Antara Politik Islam dan Politisasi Islam

Agustus 10, 2012

Dewasa ini semakin banyak kajian ilmiah yang menyoroti masalah keagamaan, seperti kajian Stark dan Glock tentang dimensi-dimensi keberagamaan, Geertz yang meninjau agama sebagai sistem budaya, Alfort yang mengangkat tentang agama dan politik, Durkheim dan Weber yang memaparkan peran dan posisi agama dalam masyarakat dan masih banyak kajian lain terkait dengan kajian keagamaan dari berbagai perspektif yang berbeda-beda.


Dari sekian banyak kajian tersebut saya ingin menarasikan pemikiran mengenai peran agama dalam ranah politik di Indonesia. Pemikiran ini bertolak dari semakin maraknya persoalan yang malibatkan agama dan politik, terutama pada momen-momen tertentu, seperti saat menjelang pemilu. Politik semakin merapatkan posisinya pada agama, karena agama dinilai sebagai salah satu senjata paling ampuh untuk menarik massa. Salah satu contoh yang paling sering terjadi di beberapa wilayah adalah pembuatan Perda bebasis syariat Islam yang pada umumnya ditujukan untuk kepentingan politik jangka pendek para elit di masing-masing wilayah tersebut, yaitu agar terpilih lagi pada periode jabatan berikutnya.

Perda berbasis syariat seringkali digunakan sebagai alat untuk kepentingan pencitraan elit politik yang sedang berkuasa dan untuk mempertahankan tingkat kepercayaan publik terhadap penguasa eksekutif dan lembaga legislatif suatu wilayah. Selain itu, Perda berbasis syariat Islam juga menjadi semacam modal awal investasi politik untuk meraih simpati pemilih muslim dalam pilkada.

Perda berbasis syariat pun dijadikan ajang perlombaan bagi partai politik untuk menunjukan komitmen artifisial mereka terhadap kepentingan Islam dan umat Islam di Indonesia. Bagi partai politik, penampakan komitmen semacam itu menjadi signifikan untuk “menggaet” hati pemilih umat Islam dalam pemilu ataupun pilkada. Besarnya daya responsi agama secara moral terhadap persoalan-persoalan modern dewasa ini membuat politik semakin mudah "menyetir agama". 

Tidak hanya itu, peranan agama dan simbol-simbol supranatural di dalam politik memainkan arti penting. Agama pun bisa dijadikan landasan bagi struktur, landasan kepercayaan, atau sumber tradisi yang bisa dimanipulasi untuk kepentingan kekuasaan, serta menjadikan agama sebagai alat legitimasi oleh para elite yang berkuasa atau kekuatan yang mengejar kekuasaan. 

Relasi antara islam dan politik di Indonesia memiliki perjalanan sejarah yang cukup panjang. Relasi ini ditandai dengan asal mulanya islam masuk di nusantara, sekitar abad 7 M. Dalam perjalanan awal ini, islam berinteraksi dengan sosio kultural yang ada seperti hinduisme dan animisme.

Di balik semua itu islam mampu menancapkan pengaruhnya dalam sejarah indonesia. Sehingga beberapa abad kemudian islam malah menjadi penggerak untuk perkembangan politik di indonesia. Buktinya, perlawanan menghadapi kolonial belanda untuk memperoleh kemerdekaan terlepas dari belenggu penjajah, dimotori oleh pergerakan-pergerakan islam baik yang bersifat lokal tradisional maupun nasional modernis.

Fenomena politik islam kemudian berlanjut kepada proses pembentukan identitas negara, walaupun pada akhirnya islam harus berkompromi dalam proses pembangunan identitas bangsa tersebut. Namun, kompromi ini dikemudian hari menjadi boomerang bagi islam politik, seperti yang terjadi pada masa rezim orde baru bahkan indentitas islam politik semakin tidak jelas di masa orde reformasi. Hubungan antara islam dan politik di indonesia memilik sejarah yang amat panjang. Namun sejarah yang membangun relasi politik tersebut tampaknya sudah jauh dari cita-cita bangsa ini untuk melanjutkannya, karena saat ini kebanyakan orang labih suka mempolitisasi agama daripada membangun dan mengembangkan politik islam yang positif. 

Antara Politik Agama dan Politisasi Agama 

Politisasi agama atau penggunaan agama untuk kepentingan politik semakin marak. Hal ini terbukti dengan munculnya berbagai produk-produk hukum bernuansa agama di sejumlah daerah, yang sebetulnya untuk kepentingan politik. Begitu juga dengan adanya partai politik bernuansa agama. Akhirnya, sadar atau tidak sadar, agama digeser dari wilayah sakral ke wilayah profan (hukum dan politik). Pada hakekatnya agama menjadi sumber energi dan nilai-nilai yang positif, namun kenyataannya justru lebih kerap menjadi sumber masalah dan konflik. Itu sebabnya, fenomena politisasi agama, baik dalam bentuk peraturan-peraturan maupun partai politik bernuansa agama, seharusnya tidak lagi menjadi trend di era yang kian modern ini.

