Peraturan Daerah
(Perda) berbasis syariat Islam, itulah yang menjadi perdebatan di kalangan
masyarakat, ada yang mendukung, tapi tak sedikit yang menolak penerapan Perda tersebut.
Maraknya penerapan Perda itu di tingkat pemerintah lokal, baik provinsi maupun
kabupaten, tampaknya didorong oleh program desentralisasi atau otonomi daerah
yang merupakan salah satu bagian dari proses demokratisasi pasca orde baru. Kondisi
ini makin meningkat terutama sejak provinsi Aceh mendapatkan otonomi khusus
melalui serangkaian peraturan perundang-undangan nasional untuk memberlakukan
secara formal sejumlah ketentuan syariat Islam di wilayahnya.[1]
Apa yang terjadi di Aceh mewabah ke beberapa daerah yang memiliki tradisi dan
kesejarahan Darul Islam yang cukup kuat, seperti Sulawesi Selatan dan Jawa
Barat.
Meski mendapat banyak
penolakan, namun Perda berbasis syariat Islam tetap diterapkan. Bahkan
pemerintah pusat pun cenderung ambigu dalam kasus ini, mereka menjadi safety player dalam menanggapinya. Esai
ini membahas tentang apa sebenarnya kepentingan di balik Perda berbasis syariat
Islam yang cenderung memaksa.
KASUS
Siswi-Siswi Kristen Pun
Terpaksa Berjilbab
Kewajiban Busana Muslim di Kota Padang[2]
Pada 7 Maret 2005,
Walikota Padang, Fauzi Bahar mengeluarkan instruksi kewajiban berjilbab bagi
seluruh sekolah. Sejak saat itu kontroversi pun meledak. Pasalnya, jilbab
merupakan pilihan pribadi bagi pemakainya. Dengan instruksi tersebut, berjilbab
bukan lagi pilihan atau kerelaan, melainkan pemaksaan.
Kelompok minoritas (non
muslim) pun merasa sangat terganggu, bahkan terancam kebebasannya karena mereka
pun wajib mengikuti aturan tersebut. Ternyata, tak hanya siswi non muslim yang
merasa terpaksa, siswi muslimah pun merasa terpaksa memakai jilbab sebagai
peraturan sekolah. Kondisi yang memaksa ini tidak hanya berkutat pada masalah
jilbab, simbol-simbol keislaman pun memenuhi setiap sudut sekolah, selain itu
kuliah tujuh menit (kultum) yang berisi ceramah agama islam tidak boleh mereka
lewatkan. Semua itu membuat pandangan umum sekolah-sekolah negeri berubah menjadi sekolah agama (madrasah).
Secara umum kondisi umat Kristen di Padang merasa tertekan.
Orang tua yang ingin menghindar dari
aturan tersebut memindahkan anak-anak mereka secara langsung ke sekolah-sekolah
Katolik/Kristen, atau menyekolahkan anak-anak mereka di luar daerah Sumantera
Barat.
ANALISIS
Perda bebasis syariat Islam
pada umumnya ditujukan untuk kepentingan politik jangka pendek para elit di
masing-masing wilayah tersebut, yaitu agar terpilih lagi pada periode jabatan
berikutnya. Perda berbasis syariat seringkali digunakan sebagai alat untuk
kepentingan pencitraan elit politik yang sedang berkuasa dan untuk mempertahankan
tingkat kepercayaan publik terhadap penguasa eksekutif dan lembaga legislatif
suatu wilayah. Selain itu, Perda berbasis syariat Islam juga menjadi semacam
modal awal investasi politik untuk meraih simpati pemilih muslim dalam pilkada.
Perda berbasis syariat
pun dijadikan ajang perlombaan bagi partai politik untuk menunjukan komitmen
artifisial mereka terhadap kepentingan Islam dan umat Islam di Indonesia. Bagi
partai politik, penampakan komitmen semacam itu menjadi signifikan untuk “menggaet”
hati pemilih umat Islam dalam pemilu ataupun pilkada. Sejauhmana upaya politik
pencitraan semacam ini berhasil merebut simpati umat Islam tentu saja tidak
dapat diketahui secara pasti. Akan tetapi, upaya tersebut menjelaskan betapa
banyaknya motivasi di balik lahirnya Perda tersebut. Singkatnya, kesalehan religius
bukanlah semata-mata pendorong munculnya Perda berbasis syariat, tetapi
pertimbangan politik tak jarang turut melatarbelakangi keberadaan Perda itu.
Perda berbasis syariat
Islam dianggap sebagai standar pelaksanaan praktek keagamaan yang dapat
diterima dan dipandang sah secara hukum di sebuah daerah. Ketika Perda tersebut
diberlakukan, tak pelak seluruh warga diminta (secara sukarela maupun melalui
paksaan) untuk menyesuaikan diri dan mematuhi ketentuan perda itu. Padahal
secara realita, Perda berbasis syariat tidak dapat menjawab persoalan
substansial bangsa tentang kemiskinan, korupsi yang merajalela dan kerusakan
lingkungan, karena perda tersebut cenderung ‘menghukum’ para pelaku kejahatan
kelas teri (orang-orang kecil) seperti perjudian, pencurian, dan perzinahan.
Perda berbasis syariat tidak punya “keberanian” menghadapi penjahat kelas kakap
yang justru memiliki kedekatan politik dengan para tokoh organisasi pendukung
perda syariat Islam. Pemberlakuan syariat Islam di Aceh, misalnya, hanya mampu
menghukum maling, penjudi, penzinah kelas teri.
