Film Horor: Media Sosialisasi Nilai-Nilai Misoginis

Agustus 10, 2012

Film masuk ke dalam jajaran seni yang ditopang oleh industri hiburan menawarkan impian pada penonton yang ikut menunjang lahirnya karya-karya dalam dunia perfilman. Film sering disebut sebagai sarana hiburan dan rekreasi masyarakat yang relatif murah. Film ditayangkan di bioskop dengan harga tiket yang variatif, film juga dapat dinikmati di televisi. Hal ini memungkinkan seluruh lapisan masyarakat dapat menikmatinya. Oleh karena itu, saat ini film semakin diakui sebagai kebutuhan manusia. 

Film merupakan manifestasi perkembangan kehidupan budaya masyarakat pada masanya. Dari zaman ke zaman, film mengalami perkembangan baik dari segi teknologi yang digunakan maupun tema yang diangkat. Hal ini disebabkan karena film berkembang sejalan dengan unsur-unsur budaya masyarakat yang melatarbelakanginya, termasuk di dalamnya adalah perkembangan bahasa. Film tidak dapat terlepas dari kondisi sosial budaya masyarakat yang melatarbelakangi pembuatan film tersebut. Dengan kata lain, film merupakan cerminan budaya manusia.

Film Horor dari Waktu ke Waktu                                      

Dalam beberapa tahun kemunculannya, film-film horor Indonesia menyuguhkan konstruksi hantu-hantu yang masih terikat dengan mitos dan kepercayan yang terikat kuat dengan masyarakat Indonesia. Penampilan dan kemunculan hantu-hantu yang dapat dibilang "tradisional" seperti pocong, genderuwo, sundel bolong, dan sebagainya muncul saat pertama kali film horror masuk dalam dunia perfilman di Indonesia. Seiring dengan perkembangan, konstruksi hantu-hantu mulai mangalami peralihan, yakni lebih kepada penangkatan cerita-cerita mengenai orang-orang yang mempunyai kekuatan lebih, seperti Nyai Roro Kidul, Nyai Blorong, Ratu Pantai Selatan dan beberapa cerita rakyat yang diusung menjadi sebuah tontonan berbentuk film seperti, cerita tentang kepala gadis pemakan bayi, gadis jadi-jadian yang berubah rupa di malam purnama dan lain sebagainya.

Pada tahun 1970-an sampai dengan 1990-an, kebanyakan kisah film horor berpusat pada tokoh perempuan yang teraniaya sampai mati, lalu menjadi hantu gentayangan. Tatkala masih hidup dan eksis sebagai manusia, perempuan adalah makhluk yang tak berdaya di hadapan laki-laki. Perlawanan para perempuan terhadap laki-laki hanya bisa dilakukan ketika mereka telah meninggal dan menjadi hantu.

Setelah menjadi hantu, para perempuan itu baru bisa membalas perlakuan para laki-laki atas mereka. Dalam film-film itu sering digambarkan sejumlah lelaki bejat mati secara mengenaskan di tangan arwah perempuan gentayangan. Sekilas, racikan kisah macam ini seolah menampilkan sosok perempuan yang mampu membalas penindasan yang diterimanya dari kaum laki-laki. Tapi kalau diamati lebih dalam, nyatalah bahwa film itu memosisikan perempuan sebagai sosok marjinal, karena perlawanan perempuan terhadap laki-laki itu hanya terjadi ketika sang perempuan telah meninggalkan dunia yang nyata dan menjadi arwah. Selama masih menjadi manusia, perempuan adalah sosok tak berdaya.

Melalui kisah semacam itu, film-film horor Indonesia pada 1970-an sampai 1990-an sebenarnya merepresentasikan sosok perempuan sebagai manusia tak berdaya. sebagai manusia yang eksis, perempuan tak berdaya. Baru kemudian, jika mereka mati dan menjadi hantu, mereka akan berubah jadi sosok yang berdaya. Pada posisi inilah, marjinalisasi terhadap perempuan terjadi di dalam film-film horor.[1] 

Marjinalisasi perempuan dalam film horor juga terjadi tatkala sosok perempuan sebagai manusia yang utuh direduksi sebagai sekadar tubuh yang digunakan untuk alat pemuas kebutuhan seksual. Mulai dekade 1980-an, film-film horor mulai memasukkan adegan-adegan panas dalam bangunan alur mereka. Mula-mula sebagai bumbu, tapi lama-kelamaan seks justru menjadi inti cerita.