Tugas agama adalah melakukan politik agama, bukan politisasi agama. Politik agama adalah politik moral yang mengeluarkan suara kenabian termasuk melakukan kritik kepada pemerintah dan pejabat publik yang berkuasa, yang tidak menjalankan tugasnya dengan tanggung jawab. Sedangkan gerakan politisasi agama yang dilakukan dengan mengeksploitasi agama, menjadikan agama sebagai kendaraan politik untuk merebut kekuasaan politik.

"Pemakaian" ayat, dalil, atau ungkapan yang dinisbatkan pada agama tertentu sebenarnya identik dengan kemunculan kiai atau tokoh lain yang merepresentasikan agama. Kemunculan simbol-simbol tadi telah mengandung pesan, lebih dari makna yang terkandung dalam substansi yang sebenarnya. Tidak heran bila kosakata silaturahmi lebih sering digunakan ketimbang pertemuan politik. Membebaskan panggung politik dari anasir-anasir agama tidak semudah yang dibayangkan kelompok yang menganut paham pemisahan agama dan politik. Bahkan, bagi sebagian kalangan, memisahkan agama dan wilayah politik bukan saja sulit, tapi dipandang tidak perlu. 

Ada tiga paradigma lama mengenai hubungan agama dengan politik. Pertama, agama dan politik adalah dua hal yang berbeda wilayah. Agama merupakan wilayah pribadi yang bersifat illahiyah, sedangkan politik adalah masalah yang bersifat duniawiyah. Kedua, agama dan politik tidak bisa dipisahkan, sebab agama meliputi segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan politik. Ketiga, agama dan politik bukan dua hal yang perlu dipertentangkan, sebab agama adalah seperangkat nilai-nilai yang bisa menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi kehidupan manusia dalam segala aspek. 

Relasi Agama dan Politik 

Pada era reformasi dan demokratisasi saat ini, pemisahan antara agama dan politik sesungguhnya sudah tidak relevan lagi. Paradigma ini hanyalah propaganda yang diembuskan oleh mufti kaum imperialis Belanda Snouck Hurgronje di Indonesia. Dialah yang berusaha melakukan privatisasi agama (Islam) agar hanya menjadi ”agama masjid”. Anehnya, pola pikir tersebut melekat begitu kuat di sebagian besar elite politik Indonesia saat ini. Mereka berpendapat politik itu tidak berhubungan dengan agama. Karena itu, para ulama, kiai, ustaz-ustaz tidak perlu terjun atau memasuki ranah politik.

Privatisasi agama tersebut bukan saja merupakan bentuk pengingkaran terhadap hakikat manusia sebagai "Zoon Politicon", tetapi juga pengingkaran terhadap demokrasi itu sendiri. Larangan penggunaan ayat-ayat Alquran untuk berkampanye juga sama sekali tidak memiliki pijakan yang jelas. Paradigma tersebut justru nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Jika setiap tindakan politik tidak berhubungan dengan nilai-nilai agama, maka kekuasaan pun dapat diperjuangkan dengan segala cara. Karena itu, korupsi, manipulasi dan segala bentuk-bentuk penyalahgunaan wewenang bukanlah perbuatan dosa.

Pemisahan agama dengan politik hanya akan membawa bangsa Indonesia kepada nihilisme, kering dari tatanan nilai dan moralitas, serta tercerabut dari senyawa asli sejarah pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Paradigma kedua yang tidak memisahkan antara agama dan politik juga bertolak belakang dengan senyawa akhir sejarah pendirian NKRI. Persoalan ini bahkan pernah menjadi perdebatan sengit berbagai kelompok dalam sidang-sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Hasil akhir dari sidang-sidang PPKI telah memberi arah politik bangsa ini dengan amat jelas.

Pertama, Indonesia lahir bukan sebagai negara agama, tetapi juga bukan negara sekuler. Kedua, negara Indonesia mengakui asas keagamaan dan ingin bersikap positif terhadap agama pada umumnya dengan berbagai bentuk perwujudannya. Senyawa akhir inilah yang mendasari formulasi Pembukaan UUD 45, Pasal 6, dan pasal 29 UD 45 yang kini telah diamandemen.

Berpijak di senyawa akhir tersebut, penggunaan paradigma ketiga bagi bangsa Indonesia juga nampak kurang tepat. Dalam paradigma ketiga ini, agama dan politik bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan, tetapi juga tidak boleh dicampuradukan. Paradigma semacam ini justru menambah kerancuan secara aplikatif. Di satu sisi, kita mengakui agama dengan segala pengamalan, tetapi untuk hal-hal tertentu seperti masalah politik tidak diizinkan.

