 ekor. Dari 80 ekor rusa itu, sebagian besar berukuran kecil, sedang dan rusa dewasa sangat sedikit.Rusa-rusa tersebut ditangkarkan di tanah gersang dan tidak terdapat tumbuhan rumput hijau. Hanya ada daun kering jatuh dari pohon pelindung di sekitarnya. Tidak adanya rumput di lokasi itu sangat menyulitkan untuk memenuhi kebutuhan pangan rusa-rusa tersebut.
Disediakan lapangangan pakir bagi pengunjung yang membawa kendaraan pribadi. Lapangan parkir khusus pengunjung area monas dinamakan parkiran IRTI. Tempat parker kendaraan cukup luas. Namun sayangnya, manajemen parkirnya masih sangat berantakan. Sistem komputernya rusak, dan pencatatan waktu ditulis tangan di atas kertas cetak yang semestinya untuk komputer. Namun, jika ada penyelenggaraan kegiatan oleh instansi pemerintah di area Monas, maka hampir semua sistem komputernya berjalan dengan baik. Hal semacam ini berpotensi terjadinya manipulasi pemasukan uang parkir ke Badan Pengelola Perpakiran.
Tidak jauh dari lapangan parker terdapat lokasi tempat berkumpulnya berbagai pedagang, anatara lain pedagang makanan, minuman, aksesoris, pakaian, sepatu, sandal, kaset, dan sebagianya. Jumlah pedagang yang ada saat ini mencapai 316 orang. Namun, lokasi yang disediakan untuk para pedagang ini sangat minim. Luas area dagang tidak sesuai dengan jumlah kios yang ada, sehingga lokasi tersebut sangat sempit.

Fenomena Urban Black Spot

Berdasarkan pengamatan, terdapat beberapa permasalahan di dalam pengadaan dan pemanfaatan Taman Monas yang terjadi saat ini. Pertama, pemanfaatan Taman Monas lebih cenderung hanya terbatas pada manfaat fungsi tunggal, yaitu penghijauan atau estetika kota saja. Seharusnya secara normatif Taman Monas memiliki fungsi bagi kehidupan kota, yaitu ekologis, sosio-kultural, dan ekonomis. Fungsi tunggal inilah yang menyebabkan warga kota tidak peduli terhadap keberadaan RTH.
Kedua, pengadaan Taman Monas dilakukan dengan pendekatan “setengah hati”, serta belum terintegrasi dalam satu sistem kehidupan kota. Ketiga, keberadaan Taman Monas sebagai RTH masih dikalahkan oleh berbagai kepentingan lain yang lebih “menguntungkan”. Keempat, jika mengikuti kategori atas barang dan jasa, Taman Monas termasuk barang yang dikonsumsi oleh banyak orang, tidak ekonomis, dan sulit dikelola. Kondisi ini berdampak pada permasalahan manajemen pengelolaan Taman Monas.
Membangun fisik kota mungkin dapat dilakukan dalam hitungan tahun, tetapi membangun kota yang berjiwa pasti membutuhkan waktu yang lebih lama. Jiwa kota kita sebenarnya ada di ruang terbuka hijau, bukan gedung pencakar langit atau mal yang setiap hari kian berlomba mempersempit ruang publik Jakarta.
Salah satu kegagalan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dalam mengelola aset, potensi, dan investasi RTH adalah kerena para pejabatnya seringkali tidak mengikutsertakan pihak yang berkepentingan, berhubungan, dan berkaitan langsung dengan keberadaan RTH. Mereka adalah warga kota terutama yang berdekatan langsung dengan komponen RTH, seperti yang bertempat tinggal di sekitar taman kota.
Mereka seringkali ditinggalkan dalam pengambilan keputusan dan perencanaan RTH kota, seolah-olah RTH milik pemda sendiri. Memang benar Dinas Pertamanan DKI memiliki program penggalangan peran serta masyarakat yang mencoba memberdayakan masyarakat melalui pola kemitraan. Tetapi, ibarat orang berpacaran, maunya hanya dicinta, namun yang dilakukan justru hal-hal yang menyakiti atau menyinggung perasaan pacar.
Dinas Pertamanan ingin merangkul warga dalam pengembangan RTH, tetapi di saat bersamaan dilaksanakan proyek kontroversial pemagaran Taman Monas yang dikecam dan mengundang antipati warga terhadap Pemprov DKI Jakarta dalam mengelola RTH. Mengharapkan keterlibatan dan partisipasi aktif warga dalam pengembangan RTH rasanya jauh api dari sumbernya. Padahal, warga lebih membutuhkan kehadiran taman lingkungan dan lapangan olah raga, bukan pemagaran Taman Monas dan renovasi air mancur. Pemerintah seharusnya menjembatani prioritas utama kebutuhan RTH warga dan menolak proyek-proyek yang tidak sejalan dengan program pengembangan RTH.
Penyalahgunaan pengelolaan ini melahirkan berbagai permasalahan. Sikap pemerintah yang “setengah hati” mengikutsertakan warganya dalam pengambilan keputusan memunculkan berbagai tindakan kriminal. Sebagai contoh Taman Monas sebagai RTH yang kini menjadi Urban Black Spot (ruang negatif dalam kota). Sejak area Monas dipagari banyak pengunjung yang masuk dengan cara melompati pagar, menurut pengakuan pelaku, hal itu ia lakukan karena terlalu jauh jika ia harus melalui pintu masuk. Bukan hanya melompat, bahkan ada pengunjung yang merusak pagar agar bisa dijadikan pintu masuk. Ada yang berpendapat telah terjadi reduksi makna Taman Monas sebagai ruang publik.
Bukan hanya pemagaran yang melahirkan penyimpangan. Pelarangan masuknya pedagang asongan ke area Monas ternyata juga menimbulkan tindakan kriminal, yakni adanya pedagang asongan yang menyamar sebagai pengunjung dengan membawa tas besar beisikan barang dagangan, tujuannya agar tidak ditangkap oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang sering mengadakan razia. Yang menarik, pengunjung Taman Monas sering disuguhi “tontonan gratis” kucing-kucingan ala Satpol PP dan pedagang asongan.
Dengan pemagaran dan pelarangan masuknya pedagang asongan ke area Taman Monas, sebenarnya pemerintah telah menciptakan pembatasan secara nyata dan psikologis terhadap warganya. Selain itu, munculnya anggapan pemerintah berlaku diskriminatif terhadap sebagian warganya, terutama kalangan bawah yang berusaha mencari nafkah di ruang publik (sebagian dari mereka adalah korban krisis ekonomi). Ketidaktertiban seharusnya dijawab dengan pengaturan, bukan pemagaran.
Selain itu, Taman Monas kerap dijadikan tempat kejahatan seksual. Menurut salah seorang pedagang asongan perempuan, ia pernah mengalami pelecehan seksual di malam hari, pelecehan itu dilakukan oleh gerombolan pemuda yang sedang mabuk. Namun, perempuan itu tidak melaporkan pelecehan tersebut kepada petugas, karena posisinya serba salah. Jika ia melapor, ia tetap akan disalahkan karena melanggar peraturan tidak boleh berjualan di area Taman Monas.