Pada tahun 1990-an, amat banyak film horor yang menyajikan adegan seks secara vulgar dan berlebihan. Pada dekade itu pula lahir sejumlah artis wanita yang sering dijuluki sebagai "bom seks" karena peranan mereka dalam film horor. Relasi fisikal tubuh antara laki-laki dan perempuan dalam film horor tidak hanya bisa dilihat sebagai sebuah relasi biologis semata. Adegan-adegan seksual yang umumnya menempatkan perempuan sebagai pihak yang tak berdaya itu juga menjadi sebuah petanda adanya relasi ideologis. Dalam relasi ideologis tersebut, perempuan hampir selalu berada sebagai pihak yang marjinal. Dalam dunia kapitalisme yang dipengaruhi wacana patriarki, perempuan akan selalu ditempatkan sebagai ”objek kesenangan” dari dunia laki-laki.

Menginjak tahun 1990-an, penyajian film-film horor di Indonesia mulai menginjak pada suatu tahap yang dapat dikatakan modern, konstruksi hantu yang ditampilkan pada saat itu mulai mengangkat hantu-hantu modern yang terlepas dari cerita-cerita kepercayaan zaman dulu. Pada masa ini, mitos-mitos tradisional yaitu ditampilkan adalah hantu-hantu yang merupakan arwah penasaran akibat penganiayaan atau kekerasan dengan penampilan yang cantik dan seksi, seperti film Si Manis Jembatan Ancol, yang bercerita tentang sosok hantu manis dan seksi yang merupakan arwah penasaran akibat penganiayaan oleh para pria di sekitar daerah Ancol.

Setelah itu, memasuki tahun 2000-an konstruksi hantu-hantu dalam film horor di Indonesia banyak mendapatkan pengaruh dari film horor luar negeri, yang paling fenomenal adalah pengaruh hantu dengan gaya shadako (sosok hantu perempuan Jepang dengan rambut panjang yang terurai). Tidak hanya itu, pada beberapa tahun terakhir ini, hantu yang digambarkan dalam film-film tersebut juga menggambarkan sosok yang berhubungan dengan suatu tempat, seperti Suster Ngesot (hantu penunggu rumah sakit),  Hantu Jeruk Purut atau hantu-hantu dalam kereta api di Stasiun Manggarai. Jika diamati, dari sekian banyakn konstruksi hantu yang disuguhkan terdapat suatu kecenderungan umum mengenai konstruksi hantu yang ditampilkan yaitu sosok hantu tidak pernah terlepas dari sosok perempuan.

Perubahan alur, karakter dan ikonografi ini mencerminkan perubahan situasi produksi film di Indonesia sekaligus perubahan sosial-politik-ekonomi yang telah melanda masyarakat Indonesia selama sepuluh tahun terakhir. Namun demikian, film-film horor Indonesia memiliki konsistensi yang membuatnya terus bertahan sebagai institusi sinema yang penting. Konsistensi tersebut menyangkut kehadiran hantu/makhluk supernatural (yang kebanyakan perempuan) dengan motivasi balas dendam.

Film-film horor, berbeda dengan jenis film lain yang diproduksi di Indonesia, menghadirkan pencitraan dari masa lalu yang menggambarkan kesakitan, kekejaman, kekejian dan dendam ke masa kini. Di dalam film horor, pencitraan tentang pengorbanan, pemerkosaan dan pembunuhan hadir sebagai wajah paling buruk dari masa lalu.

Hal yang paling khas dari film horor Indonesia adalah ekspos atau penggambaran trauma peristiwa masa lalu yang terjadi dalam konteks Indonesia. Meski mengambil konvensi dan pola naratif dari berbagai sentra produksi film horor dunia (Hollywood, Jepang, Thailand), film-film horor Indonesia menjadi khas Indonesia karena kehadiran ikonografi hantu dan referensi pada peristiwa-peristiwa trauma yang terjadi dalam masyarakat Indonesia.

Dalam film-film yang dibuat sebelum reformasi, karakter-karakter dan masyarakat Indonesia yang ditampilkan dalam film-film horor adalah karakter masyarakat yang hidup dengan legenda dan kepercayaan-kepercayaan tradisional. Dalam film-film kontemporer, karakter dan masyarakat yang ditampilkan adalah karakter masyarakat modern yang terjebak dalam situs dan arsitektur yang dibuatnya sendiri yang kemudian menjadi sumber ancaman. Rumah, apartemen, jembatan, dan jalan raya menjadi situs lahirnya horor dan teror akibat masa lalu yang tidak diselesaikan.

Dengan munculnya film-film horor, maka bangkitlah sensualisme dan erotisme dalam media masa, yang berfungsi tak hanya menjadi “penyedap”, malainkan sebagai menu utama. Secara naratif film-film horror indonesia jelas menjadi situs kontestasi ideologi antara yang dominan dengan marjinal, modern dan tradisional, patriarkal maupun subversif, yang saling berjuang mendapatkan tempat. Meski menjadi tempat perayaan massa (populer), film-film horor dengan naratifnya yang menjadikan perempuan sebagai korban sekaligus monster yang menakutkan, menjadi alat konstruksi ideologi patriarkal yang bersifat konservatif.