Kerancuan tersebut menjadi celah apologis yang hanya melahirkan topeng-topeng politik. Jika di dunia Barat adigium "Agama adalah Candu Kehidupan", muncul akibat penetrasi dogma agama secara terang-terangan, maka kemunculan adigium "Politik itu Kotor" di Indonesia adalah akibat pemanfaatan agama secara sembunyi-sembunyi untuk kepentingan politik.

Ketika tiga paradigma hubungan agama dengan politik tidak ada yang tepat, maka perlu dicari format baru hubungan agama dengan politik dalam arus reformasi dan demokrasi Indonesia modern. Formulasi yang tepat antara agama dengan politik bagi bangsa Indonesia saat ini adalah sintesa dari paradigma kedua dan ketiga.

Paradigma baru ini menempatkan agama di celah sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang berdimensi transendental dan menjiwai sila kedua sampai ke lima Pancasila. Dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa itulah secara inklusif terdapat ruang interaksi dan integrasi nilai-nilai adiluhung agama yang tak terhingga untuk diambil apinya yang bersifat temporal. Jadi dalam konfigurasi ini, agama harus ditempatkan di ruang yang terbuka.

Di sanalah umat beragama dituntut berperan menyajikan api agama secara kritis dan pluralis dengan membuang jauh-jauh "truth claim" dan ego kelompok maupun golongan. Dengan demikian, nilai-nilai aduluhung agama dapat menyinari segala penjuru kehidupan manusia, termasuk kehidupan politik tanpa harus memisahkan keduanya dan apalagi hanya menjadikan sebagai topeng politik. 

Kesimpulan 

Indonesia bukan negara agama dan bukan pula milik umat beragama tertentu. Karena itu agama juga tidak boleh dipakai untuk kepentingan politik. Karena, politik hakikatnya untuk mengelola kehidupan politik dan publik Indonesia bukanlah publik yang agamanya tunggal. Jadi, sangatlah berbahaya jika agama dipergunakan untuk kepentingan politik. Itu namanya "memerkosa" agama, karena agama yang hakikatnya sakral diperalat untuk politik yang hakikatnya profan.

Politik kebangsaan sebagai politik yang berwawasan kebangsaan, yaitu politik dengan tujuan untuk memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara, bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Politik kebangsaan bersifat konstruktif, bukan bersifat destruktif seperti upaya disintegrasi bangsa dan upaya untuk mengubah konsensus bangsa Indonesia. Kepentingan bangsa dan negara yang dimaksud merupakan cita-cita suatu bangsa ketika akan mendirikan suatu negara dimana cita-cita bangsa Indonesia secara tegas diuraikan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang didasarkan pada kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Politik berhubungan dengan tindakan-tindakan yang mengarah pada kesejahteraan umum masyarakat. Yang diutamakan dalam suatu negara adalah kepentingan dan kesejahteraan umum. Selain itu, politik tidak hanya berada dimana hukum atau peraturan diperankan dan diterapkan, tapi juga dimana suatu usaha dilakukan untuk menjamin konsensus dan persetujuan dari pihak masyarakat dengan peraturan-peraturan itu.

Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan dasar negara Pancasila merupakan contoh konsensus bangsa Indonesia ketika memerdekakan diri. Konsensus merupakan kesepakatan banyak pihak dimana tidak boleh diubah hanya karena kehendak sebagian pihak sekalipun pihak tersebut mayoritas secara kuantitas. Kalau mau mengubah konsensus harus disepakati oleh semua pihak yang terlibat dalam konsensus tersebut.

Prinsip hakiki dalam gelanggang politik adalah sikap menghargai dan menghormati tiap pribadi (person dan bukan individu saja) sebagai subyek, bukan obyek karena tiap pribadi manusia pada dasarnya memiliki harkat dan martabat yang setara. Tak seorang pun berhak merendahkan dan melecehkan pribadi makhluk ciptaan. Perendahan martabat manusia berarti melupakan kodrat keterciptaan diri manusia. Manusia tak pernah bisa digunakan sebagai medium untuk mencapai sasaran yang ingin dicapai. Penghargaan kemanusiaan ini berdasarkan prinsip keadilan sosial dalam semua bidang hidup. Jadi, agar tetap tegak dan utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 kita harus memiliki satu paradigma berpikir dengan menghindari adanya politisasi agama dan bersama-sama mengembalikan agama ke fitrahnya yang luhur. Jadikan agama-agama yang beranekaragam di Indonesia ini sebagai sumber untuk meningkatkan kualitas spiritual dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Jadikan agama-agama sebagai sumber energi untuk memupuk keutamaan-keutamaan moral dan peningkatan harkat-martabat manusia.
Daftar Pustaka 

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Jurdi, Syarifuddin. 2008. Pemikiran Politik Islam Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Zastrouw, Ng Al. 2006. Gerakan Islam Simbolik. Yogyakarta : LKiS Yogyakarta.
 
Design by Pocket