Perda berbasis syariat
Islam secara realitas, seperti tampak dan dirasakan masyarakat Aceh, hanya
melahirkan ketertekanan politik kepada masyarakat bawah yang seolah-olah diatur
dengan moralitas abstrak. Sementara para pejabat dan ulama menjadi pemegang
kebenaran moral syariat agama. Masyarakat dengan segala elemen dan hirarkinya
tidak lebih dipandang sebagai sasaran kebijakan hukum. Tidak mengherankan
apabila dominasi hukum negara melalui berbagai produk hukum dan kebijakan telah
menyebabkan elemen dan kelompok-kelompok masyarakat semakin terpinggirkan. Tampaknya,
para pemegang kekuasaan menggunakan agama Sebagai alat untuk melenakan dan
menindas rakyat kecil, sedangkan bagi para penguasa agama merupakan alat untuk
mencapai kekuasaan atau kepentingan.
REFLEKSI
SOSIOLOGIS
Perspektif sosiologis mengungkapkan bahwa nilai,
norma, adat, kebiasaan, kesepakatan sosial dan sebagainya yang ada dalam setiap
elemen masyarakat sebagai hukum rakyat tidak berlaku universal. Sementara hukum
negara bersifat universal, memaksa, dan seragam. Dalam konteks ini, membangun
kesetaraan di atas dua ranah hukum yang dianut oleh masyatakat akan memberikan
jaminan bagi harmonisasi kehidupan. Oleh karena itu implementasi perda
bernuansa syariat Islam akan berhasil apabila ia mampu memayungi semua elemen masyarakat,
lebih-tebih apabila masyarakat yang heterogen.
Bagi elemen masyarakat yang mempunyai kesadaran
kolektif sejalan dengan kepatuhan akan hadimya hukum Negara, termasuk perda
bernuansa syariat Islam, akan menjadikan hal itu sebagai norma dan nilai
bersama bagi tatanan kehidupan. Namun, apabila reproduksi norma atau nilai
bersama ini dibangun atas landasan kesadaran palsu (false conciousness)
maka yang berkembang nantinya adalah kepura-puraan, dan dalam ranah
religiusitas akan muncul kesalehan formal, kepatuhan palsu yang dilakukan untuk
sekedar menghindari jeratan sanksi negara. Sebaliknya, mereka yang tidak patuh
pada hukum negara dan berjalan di atas hukum rakyat (folk law), mereka
pun akan rnereproduksi tatanan nilai dan norma tersendiri.
KESIMPULAN
Penerapan formal
syariat islam melalui Perda merupakan upaya perangkat negara memperkecil hak
individual muslim untuk memiliki pandangan dan tafsiran tersendiri mengenai
suatu ajaran keagamaan. Setiap elemen
masyarakat akan selalu rnereproduksi tatanan nilai dan norma atas dasar way
of life, yang pada gilirannya akan menjadi nilai kolektif, kebiasaan
sehari-hari, kesepakatan-kesepakatan sosial dan adaptasi dari semuanya, sebagai
acuan dalam hukum rakyat. Sebaliknya, negara pun punya norma tersendiri dalam
memproduksi hukum.[3]
Dihadapkan dengan kondisi tersebut, setiap elemen masyarakat akan melakukan
respon yang berbeda satu sama Iain. Respon tidak saja atas nilai yang dianut,
tetapi juga respon dalam artian individual, kolektif, dan atas dasar karakter
sosial dengan segala dimensinya.
Kepatuhan pada hukum rakyat bagi sebagian masyarakat
tidak berarti mereka menafikkan hukum negara. Protes terhadap hukum negara
tidak berarti bahwa mereka yang patuh pada hukum rakyat tidak menjadikan hukum
negara sebagai acuannya. Dalam konteks tertentu kepatuhan terhadap hukum negara
dan hukum rakyat akan tetap terjadi. Yang diperlukan adalah ruang negosiasi di
antara dua kutub yang akan selalu ada di tengah-tengah masyarakat. Apabila
ruang negosiasi antara masyarakat yang menganut folk law dengan
masyarakat yang setuju state law tidak terakomodasi, maka hampir
dipastikan bahwa konflik akan selalu membayangi tatanan kehidupan
masyarakat.
Dalam kasus penerapan Perda berbasis syariat Islam terlihat
bahwa negara terkesan memaksakan penerapan syariat Islam bagi warganya, padahal
negara tidak berhak atas hal tersebut. Negara seharusnya lebih fokus dan
memperhatikan jaminan perlindungan warganya yang beragama islam untuk
melaksanakan perintah-perintah islam sesuai dengan keyakinan dan pandangan
keagamaan yang mereka pilih secara sukarela, dan bukannya sebagai kewajiban
keagamaan yang diinstruksikan oleh lembaga negara.
[1]
Arskal Salim, “Perda Berbasis Agama dan Perlindungan Konstitusional
Penegakan HAM” Jurnal Perempuan,
edisi 60, hlm. 8.
[2]
Kasus ini pernah dimuat di Jurnal Perempuan Edisi 60, namun disajikan
kembali dengan bahasa penulis.
[3] Pro Kontra Implementasi Perda Syariah,
diakses dari http://journal.uii.ac.id/index.php/JHI/article/viewFile/249/244,
pada 9 Juni 2011, pukul 19.30 WIB.