Film Horor dan Perempuan Indonesia 

Kecenderungan umum yang terjadi dalam penyuguhan hantu dalam film-film horor Indonesia memang tidak terlepas dari kisah ataupun sosok hantu perempuan. Sosok para hantu perempuan yang sering menjadi ikon dalam film-film horor Indonesia ini, menggambarkan relitas media di Indonesia yang menunjukkan adanya bias gender dalam representasi perempuan dalam media. Kenyataannya, perempuan memiliki potensi pemasaran yang luar biasa, tidak hanya dari segi fisik, tetapi juga dalam segi kesenangan yang merupakan ukuran terhadap tingkat kepuasan khalayak dalam menikmati seni. Topik-topik dengan segi kesenangan merupakan hal yang memiliki kecenderungan diminati masyarakat, bagi para pengusaha atau pemilik modal hal ini dapat menghasilkan keuntungan.

Media mempunyai suatu politik representasi yang memberikan penegasan dalam memproduksi realitas, realitas yang ditampilkan media adalah realitas yang sudah diseleksi, realitas tangan kedua (second hand reality), media akan memproduksi sesuatu tema dan akan mengesampingkan tema yang lain. Semua ini terjadi dalam tatanan bersifat hierarkis serta berlangsung simultan melalui mekanisme dan pertimbangan-pertimbangan.[2] Seperti, representasi mengenai konstruksi hantu dalam film-film horor di Indonesia yang memiliki kecenderungan menggunakan sosok hantu perempuan. Hal ini memberikan gambaran bahwa penempatan perempuan dalam media (dalam hal ini adalah film-film horror) selalu berada dalam posisi yang lemah dan tidak berdaya.

Pemunculan sosok hantu perempuan sering dikaitkan dengan sosok wanita atau perempuan yang teraniaya dan terpojok , yang terlalu labil dan mudah untuk ditindas oleh lawan jenisnya, yang pada akhirnya digambarkan dengan kematian dan pembalasan dendam terhadap manusia yang masih hidup di dunia. Selain itu terdapat penggambaran di mana sosok hantu perempuan merupakan sosok hantu yang lebih jahat (ex: Film Hantu Stasiun Manggarai), mereka akan menjadi berkuasa dan dapat membela diri mereka atau membalaskan dendamnya ketika mereka telah meinggalkan dunia dan berubah menjadi arwah penasaran.

Representasi film-film horor Indonesia tentang perempuan yang digambarkan dalam sosok hantu perempuan tersebut juga dapat memengaruhi masyarakat. Dalam hal ini, film horor yang ditampilkan pada akhirnya akan memberikan efek melalui pesan atau penggambaran yang disajikan di dalamnya. Melalui realitas dalam bentuk tangan kedua tersebut, film-film horor juga memberikan konstribusinya dalam pembentukan atau konstruksi citra dalam diri masyarakat, yang pada akhirnya melalui citra yang dibentuk secara selektif oleh media tersebut terbentuklah stereotipe mengenai posisi dan gambaran perempuan (yang lemah, mudah dianiaya dan tidak dapat berbuat banyak untuk membela dirinya) melalui film-film horor.

Perempuan dengan stereotip seksi, mengundang hawa nafsu kaum adam, dan sama sekali tidak menggambarkan relasi kesetaraan gender. Film-film semacam ini sebetulnya bukan hal baru. Sebab, era 1980-an pun pernah terjadi pula. Film-film yang lebih mengutamakan fisik perempuan. Tidak hanya film drama dewasa, film horor dan komedi pun selalu dibumbui penampilan perempuan seksi, adegan seks, atau tokoh banci.

Entah disadari atau tidak, pastinya sebagian besar film produksi Indonesia masih menggambarkan ketimpangan secara gender. Yakni, domestifikasi perempuan dan politik relasi gender, segregasi perempuan dalam realitas simbolik film, dan perempuan sebagai objek seks. Ketiga aspek ini muncul dalam film-film produksi sineas Indonesia. Padahal film merupakan alat untuk memahami dan melihat realitas sosial masyarakat yang ada pada saat itu. Bila memang arti film secara harfiah seperti itu, cerminan perempuan di era modern sekarang masih terjebak pada urusan domestifikasi, simbolik, dan objek seks setidaknya benar adanya. Pasalnya, saat ini kasus kekerasan dalam rumah tangga terus bertambah. Kekerasan domestik ini juga berlaku di ranah bisnis film. Kerabat kerja sinema bisa berperan sebagai penguasa, pemodal, dan pemaksa kepada pemain film perempuan agar berperan sesuai dengan keinginannya. Ini semua berhubungan dengan cara pandang negara dalam memahami dan melegitimasi posisi perempuan.

