Surat Terbuka

Juni 13, 2015

Jangan pernah lupakan 'kita' sebagai cerita sebelumnya, jika nanti ada cerita sesudahnya. Karena di antara itu 'kita' pernah punya sebuah kalimat.


Darimana pun penghargaan yang kita dapat, itu pemberian Tuhan, hanya saja Dia memilih orang-orang tertentu sebagai perantara.

Dua tahun ini merupakan sebuah berkah yang luar biasa. Salah satu penghargaan yang melekat dan menjadi bagian dari kehidupan saya.

Jika diibaratkan sebuah buku, tentu saja saya akan melipat bagiannya, karena menjadi sebuah tanda ada kalimat penting di halaman itu.

Kalimat penting....

Mungkin hanya terdiri dari beberapa kata yang dibangun dari rangkaian huruf. Tapi, di dalam cerita, sebuah kalimat dapat menghidupkan kalimat-kalimat lainnya.

Sebuah kalimat di dalam cerita tidak dapat berdiri sendiri. Dan, saya telah berhasil menyusun kata-kata menjadi sebuah kalimat yang sesuai dengan cerita saya, tidak berdiri sendiri, walau tidak semua orang akan mengerti.

Kalimat saling terkait jika diletakan pada susunan yang tepat. Namun, tak jarang ada kejanggalan di dalam kalimat, itu terjadi ketika ada kata yang kurang atau salah susunan.

Mungkin, tak semua orang mampu menyusun kalimat dengan benar, pun dengan saya. Tapi jika kita mau membaca kalimat sebelum dan sesudahnya, kita akan tau susunan kata yang tepat untuk membangun sebuah kalimat.

Bahkan, saya membutuhkan waktu dua tahun untuk menyusun sebuah kalimat. Apakah berhasil? Entahlah, tapi kalimat itu milik saya karena bagian dari cerita saya.

"Kalianlah kalimat itu...."

Menjadi judul bab baru dalam cerita saya, juga menjadi kalimat terakhir di bab tersebut. Kalian dibangun dengan kata-kata ajaib yang mampu menyihir orang lain sehingga mereka ingin melipat halaman yang di dalamnya terdapat kalian (kalimat itu).

Dan sekarang saya akan meninggalkan bab dengan lipatan itu, menuju bab berikutnya. Lipatan mungkin akan meninggalkan bekas, tapi tak akan mengubah susunan dan makna sebuah kalimat. Karena sebuah lipatan adalah bentuk penghargaan yang belum tentu ada di setiap bab.

Salam Manipulatif. Tabik!

Menang-Kalah Bermanfaat

Juni 11, 2015

Jika dalam hal ini saya menjadi arang, saya bersyukur masih menjadi sesuatu yang berguna. Arang, terbuat dari batok kelapa. Arang biasa digunakan untuk membakar sate, jagung, singkong dan sebagainya (yang pasti bukan membakar diri dan terjun dari ketinggian 40 m). Jika dibakar menggunakan arang, rasa dan aroma makanan akan terasa khas. Selain menjadi bahan bakar, arang juga memiliki fungsi lain.

Saat masih kecil saya sering bermain demprok (mungkin tiap daerah memiliki nama berbeda untuk permainan ini), untuk menggambar kotak-kotaknya saya lebih suka menggunakan arang daripada kapur (lagi-lagi karena masalah harga), dengan harga Rp. 500,- saya bisa mendapatkan sekantong arang yang bisa digunakan untuk menggambar kotak seumur hidup (ya gak gitu juga sih). Selain itu, arang berfungsi sebagai pengatur kelembaban udara di dalam ruangan. Arang juga memiliki manfaat menyerap bau ruangan yang tidak sedap dan zat-zat yang merugikan.

Kehormatan

Mei 27, 2015



 
Apa yang tidak terlihat mata, tak akan pernah ditangisi oleh hati....


