Mengamati Pasar: Belajar dari Laboratorium Sosial

Agustus 02, 2012


Oleh: Muh. Zulfajri Taswin

Pasar Sumur Batu, Kecamatan Sumur Batu, Jakarta Pusat ini sudah ramai sejak subuh, terutama di hari Minggu. Pengunjungnya pun datang dari berbagai strata sosial dan tempat di Jakarta Pusat dan Jakarta Utara. Kendaraan dengan berbagai jenis dan model berjejer rapi di parkiran. Mobil, motor, sepeda, bajaj setia menunggu langganan, tukang ojek pun tak ketinggalan mencari penumpang.

Di bagian depan pasar, tepat di pintu masuk utama, terdapat deretan penjual buah.  Buah yang mereka jual beraneka ragam. Masuk ke bagian tengah sebelah kiri, dihuni oleh pedagang sayuran yang menjajakan segala jenis sayur, baik yang datang dari lokasi di sekitar Jakarta maupun dari tempat yang lebih jauh, seperti Rancamaya di Bogor. Bagian belakang pasar sebelah kanan terdapat kios penjual buah, toko beras dan barang kelontong. Lokasinya terang, dengan warna cat yang cerah meski agak kusam.

Berbeda dengan bagian tengah yang bersih dan teratur, bagian belakang pasar agak becek, lembab dan bau. Mungkin, karena di bagian inilah sebagian besar penjual daging menyatu. Bau selokan pasar yang mampet oleh sampah yang menumpuk menyatu dengan bau keringat para pembeli dan penjual yang saling debat tentang kualitas dagangan mereka.

Di hampir tiap sudut pasar terdengar teriakan penjual yang menawarkan dagangannya. Ini tentu saja merupakan tindakan persuasif untuk menarik konsumen datang. Interaksi yang terjadi antara penjual dan pembeli berupa proses tawar-menawar, dan tidak jarang terjadi perdebatan panjang oleh calon pembeli dan penjual demi mencapai kesepakatan harga.

Pukul 08.00 WIB, biasanya para pembeli sudah terlihat memenuhi seisi pasar. Pada saat-saat seperti ini arus lalu lintas di sekitar pasar seringkali macet. Kemacetan tersebut disebabkan oleh kendaraan pengunjung dan lalu-lalang mobil pick-up pengantar barang yang melintas berlawanan arah. Saat seperti inilah peranan tukang parkir sangat berguna bagi ketertiban arus lalu lintas sekitar pasar. Pada pukul 09.00 WIB, tingkat kepadatan pasar sedikit mereda. Terlihat beberapa pembeli kesulitan mencari barang kebutuhannya karena barang yang diinginkannya telah habis terjual.

Salah satu sudut yang menarik untuk diamati adalah beberapa warung tenda yang cukup ramai oleh pembeli. Letaknya berdampingan dengan tempat penampungan sampah. Berbagai macam makanan dijajakan. Aromanya mengundang selera, meski sedikit dikaburkan oleh bau menyengat dari tempat penampungan sampah. Namun, hal itu tidak mengurangi nafsu makan pembelinya.

Menuju pukul 11.00 WIB, pasar mulai sepi dan banyak kios yang tutup. Arus lalu lintas di sekitar wilayah pasar pun mereda, karena jam masuk kerja telah terlewati. Pembeli yang memadati pasar pun telah berkurang dan para penjual yang barang dagangannya laku pulang dengan senyuman puas. Tukang pikul bergegas pulang ke rumahnya, tak terkecuali tukang parkir.

Setelah mengamati pasar tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam satu tempat dapat berlangsung lebih dari satu interaksi. Menurut penulis, pasar tradisional merupakan salah satu laboratorium hidup yang penuh dengan berbagai latar belakang profesi, suku, agama, ras dan sebagainya. Tetapi memiliki satu kesamaan tujuan yaitu melakukan aktivitas jual-beli. Interaksi juga terjadi di sini, tawar-menawar adalah salah satunya.

*Siswa SMA Labschool Jakarta
 
Design by Pocket