Representasi dan Marjinalisasi 

Film menampilkan wacana yang dapat dijadikan pintu untuk memahami kondisi suatu masyarakat. Film dipandang sebagai proses ideologi, sehingga konstruksi sosial yang membentuk masyarakat dapat dilihat melalui film. Dalam konteks gender konstruksi sosial muncul dalam penampilan perempuan dan laki-laki dalam peran-peran sosial, masalah seksual dan reproduksi, pekerja perempuan, gambaran tentang feminitas dan stereotip perempuan.

Problem pokok dalam tiap wacana yang menampilkan sosok perempuan adalah masalah representasi. Representasi merujuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam isi sebuah teks.[3] Representasi perempuan dalam teks yang diproduksi oleh budaya dengan dominasi patriarki biasanya cenderung bias. Perempuan condong ditampilkan sebagai pihak yang marjinal dibandingkan laki-laki. Hal tersebut mencerminkan sikap misoginis. Misoginis adalah sikap yang membenci, menaklukan dan merepresi keberadaan, budaya dan spiritualitas perempuan yang hidup dalam budaya patriarki. Dalam pandangan misoginis perempuan adalah mahluk lemah dan harus dikontrol segala sikap dan tindak tanduknya karena ia merupakan mahluk “yang lain”. Misoginis menjadi mapan karena adanya sosialisasi dan legitimasi dari berbagai institusi yang ada seperti institusi kenegaraan, pranata sosia dan institusi media massa.[4] Penggambaran perempuan sebagai sosok yang negatif di media massa adalah salah satu bentuk dari misoginis.

Dalam film-film horor Indonesia, representasi perempuan cenderung berbeda dalam tiap dekade. Meski memiliki variasi, ada kecenderungan perempuan ditampilkan sebagai sosok yang marjinal jika dibandingkan laki-laki. Marjinalisasi perempuan dalam film horor juga terjadi tatkala sosok perempuan (sebagai manusia yang utuh) direduksi sebagai sekadar tubuh yang digunakan untuk alat pemuas kebutuhan seksual. Relasi fisikal tubuh antara laki-laki dan perempuan dalam film horor tidak hanya bisa dilihat sebagai sebuah relasi biologis semata. Adegan-adegan seksual yang umumnya menempatkan perempuan sebagai pihak yang tak berdaya itu juga menjadi sebuah petanda adanya relasi ideologis. Dalam relasi ideologis tersebut, perempuan hampir selalu berada sebagai pihak yang marjinal.

Media massa dapat menjadi reflektor dari ketidakadilan gender yang dalam masyarakat karena menampilkan kehidupan manusia faktual maupun fiksional. Penampilan wacana ketidak-adilan ini seolah diterima sebagai kewajaran, karena pekerja media menghadirkan informasi tanpa disertai upaya yang menempatkan suatu wacana dalam suatu perspektif struktural. Komodifikasi perempuan dapat berlangsung di ruang publik, dari sini diangkat sebagai informasi media. Memperlakukan tubuh perempuan sebagai komoditas ini terjadi secara langsung dalam bisnis seks dan hiburan, atau secara tidak langsung dengan menjadikan perempuan sebagai teks dalam proses pasar media.

Dalih dalam komodifikasi media biasanya karena perempuan yang bersangkutan sendiri menyukai atau mendapat kemanfaatan atas posisinya di pasar. Dalih ini bersifat mikro, karenanya sama sekali tidak menjawab permasalahan struktural yang bersifat makro. Komodifikasi perempuan berlangsung dengan menjadikan faktor tubuh perempuan sebagai komoditi. Ini dapat berlangsung dalam interaksi sosial maupun secara mediasi.
Daftar Pustaka
Ibrahim, Idi dan Suranto. 1998. Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2006. Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra.
Primariantari, dkk. 1998. Perempuan dan Politik Tubuh Fantastis. Yogyakarta: Kanisius.
Siagian, Gayus. 2006. Menilai Film. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Soemandoyo, Priyo. 1999. Wacana gender & Layar Televisi: Studi Perempuan dalam Pemberitaan Televisi Swasta. Yogyakarta: Lembaga Penelitian Pendidikan Penerbitan Yogya dan The Ford Foundation.
Strinati, Dominic. 2007. Popular Culture. Yogyakarta: Jejak
Wardhana, Veven SP. 2000.  “Perempuan dalam Sinetron Indonesia: Petaka atau Perkasa”, dalam Siregar, Ashadi; Pasaribu, Rondang; Prihastuti, Ismay, ed., Eksplorasi Gender di Ranah Jurnalisme dan Hiburan.  Yogyakarta: Lembaga Penelitian Pendidikan Penerbitan Yogya dan The Ford Foundation.







 
Design by Pocket