Si anjing liar dengan keberanian dan kekuatannya, si rusa betina dengan kelembutan, intuisi, dan keanggunannya. Pemburu dan buruan bertemu dan saling jatuh cinta. Sesuai hukum-hukum alam, yang satu seharusnya menghancurkan yang lain, tapi dalam cinta tidak ada baik atau buruk, tidak ada pembuatan atau penghancuran, yang ada haanyalah gerakan. Dan cinta mengubah hukum-hukum alam.

Di padang-padang tempatku dilahirkan, anjing liar dilihat sebagai makhluk feminin. Sensitif, pandai berburu karena telah mengasah nalurinya, tapi juga hati-hati. Dia tidak menggunakan kekuatan semata-mata, tapi juga strategi. Berani, hati-hati, cepat. Dia bisa berubah dalam sedetik dari keadaan santai ke keadaan siap menerkam mangsa.

Sedangkan rusa betina memiliki atribut lelaki dalam hal kecepatan dan pengenalan bumi. Mereka berdua berjalan bersama di dunia simbolis mereka, dua makhluk berbeda yang telah saling menemukan, dan kerena mereka telah mengatasi sifat-sifat alami mereka dan penghalang-penghalang mereka, mereka membuatnya menjadi mungkin. Dari dua naluri yang berbeda lahirlah cinta. Dalam kontradiksi, cinta semakin kuat. Dalam konfrontasi dan transformasi, cinta bisa bertahan.

***

“Haruskah selalu kuceritakan mitos Mongolia itu, biar kau tak meremehkan aku, biar kalian tau bagaimana cinta tanpa harus ‘memperbudak’ atas nama agama?!”

Menunggangi Si Kuning

Mei 09, 2015


Sepeda yang tumbuh bersama saya, Polygon Bike to Work. Masih ingat ketika ayah membelikan sepeda ini saat pertama kali beredar, rasanya senang karena memiliki sepeda paling keren di antara sepeda teman-teman saya. Sampai sekarang sepeda ini masih saya gunakan, biar tidak ketinggalan jaman, spek-nya saya upgrade.



Dari 4 sepeda yang saya miliki, hanya sepeda ini yang tak lekang di hati... Selamat berhari Sabtu-Minggu!

Pendekatan Penelitian Sosial

April 24, 2015


Metodologi penelitian adalah bagian yang membuat ilmu sosial menjadi ilmiah. Lalu munculah sebuah pertanyaan “apakah yang peneliti lakukan ketika meneliti?, bagaimana mereka melakukan penelitian?”, pertanyaan tersebut bukanlah pertanyaan yang dapat dijawab secara sederhana. Perdebatan mengenai ilmu sosial disebabkan oleh definisi yang kaku mengenai ilmu. Pertanyaan lainpun  muncul, “apakah yang membuat sebuah penelitian ilmiah itu menjadi ilmiah?”.

Ada tiga pendekatan dalam penelitian sosial berdasarkan asumsi filosofis berbeda tentang tujuan ilmu pengetahuan dan sifat realita sosial. Ketiga pendekatan tersebut memiliki jawaban yang berbeda-beda atas pertanyaan dasar tentang penelitian. Namun, kebanyakan peneliti hanya menggunakan satu pendekatan saja, lalu mereka mengombinasikan elemen-elemen dari tiap pendekatan.

Para tokoh sosiologi klasikal berpendapat bahwa observasi di dunia sosial yang tepat dan sistematik, digabungkan dengan pemikiran yang teliti dan cermat dapat menghadirkan jenis pengetahuan yang baru dan bernilai mengenai hubungan manusia. Namun, beberapa orang lebih tertarik dan memilih ilmu alam dan mengikuti metodenya. Alasannya sederhana, kemegahan ilmu alam terletak pada metode ilmiahnya, maka ilmu sosial pun sebaiknya mengadaptasi pendekatan yang sama. Sebagian peneliti menerima alasan tersebut, tapi hal ini masih memiliki banyak hambatan. Pertama, pengertian ilmu masih dalam perdebatan, bahkan dalam konteks ilmu alam. Kedua, banyak ahli mengatakan bahwa manusia sangatlah berbeda dari objek yang diteliti dalam ilmu alam. Itu berarti, bahwa dibutuhkan ilmu khusus untuk mempelajari kehidupan sosial masyarakat.

