KEPENTINGAN POLITIK DALAM PERDA BERBASIS SYARIAT ISLAM

Agustus 10, 2012


Peraturan Daerah (Perda) berbasis syariat Islam, itulah yang menjadi perdebatan di kalangan masyarakat, ada yang mendukung, tapi tak sedikit yang menolak penerapan Perda tersebut. Maraknya penerapan Perda itu di tingkat pemerintah lokal, baik provinsi maupun kabupaten, tampaknya didorong oleh program desentralisasi atau otonomi daerah yang merupakan salah satu bagian dari proses demokratisasi pasca orde baru. Kondisi ini makin meningkat terutama sejak provinsi Aceh mendapatkan otonomi khusus melalui serangkaian peraturan perundang-undangan nasional untuk memberlakukan secara formal sejumlah ketentuan syariat Islam di wilayahnya.[1] Apa yang terjadi di Aceh mewabah ke beberapa daerah yang memiliki tradisi dan kesejarahan Darul Islam yang cukup kuat, seperti Sulawesi Selatan dan Jawa Barat.
Meski mendapat banyak penolakan, namun Perda berbasis syariat Islam tetap diterapkan. Bahkan pemerintah pusat pun cenderung ambigu dalam kasus ini, mereka menjadi safety player dalam menanggapinya. Esai ini membahas tentang apa sebenarnya kepentingan di balik Perda berbasis syariat Islam yang cenderung memaksa.

KASUS

Siswi-Siswi Kristen Pun Terpaksa Berjilbab
Kewajiban Busana Muslim di Kota Padang[2]

Pada 7 Maret 2005, Walikota Padang, Fauzi Bahar mengeluarkan instruksi kewajiban berjilbab bagi seluruh sekolah. Sejak saat itu kontroversi pun meledak. Pasalnya, jilbab merupakan pilihan pribadi bagi pemakainya. Dengan instruksi tersebut, berjilbab bukan lagi pilihan atau kerelaan, melainkan pemaksaan.
Kelompok minoritas (non muslim) pun merasa sangat terganggu, bahkan terancam kebebasannya karena mereka pun wajib mengikuti aturan tersebut. Ternyata, tak hanya siswi non muslim yang merasa terpaksa, siswi muslimah pun merasa terpaksa memakai jilbab sebagai peraturan sekolah. Kondisi yang memaksa ini tidak hanya berkutat pada masalah jilbab, simbol-simbol keislaman pun memenuhi setiap sudut sekolah, selain itu kuliah tujuh menit (kultum) yang berisi ceramah agama islam tidak boleh mereka lewatkan. Semua itu membuat pandangan umum sekolah-sekolah negeri berubah menjadi sekolah agama (madrasah).
Secara umum kondisi umat Kristen di Padang merasa tertekan. Orang tua yang ingin menghindar dari aturan tersebut memindahkan anak-anak mereka secara langsung ke sekolah-sekolah Katolik/Kristen, atau menyekolahkan anak-anak mereka di luar daerah Sumantera Barat.

ANALISIS

Perda bebasis syariat Islam pada umumnya ditujukan untuk kepentingan politik jangka pendek para elit di masing-masing wilayah tersebut, yaitu agar terpilih lagi pada periode jabatan berikutnya. Perda berbasis syariat seringkali digunakan sebagai alat untuk kepentingan pencitraan elit politik yang sedang berkuasa dan untuk mempertahankan tingkat kepercayaan publik terhadap penguasa eksekutif dan lembaga legislatif suatu wilayah. Selain itu, Perda berbasis syariat Islam juga menjadi semacam modal awal investasi politik untuk meraih simpati pemilih muslim dalam pilkada.
Perda berbasis syariat pun dijadikan ajang perlombaan bagi partai politik untuk menunjukan komitmen artifisial mereka terhadap kepentingan Islam dan umat Islam di Indonesia. Bagi partai politik, penampakan komitmen semacam itu menjadi signifikan untuk “menggaet” hati pemilih umat Islam dalam pemilu ataupun pilkada. Sejauhmana upaya politik pencitraan semacam ini berhasil merebut simpati umat Islam tentu saja tidak dapat diketahui secara pasti. Akan tetapi, upaya tersebut menjelaskan betapa banyaknya motivasi di balik lahirnya Perda tersebut. Singkatnya, kesalehan religius bukanlah semata-mata pendorong munculnya Perda berbasis syariat, tetapi pertimbangan politik tak jarang turut melatarbelakangi keberadaan Perda itu.
Perda berbasis syariat Islam dianggap sebagai standar pelaksanaan praktek keagamaan yang dapat diterima dan dipandang sah secara hukum di sebuah daerah. Ketika Perda tersebut diberlakukan, tak pelak seluruh warga diminta (secara sukarela maupun melalui paksaan) untuk menyesuaikan diri dan mematuhi ketentuan perda itu. Padahal secara realita, Perda berbasis syariat tidak dapat menjawab persoalan substansial bangsa tentang kemiskinan, korupsi yang merajalela dan kerusakan lingkungan, karena perda tersebut cenderung ‘menghukum’ para pelaku kejahatan kelas teri (orang-orang kecil) seperti perjudian, pencurian, dan perzinahan. Perda berbasis syariat tidak punya “keberanian” menghadapi penjahat kelas kakap yang justru memiliki kedekatan politik dengan para tokoh organisasi pendukung perda syariat Islam. Pemberlakuan syariat Islam di Aceh, misalnya, hanya mampu menghukum maling, penjudi, penzinah kelas teri.
Perda berbasis syariat Islam secara realitas, seperti tampak dan dirasakan masyarakat Aceh, hanya melahirkan ketertekanan politik kepada masyarakat bawah yang seolah-olah diatur dengan moralitas abstrak. Sementara para pejabat dan ulama menjadi pemegang kebenaran moral syariat agama. Masyarakat dengan segala elemen dan hirarkinya tidak lebih dipandang sebagai sasaran kebijakan hukum. Tidak mengherankan apabila dominasi hukum negara melalui berbagai produk hukum dan kebijakan telah menyebabkan elemen dan kelompok-kelompok masyarakat semakin terpinggirkan. Tampaknya, para pemegang kekuasaan menggunakan agama Sebagai alat untuk melenakan dan menindas rakyat kecil, sedangkan bagi para penguasa agama merupakan alat untuk mencapai kekuasaan atau kepentingan.