Kesimpulan

Kemerdekaan untuk menikmati lingkungan hidup kota yang sehat dan bersih dari berbagai tindak kriminalitas juga merupakan hak warga sipil. Pembangunan RTH seharusnya ditujuakan untuk memberikan kemaslahatan publik dan menyelesaikan berbagai persoalan, bukan malah melahirkan berbagai persoalan baru. Pada akhirnya bagaimana pun, menyelamatkan RTH berarti menyelamatkan aset, potensi, dan investasi kota yang sangat berharga dan berjangka panjang.
Terlepas dari itu, Taman Monas hampir tidak pernah sepi dari pengunjung. Taman Monas juga memberikan manfaat positif bagi pengunjung. Taman ini bisa menjadi sarana rekreasi yang murah dan terjangkau. Pengunjung yang datang pun beragam. Pada hari Senin sampai Jumat, pengunjung yang mendominasi taman ini adalah pelajar yang ingin mengunjungi monumen, kemudian mereka menyempatkan diri berkunjung ke taman sekedar untuk beristirahat, berolah raga, bermain, berbincang, dan makan.
Selain itu, para pekerja yang kantornya berada tidak jauh dari taman ini juga sering mampir untuk melepas rasa lelah. Di hari Sabtu, pengunjung Taman Monas didominasi oleh para remaja yang datang berpasang-pasangan. Sedangkan pada hari Minggu, kebanyakan pengunjung yang datang membawa keluarga, biasanya tujuan mereka untuk berekreasi dan berolah raga dengan memanfaatkan sarana olah raga yang tersedia. Jadi sebenarnya, ada sisi positif dan negatif tentang pemagaran dan diberlakukannya jam buka-tutup di area Monas.