Pendekatan-pendekatan ini serupa dengan program penelitian, tradisi penelitian dan paradigma ilmiah. Pada umumnya, sebuah paradigama ilmiah merupakan keseluruhan sistem berpikir yang menyangkut asumsi dasar, pertanyaan yang penting dijawab, teknik penelitian yang digunakan, dan contoh bentuk penelitian ilmiah. Tiga pendekatan penelitian sosial tersebut, yaitu:

(Kayaknya) Aksi Teatrikal

April 11, 2015

Melanjutkan pos sebelumnya yang bertajuk Singkong, Gandum dan Peluncuran Jurnal, di sini saya hanya ingin berbagi hasil dokumentasi kegiatan launching jurnal terbaru dari Yayasan Bina Desa. Dalam kegiatan itu Wadon Sindikat melakukan pentas, ya semacam aksi teatrikal mungkin (yang jadi narator aja gak yakin), yang pasti dalam pertunjukan tersebut kami mengkritisi..., sepertinya tidak perlu saya jelaskan lagi karena sudah dijabarkan di Singkong, Gandum dan Peluncuran Jurnal.





Inilah beberapa perempuan yang "nyemplung" ke dalam Wadon Sindikat. Dari mana saja asal mereka? Ada yang masih mahasiswa, dosen, aktivis dan komnas perempuan, yang pasti mereka berasal dari rahim yang sama, rahim perempuan.


Singkong, Gandum dan Peluncuran Jurnal*

Maret 24, 2015

Makan singkong pagi ini membuatku ingat ketika aku mengantarkan istriku ke acara yang dia ikut tampil di dalamnya. Ia membacakan narasi. Aku tak tahu acara utamanya apa di tempat itu, sepertinya diskusi atau seminar yang menemani launching jurnal terbaru dari Yayasan Bina Desa. Banyak aktivis LSM yang kutemui di sana juga aktivis gerakan bahkan ada juga Happy Salma. Hahaha..., tampaknya menarik sekali acara ini.

Di sana aku membaca sebuah artikel gratis yang tergeletak di meja, judulnya “Kenapa Tidak Gandum?” tampaknya menarik sebab di salah satu adegan yang dipentaskan oleh kelompok yang istriku main di dalamnya menceritakan tentang pertarungan gandum dan ganyong. Awalnya aku tidak mengerti bagaimana mungkin ada makanan yang yang dipertarungkan dan itu menyebabkan budaya dan perekonomian suatu negeri dapat terkena dampaknya. Halah... terlalu jauh itu orang mengait-ngaitkan, begitu pikirku.

Statement of Purpose

Maret 20, 2015



Bertulang Besi Berkulit Kayu:
Eksistensi Becak di Pasar Cakung Jakarta Timur


Trisna Ari Ayumika


Garis Besar Tulisan

Tulisan ini menguak eksistensi becak pasca diberlakukannya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum, yang melarang beroperasinya becak di Ibu Kota, sehingga mengantarkan becak ke daerah pinggiran seperti Pasar Cakung Jakarta Timur, dan menjadikan becak sebagai transportasi yang termarjinalkan. Tujuan tulisan ini dituangkan dalam beberapa hal. Pertama, menjelaskan bahwa becak merupakan salah satu transportasi publik di Jakarta. Kedua, menceritakan eksistensi becak di Jakarta, khususnya di Pasar Cakung Jakarta Timur. Ketiga, menguak hal yang melatarbelakangi pelarangan pengoperasian becak di Jakarta.

Untuk menggali dan memperdalam tujuan penulisan tersebut, tulisan ini akan dilengkapi dengan beberapa data pendukung, di antaranya: (1) Konteks historis keberadaan becak baik secara umum di Indonesia maupun secara khusus di Jakarta. (2) Data-data yang merupakan sumber primer didapatkan melalui wawancara dan kajian pustaka. Metode ini diharapkan dapat menggali kedalaman dan kekayaan informasi, sehingga informasi tersebut dapat mempertajam analisa tulisan ini.

