Musisi Jalanan, Citarasa Internasional

Agustus 02, 2012


Oleh: Mochammad Reyhandhiva Elvanto Putra*

“Music, like every other art, but especially music, makes us desire that everyone, as many people as possible, take part in our experience of pleasure. Nothing more forcefully reveals the true meaning of art: you are transported into others, and you want to feel through them.” (Tolstoy’s Diary)

Saat semuanya menjadi sulit, mereka memilih bergurau. Bagi mereka, canda mampu menepis kegelisahan yang menggelayut dalam nada-nada indah yang menari. Di sana lah mereka bisa berkata, di sana lah mereka tertawa, di sana lah mereka bisa terus beridiri tanpa ragu dan selalu tegar. Bagi mereka, inilah dunia yang paling indah. Hidup tanpa rekayasa, berteman tanpa basa-basi, jujur apa adanya, tidak ada yang tersakiti. Tak ada koruptor ataupun penyelewengan, tidak ada intrik untuk menyakiti atau melukai orang lain. Gaya hidup yang seadanya menjadi kunci utama. Musisi jalanan, nama indah bagi para pelaku seni yang bersahabat dan setia melantunkan tembang-tembangnya. Indah dan menarik.

“Hei, orang-orang yang berkulit bersih, kulitmu tak seindah kulit hitam legamku ini. Hai, manusia yang memakai dasi di sana! Harum parfummu tak sewangi keringat basahku ini. Dan hei, engkau yang berdiri di antara kemewahan. Kehidupanmu tak sebaik kemewahan gitar tuaku yang kusam. Hahaha…, aku adalah raja yang berlari tanpa beban hidup yang berarti. Hai orang-orang...! Hahahahahaha….
Inilah karya mereka. Mereka mampu mengekspresikan perasaannya untuk ketegaran dan keyakinan hatinya. Untuk bertahan hidup. Tawa dan canda bagian dari kehidupan para musisi jalanan.

Beberapa waktu lalu saya melewati salah satu stasiun di Jakarta, dalam perjalanan itu saya menemukan pemandangan yang menarik. Empat orang pria berusia sekitar 30 tahun, masing-masing membawa alat musik (biola, gitar dan bas betot serta kendang) yang tidak dimainkan pada setiap lagu. Lagu-lagu yang mereka bawakan adalah lagu yang umum didengar, mulai dari lagu The Beatles, Santana sampai Situmorang. Semuanya dibawakan dengan santai, seolah tanpa beban. Ini merupakan pemandang baru bagi saya, mungkin juga bagi penikmat musik lainnya.

Mereka bukan artis terkenal, juga bukan seorang amatiran. Semua nada terjalin dengan baik dan sempurna. Kelebihan mereka dibanding artis-artis label ringtone adalah semua penonton bebas ikut menikmati lantunan lagu tanpa harus ikut menyumbangkan uang (semacam free rider). Penampilan mereka jauh lebih berharga daripada para pemain musik yang terkenal di berbagai media. Mereka menghibur sambil mencari nafkah, namun mereka tak pernah memaksa pendengar untuk membayar.

Mungkin bagi warga New York, London, Singapura dan Paris ini merupakan hal yang lumrah. Tapi, bagi warga Jakarta ini bagaikan seteguk air segar di tengah “Kota Panas”. Tampilan musisi jalanan yang semakin profesional membuat citarasa musik semakin meningkat. Kalau bisa dibandingkan, kualitas musik mereka tidak kalah dengan musisi kelas internasional. Di sini kita tidak berbicara tentang para pengamen biasa, tetapi musisi jalanan profesional. Semakin banyak musisi jalanan yang profesional, semakin menunjukkan kualitas kemapanan musik Indonesia dan membuat masyarakat kita semakin belajar untuk mengapresiasi secara baik.

Hal tersebut sudah dibuktikan oleh Klantink, yaitu musisi jalanan yang berarasal dari kota Surabaya. Musik mereka yang apa adanya namun kreatif, selalu menyuguhkan hal-hal yang baru. Mereka memanfaatkan barang selain alat musik untuk dimainkan, misalnya dengan memukul lantai untuk menghasilkan nada. Sekarang mereka telah mengukir prestasi lewat sebuah ajang kompetisi yang digelar salah salah satu stasiun TV nasional.

*Siswa SMA Labschool Jakarta
 
Design by Pocket