Mimpi Sang Pemimpi


Fiksi merupakan fenomena sosial yang memperoleh kebenarannya sendiri. Kebenaran fiksi terletak pada ide yang berangkat dengan fenomena pengalaman dan refleksi, itulah yang kemudian disebut karya fiksi sebagai fenomena sosial. Sama halnya dengan novel Sang Pemimpi. Ketika pendidikan telah menjadi momok yang mencemaskan kehidupan bangsa, seorang penulis melahirkan sebuah novel yang mengajak kita untuk merenungkan kembali hakekat pendidikan sesungguhnya. Novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata mengajak kita berpetualang dalam kisah masa kecilnya.
Novel ini bertutur tentang perjuangan hidup yang harus dimenangkan dalam berbagai keterbatasan. Kehidupan Ikal, Arai, dan Jimbron jauh dari kriteria berkecukupan. Ibarat pribahasa Sudah Jatuh Tertiban Tangga, kebahagiaan seakan berusaha menjauh dari mereka. Di usia yang terbilang masih sangat muda Arai dan Jimbon harus kehilangan orang tua, sedangkan Ikal terasa terbebani dan tersiksa melihat sepupu jauhnya –yang tidak lain adalah Arai- menjadi sebatang kara. Akhirnya, Arai tinggal bersama keluarga Ikal, dan Jimbron diadopsi oleh seorang pendeta. Namun, itu bukan hambatan yang akan menyurutkan langkah mereka untuk menggapai mimpi.

Feminisme, Menentang…

Agustus 23, 2010


Nama buku: Feminisme untuk Pemula
Penulis: Susan Alice Watkins, Marisa Rueda dan Marta Rodrigues
Penerbit: Resist Book
Tahun terbit: Desember 2007
Tebal halaman: 176 Hal.




Kami adalah perempuan yang punya posisi istimewa. Jutaan perempuan lainnya telah berjuang mencintai dan mati. Semuanya turut memberikan andil bagi kerja besar yang tiada henti dalam sejarah kaum perempuan.(Sappho, penyair besar pada masa yunani kuno,650 SM).

Sebelum istilah feminisme ditemukan, sudah lebih dulu ditemukan berbagai bukti tentang gerakan perempuan, kebangkitan perempuan dan kekuasan perempuan yang sempat membuming. Feminisme muncul sebagai gerakan perlawanaan terhadap pembagian kerja disuatu dunia yang menetapkan kaum laki-laki sebagai yamg berkuasa dalam ranah public, seperti dalam pekerjaan, olahraga, perang, pemerintahan. Sementara kaum perempuan hanya menjadi pekerja tanpa upah di rumah, dan memikul seluruh beban kehidupan keluarga.
Pada awalnya gerakan feminisme ini memang diperlukan pada masa itu, dimana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriarki sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki.

Kekerasan yang Memeriahkan MPA


Kamu tau tidak, MPA (Masa Pengenalan Akademik) selalu dimeriahkan oleh bintang tamu  yang bernama “kekerasan simbolik” dan “kekerasan verbal” lho…
MPA, seremonial yang diselenggarakan pada awal masuknya maba (mahasiswa baru) sebelum menjalankan aktivitas perkuliahan. Dalam acara MPA maba akan diperkenalkan lingkungan akademik di dunia kampus yang asing bagi mereka. Jika dilihat tujuannya memang acara ini sangat bermanfaat. Namun, masih pentingkah kegiatan ini bila sudah melenceng dari tujuan awalnya?
Atribut MPA merupakan salah satu komponen “penting” yang harus dipakai oleh maba pada saat mengikuti acara tersebut. Atribut yang digunakan maba berbeda-beda sebagai pembentukan kreativitas mereka di tiap-tiap jurusan. Tas, topi, nametag, dan atribut lainnya tentu  bukan seperti yang sering kita pakai dalam beraktivitas sehai-hari. Semua harus serba unik, berbeda dan aneh sehingga terlihat tampak lucu. Bukan tidak mungkin maba dengan  atributnya hanya menjadi bahan tertawaan para senior mereka.
Untuk membuat atribut MPA tentu harus mengeluarkan modal yang tidak sedikit bagi sebagian maba yang berasal dari kalangan bawah, mengingat kampus ini adalah “kampus rakyat”. “Sebenarnya atribut nggak terlalu penting kok. Apalagi kalo nggak ada hubungannya ama akademik!” ungkap seorang maba FIS yang tidak mau menyebutkan namanya. Atribut yang dikenakan maba memang tidak selalu berhubungan dengan akademik dan tidak bermanfaat bagi proses pengenalan kampus. Tapi lagi-lagi, maba memilih untuk menuruti aturan penggunaan atribut dari senior-senior mereka dengan alasan kedisiplinan. Seakan-akan tidak mempedulikan adik-adiknya, seniorpun tidak mau tau, entah bagaimana caranya atribut tersebut harus dipakai pada saat MPA. Menilik hal itu, maka tidak salah jika kita namakan ini adalah kekerasan secara simbolik yang dilakukan para senior.
 
Design by Pocket