Membangun Pembiasaan

Maret 11, 2015

Saya yakin, tidak ada sesuatu yang dikatakan sebagai budaya tanpa ada pembiasaan sebelumnya. Maka dari itu, tulisan ini tidak menekankan pada ‘budaya’ apa yang harus dimiliki oleh suatu golongan supaya dapat terwujud nilai yang dicita-citakan, saya lebih tertarik melihat bagaimana budaya dapat terbentuk dengan ‘revolusi’. Salah satu cara yang saya soroti adalah pembiasaan. Sebagian besar masyarakat kita sepakat bahwa agama merupakan bagian dari budaya. Namun, (mungkin) tidak banyak orang yang setuju jika saya katakan eksistensi agama tetap hidup karena pembiasaan. Berawal dari kebutuhan untuk mempercayai bahwa ada yang menciptakan manusia dan alam semesta, kebutuhan untuk mengendalikan pihak lain dan kebutuhan untuk membuat kehidupan berjalan dengan stabil, akhirnya dibuatlah aturan-aturan. Dibuat, diterima, diterapkan secara kontinyu (pembiasaan), dibakukan, kemudian dibungkus dengan nama agama. 

Pun dengan sopan santun yang diklaim sebagai budaya bangsa, masih hidup karena pembiasaan. Seperti mencium tangan orang yang lebih tua, atau mengucapkan salam saat bertemu orang lain. Sama halnya dengan agama, aturan mengenai apa yang dianggap sopan dan tidak sopan lahir karena adanya kebutuhan, kebutuhan untuk dihargai dan menghargai. Jika tidak mengikuti apa yang telah disepakati masyarakat tentu ada sanksi yang didapat, karena itu yang membuat 'agama' dan 'sopan santun' masih kita lihat sampai sekarang.

Dalam pembentukan sebuah budaya (disadari atau tidak) sanksi adalah "bahan pengawet" yang wajib ada. Tanpa adanya sanksi, pembiasaan tidak akan berjalan, karena pada dasarnya tingkat kesadaran seseorang bersifat individual, tidak bisa langsung kolektif. Yang membuat kesadaran mencapai titik kolektif adalah ketika “keseluruhan” kepercayaan dan sentimen bersama tumbuh. 

Maka dari itu, perlu adanya aturan (untuk mengontrol masyarakat agar tetap berada pada posisinya) dan sanksi (untuk mengembalikan mereka yang berusaha keluar dari jalur). Sistem seperti itu perlahan akan membangun sentimen bersama. Ketika ada seseorang yang keluar jalur, masyarakat sepakat menganggapnya bersalah. Bukan semata tindakan menghakimi, tapi upaya menyelamatkan sebuah sistem yang sudah mereka bangun bersama. 

Saya punya contoh kasus berkaitan dengan bagaimana suatu (yang dianggap) budaya terbentuk karena pembiasaan. Saya pernah membaca sebuah tulisan mengenai korupsi di Hongkong pada masa lalu. Bahkan ada pernyataan bahwa semua orang Hongkong korup, tapi lembaga kepolisian yang paling korup. Kepolisian Hong Kong pernah menjual stiker seharga $3 yang dapat membebaskan pengemudi dari pelanggaran lalu lintas. Stiker tersebut hanya berlaku sebulan dan dapat diperbaharui. Jelas, ini menjadi pemasukan paling besar bagi kepolisian saat itu. 

Korupsi yang lahir dan berkembang di Hongkong karena adanya peluang dan pembiasaan, bahkan dilakukan pula oleh lembaga penegak hukum. Di sini saya melihat masyarakat hanya sebagai korban (yang ikut serta secara aktif) dalam ketidakberesan sistem. Ketika sebuah lembaga penegak hukum dan masyarakat sudah dininabobokan oleh “kenyamanan” tersebut, rasanya bukan hal yang mudah untuk membalikan ‘pembiasaan korupsi’ menjadi ‘pembiasaan anti korupsi’. Tapi, itu bukanlah hal yang tidak mungkin.