REFLEKSI SOSIOLOGIS           

Perspektif sosiologis mengungkapkan bahwa nilai, norma, adat, kebiasaan, kesepakatan sosial dan sebagainya yang ada dalam setiap elemen masyarakat sebagai hukum rakyat tidak berlaku universal. Sementara hukum negara bersifat universal, memaksa, dan seragam. Dalam konteks ini, membangun kesetaraan di atas dua ranah hukum yang dianut oleh masyatakat akan memberikan jaminan bagi harmonisasi kehidupan. Oleh karena itu implementasi perda bernuansa syariat Islam akan berhasil apabila ia mampu memayungi semua elemen masyarakat, lebih-tebih apabila masyarakat yang heterogen.
Bagi elemen masyarakat yang mempunyai kesadaran kolektif sejalan dengan kepatuhan akan hadimya hukum Negara, termasuk perda bernuansa syariat Islam, akan menjadikan hal itu sebagai norma dan nilai bersama bagi tatanan kehidupan. Namun, apabila reproduksi norma atau nilai bersama ini dibangun atas landasan kesadaran palsu (false conciousness) maka yang berkembang nantinya adalah kepura-puraan, dan dalam ranah religiusitas akan muncul kesalehan formal, kepatuhan palsu yang dilakukan untuk sekedar menghindari jeratan sanksi negara. Sebaliknya, mereka yang tidak patuh pada hukum negara dan berjalan di atas hukum rakyat (folk law), mereka pun akan rnereproduksi tatanan nilai dan norma tersendiri.

KESIMPULAN

Penerapan formal syariat islam melalui Perda merupakan upaya perangkat negara memperkecil hak individual muslim untuk memiliki pandangan dan tafsiran tersendiri mengenai suatu ajaran keagamaan.  Setiap elemen masyarakat akan selalu rnereproduksi tatanan nilai dan norma atas dasar way of life, yang pada gilirannya akan menjadi nilai kolektif, kebiasaan sehari-hari, kesepakatan-kesepakatan sosial dan adaptasi dari semuanya, sebagai acuan dalam hukum rakyat. Sebaliknya, negara pun punya norma tersendiri dalam memproduksi hukum.[3] Dihadapkan dengan kondisi tersebut, setiap elemen masyarakat akan melakukan respon yang berbeda satu sama Iain. Respon tidak saja atas nilai yang dianut, tetapi juga respon dalam artian individual, kolektif, dan atas dasar karakter sosial dengan segala dimensinya.
Kepatuhan pada hukum rakyat bagi sebagian masyarakat tidak berarti mereka menafikkan hukum negara. Protes terhadap hukum negara tidak berarti bahwa mereka yang patuh pada hukum rakyat tidak menjadikan hukum negara sebagai acuannya. Dalam konteks tertentu kepatuhan terhadap hukum negara dan hukum rakyat akan tetap terjadi. Yang diperlukan adalah ruang negosiasi di antara dua kutub yang akan selalu ada di tengah-tengah masyarakat. Apabila ruang negosiasi antara masyarakat yang menganut folk law dengan masyarakat yang setuju state law tidak terakomodasi, maka hampir dipastikan bahwa konflik akan selalu membayangi tatanan kehidupan masyarakat.
Dalam kasus penerapan Perda berbasis syariat Islam terlihat bahwa negara terkesan memaksakan penerapan syariat Islam bagi warganya, padahal negara tidak berhak atas hal tersebut. Negara seharusnya lebih fokus dan memperhatikan jaminan perlindungan warganya yang beragama islam untuk melaksanakan perintah-perintah islam sesuai dengan keyakinan dan pandangan keagamaan yang mereka pilih secara sukarela, dan bukannya sebagai kewajiban keagamaan yang diinstruksikan oleh lembaga negara.


[1]  Arskal Salim, “Perda Berbasis Agama dan Perlindungan Konstitusional Penegakan HAM” Jurnal Perempuan, edisi 60, hlm. 8.
[2]  Kasus ini pernah dimuat di Jurnal Perempuan Edisi 60, namun disajikan kembali dengan bahasa penulis.
[3] Pro Kontra Implementasi Perda Syariah, diakses dari http://journal.uii.ac.id/index.php/JHI/article/viewFile/249/244, pada 9 Juni 2011, pukul 19.30 WIB.
 
Design by Pocket