1974, Independent Commission Against Corruption (ICAC) lahir, lembaga ini tidak jarang menggunakan cara koersif untuk membabat habis mereka yang dianggap korup. Tidak butuh waktu lama untuk membuat ratusan pejabat (yang terbukti korup) mundur dari jabatannya. Singkat cerita, Hongkong berhasil melakukannya. Di sini saya melihat revolusi bukan isapan jempol belaka. Bagaimana dengan budaya? Budaya akan terbentuk dengan sendirinya jika sudah ada pembiasaan melalui aturan dan sanksi yang ajeg.

Si Cerdas

Februari 28, 2015



“Manusia tidak dilahirkan dan tidak pula mati. Setelah mewujudkan eksistensinya, dia tidak akan sirna begitu saja, sebab dia abadi dan tidak lekang.”
~ Paulo Coelho


Hari ini aku memutuskan untuk keluar dari cangkang, mencoba lepas dari kenyamanan. Aku menyusuri jalan dengan bertelanjang. Seluruh mata memandang, mengamati Id yang selama ini kusembunyikan, bahwa aku adalah sesosok yang liar. 

Aku adalah si Berani, aku adalah si Pengecut. Aku terlalu mengandalkan kecerdasan, sampai aku sadar bahwa itu membuatku meremehkan kekuatan lawan. Aku terlalu berstrategi, sampai itu berubah menjadi tragedi yang memuakan. Namun, karena aku cerdas, aku menyadari bahwa strategi tak akan mampu mengalahkan kekuatan.

Pada saat sulit dan melelahkan, aku memilih menghadapi berbagai tantangan dengan kepasrahan dan keberanian. Aku tak mundur dalam medan perang. Aku lebih suka menghadapi kekalahan dengan luka dan darah yang bercucuran, kemudian mengobatinya di depan si Lawan. Aku tak pernah melarikan diri tanpa menghasilkan pelajaran, karena aku tak mau memberikan kekuatan pada si Lawan lebih besar dari yang pantas ia dapatkan.

Namun, aku harus ingat bahwa aku adalah si Cerdas, perpaduan kental antara si Berani dan si Pengecut. Kadangkala dalam perang, aku mundur dengan teratur menghadapi si Kuat, menunggu ia lelah, dan saat itu aku membuat pertahanan.

Sampai akhirnya, tak hanya ia yang berpikir bahwa ‘ketika seseorang melihat kelemahan orang lain, saat itulah ia sedang melihat kelemahan dirinya sendiri’ dan ‘ketika ia memamerkan kekuatannya, ia sedang menutupi betapa rapuh dirinya’.

Kemudian, aku berjalan tanpa cangkang, namun semua yang di sekitar memaksaku untuk tidak bertelanjang, kalau tidak ingin terjadi perang. Aku kembali masuk ke cangkang, dan berubah menjadi kunang-kunang, tak memberi terang tapi sangat dikenang, karena aku pernah mencoba bertelanjang.

Mulai sekarang namaku si Jalang. Tak apa, masih lebih baik..., daripada disebut 'si Belang'....

Bebas (Jangan) Dilepas

Februari 20, 2015



Kebebasan berpendapat, menghargai setiap pendapat. Tapi kebanyakan dari kita hanya fokus pada kata ‘kebebasan’. Kita melupakan beberapa hal yang menyertai makna kebebasan berpendapat, seperti kepentingan, kesetaraan dan sikap saling menghargai.

Seperti yang terjadi pada kasus Charlie Hebdo. Ia dan negara yang ia tinggali sangat menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Maka dari itu, baginya tidak jadi soal ketika ia mengungkapkan pemikiran melalui karyanya tentang Islam, Kristen dan sebagainya. Namun, bagaimana kebebasan tersebut dapat membakar amarah banyak golongan?

Berkaca dari kasus tersebut, mari kita selami makna kebebasan yang selama ini membelenggu kita dalam kebingungan.

Ketika kebebasan sudah menjadi komoditas pribadi atau golongan, otomatis kepentingan publik sudah dikesampingkan. Saat ini kebebasan lebih sering berada di sisi kepentingan pribadi atau golongan. Contohnya, melalui jasa media massa seseorang bisa meningkatkan citra dirinya, pun bisa menjatuhkan citra lawannya. Media massa memiliki sebuah ‘ruang’ di mana sering terjadi penyalahgunaan kebebasan dalam berpendapat dan menyampaikan informasi.

Balada Isteri-Suami

Februari 17, 2015

Dalam sebuah siang yang gersang, berbalut debu yang pekat, saya duduk bersama seorang pria yang telah menjadi seorang ayah. Entah apa yang kami tunggu, di tempat yang sama selama bermenit-menit. Untungnya kami tak menjadi bagian dari debu. Hahaha.

Untuk mengusir rasa bosan, saya melukis di tanah berpasir yang kami pijak. Lukisan yang saya ukir dengan ranting pohon tapi tak memiliki arti, hanya gunung dan pantai. Saya rasa, anak-anak pun mampu melukisnya.

"Kangen anak," ucapnya.
"Seberapa kangen?"
"Banget, susah dijelasin."
"Hm, sama isteri lebih kangen mana?"
"Anak lah," jawabnya singkat.
"Setelah menikah, rasa kangen sama isteri beda atau sama?"
"Beda,"
"Sekarang gimana?"
"Biasa aja. Kalo kangen anak bisa banget banget," jawabnya sambil tersenyum.

GOWES YUK!

Februari 13, 2015





Gowes dari Cakung sampai Senayan. Pulangnya nonton teater di Museum Nasional. Mantab, Gan!

Belajar Keseimbangan


Membaca judulnya jangan berpikir bahwa saya akan bercerita pengalaman saya berdiri dengan satu kaki, sambil membungkuk dan melebarkan lengan (masa TK). Atau, berdiri dengan satu kaki sambil menjewer kedua telinga saya (masa SD). Tapi, boleh juga sih saya cerita sedikit tentang pengalaman itu sebelum saya menceritakan apa yang sebenarnya ingin saya umbar dalam tulisan ini.


Kalau ingat masa-masa di TK pasti bahagia (senyum-senyum sendiri). Coba dipikir, kalau bukan di TK, di mana lagi kita bisa jadi pesawat, kancil, srigala, polisi, pilot, pramugari, arsitek dan sebagainya? Coba dipikir, kapan lagi kita bisa 'sok-sok' punya profesi yang keren dan setiap saat bebas ganti-ganti tanpa ada yang komentar nyi-nyir? Ya, cuma di TK. Sayangnya, saat ini kebanyakan TK kurang mengajarkan anak berimajinasi dan bermain, justru anak sekecil itu (nyanyi - Iwan Fals) dipaksa untuk bisa baca-tulis. Yah, mau gimana lagi ya, tuntutan untuk masuk SD semakin tinggi. Alhasil, anak-anak dijejali "asupan" yang tidak sesuai dengan usianya. Ups, kok saya jadi sok mengkritisi ya... Hahaha. Mungkin, jari saya bisa mati rasa kalau harus menceritakan semua pengalaman unik di TK. Baiklah, mari kita akhiri cerita TK dengan mengucapkan, "Alhamdulillah..., masih sempat merasakan masa anak-anak di TK".

Pantul

Februari 04, 2015

Aku mulai ragu. Mimpiku seperti nyata. Kenyataan seperti mimpi bagiku. Semakin hari, makin sulit membedakan keduanya. Kaca yang berada di antaranya hanya memisahkan tanpa bisa membuatnya menjadi berbeda. Dunia nyata, memperlihatkan lukisan mimpi. Dunia mimpi, mempertontonkan goresan-goresan nyata. Di sisi mana aku harus berpijak? Keduanya, hanya imajiku atau ciptaan orang-orang di sekeliling?
Bahkan, muncul pertanyaan dalam kebingungan yang sulit untuk kujelaskan.

Dokumentasi Pribadi

 
Design by Pocket