PPL: Berani Beda

Agustus 25, 2010


Sudah beberapa minggu saya PPL di sebuah sekolah swasta yang cukup ternama di Jakarta. Banyak teman yang mengatakan jika PPL di sekolah ini sangat menyeramkan dan sulit, tapi saya tidak menghiraukan apa omongan orang. Bukannya saya belagu, tapi saya berpikir ini tantangan, tantangan yang tidak mudah. Kalau saya bisa melewati ini berarti saya bisa menghadapi tantangan yang mudah. Lagi pula, sudah sekitar setahun saya mengajar di sekolah ini, walaupun hanya menjadi pelatih ekstrakurikuler jurnalistik. Setiap saya datang saya pasti mengamati anak-anak yang bersekolah di sini. Dan, sejauh penglihatan saya, siswa-siswa di sekolah ini masih dapat dikategorikan baik ketimbang sekolah-sekolah yang pernah saya kunjungi.
Hari demi hari saya lalui. Mengajar dan piket -di sebuah sekolah yang tentunya memiliki aturan- menjadi rutinitas mendadak. Membosankan? Pasti. Tapi ketika saya sedang dilanda kebosanan selalu ada angin segar yang lumayan bisa mengukir senyum di wajah saya. Tuhan menitipkan angin segar itu kepada murid-murid –sebenarnya tak pantas saya menyebut mereka murid, tapi saya kesulitan mencari kata ganti- untuk ditiupkan pada saya.
Hahh…, anak-anak…
Saya jadi teringat ketika teman saya bercerita tentang pengalaman temannya yang pernah PPL di sekolah ini. Ceritanya itu tentang anak-anak di sekolah ini yang katanya sangat bandel dan menyebalkan. Lagi-lagi saya tidak menghiraukan itu karena semua tergantung pada diri kita sendiri, dan tidak semua anak-anak di sekolah ini seperti itu. Beda waktu, beda anak, beda pula karakteristiknya. Toh, nyatanya sampai hari ini perilaku murid-murid saya masih bisa dikatakan wajar, bahkan menurut saya mereka lucu dan unik.
Sulit atau tidak sebenarnya bukan tergantung pada karakteristik murid, tapi pada karakteristik diri kita. Sebagai seorang guru kita harus memiliki karakteristik. “Mau manjadi guru yang seperti apa saya?” pertanyaan itulah yang saya tanyakan pada diri saya sebelum mulai mangajar. Dan, saya memilih untuk menjadi guru yang tidak mencari wibawa, biarlah wibawa itu datang dan melekat pada diri saya dengan sendirinya.
Bagaimana menjadi guru yang tidak mencari wibawa (menurut saya)?
Ini yang saya lakukan. Saya tak pernah memasang wajah jutek ketika masuk ke dalam kelas. Saya juga tidak membuat aturan-aturan khusus di dalam kelas saat pelajaran berlangsung. Pertama saya masuk, saya tidak langsung mengenalkan diri, yang terpenting bagi saya murid tahu kalau saya sedang PPL dan mengajar Sosiologi. Melihat ekspresi mereka yang beragam, saya tak dapat menerka apa yang mereka pikirkan tentang mahasiswa yang sedang PPL ini. Yang pasti saya mengatakan, di kelas ini tak ada guru dan murid karena kita sama-sama belajar. Kita teman. Selain itu, di dalam kelas saya selalu tersenyum karena saya menginginkan suasana yang santai saat belajar. Saya pun membebaskan mereka untuk berpose apapun saat belajar, yang penting bagi saya mereka bisa menangkap apa yang saya sampaikan. Alhamdulillah…, murid-murid menerima saya dengan baik dan menghargai saya.
Mengapa saya membebaskan mereka dalam menentukan gaya belajar?
Karena, saya pun tak suka gaya belajar yang kaku. Bagi saya, belajar di dalam kelas itu sangat membosankan, maka dari itu sebisa mungkin saya menciptakan suasana belajar di dalam kelas menjadi menyenangkan. Selain itu, saya sering tidak menyukai guru yang senang mencari wibawa, itu membuat saya malas mendengarkan apa yang mereka sampaikan. Alhasil, saya jadi tak suka dengan pelajaran yang diberikan oleh guru-guru yang sok berwibawa itu. Bagi saya, guru yang mencari wibawa adalah guru yang suka menggurui.
Sekian dulu pengalaman yang saya dapat selama PPL. Nanti saya lanjutkan…

Feminisme: Masih Pentingkah?

Agustus 24, 2010

Siapa yang berani mengakui secara terbuka bahwa dirinya adalah seorang penganut feminisme? Pasti tidak banyak yang berani mangakuinya. Pasalnya, feminisme cenderung dipandang negatif, dan para feminis dianggap membenci laki-laki, kebarat-baratan, individualistis, bahkan tak jarang yang menganggap feminis itu anti agama. Apa sih sesungguhnya feminisme? Mengapa para feminis digambarkan sebagai tokoh yang demikian negatif?
Feminisme muncul karena adanya kesadaran akan ketidakadilan terhadap perempuan yang sudah lama terjadi. Sebenarnya, kaum perempuan sudah lama melakukan perjuangan untuk membebaskan diri dari ketidakadilan tersebut, tetapi pada waktu itu belum ada feminisme. Istilah itu mulai disosialisasikan oleh majalah Century pada tahun 1914, meski sejak tahun 1910-an kata feminisme (yang berakar dari bahasa Prancis) sudah kerap dipergunakan. Kata feminisme yang berasal dari bahasa Prancis ini, di negaranya pertama kali digunakan pada tahun 1880-an. Feminisme masih banyak disalahartikan dan dipandang sebagai ancaman, baik oleh laki-laki maupun oleh perempuan itu sendiri. Kondisi ini wajar kerena feminisme membuat “analisis yang tajam” untuk mengetahuai akar masalah ketidakadilan dalam masyarakat di seluruh dunia.
Sampai hari ini, beberapa perempuan masih aktif dalam perjuangan persamaan hak dengan laki-laki atau yang lazim disebut kesetaraan gender. Namun, tidak sedikit yang menganggap bahwa telah tercipta kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, terbukti dengan adanya perempuan karir yang sukses, berprestasi, punya background pendidikan yang dapat dikatakan tinggi, berpartisipasi dalam bidang politik, dan bebas menentukan haknya.
Tapi, mengapa masih ada kaum perempuan yang tetap giat berjuang atas nama semua perempuan yang masih terpasung? Pada saat ini, apakah perjuangan tersebut masih benar-benar relevan, khususnya di Indonesia? Sebab bagaimanapun, perempuan telah memiliki banyak hak demokratisnya, seperti pendidikan, pekerjaan, otoritas, dan sebagainya. Jika kita melihat pada perempuan kelas atas, pasti banyak yang setuju bahwa telah tercipta kesetaraan anatara laki-laki dan perempuan, dan menganggap gerakan feminis tidak diperlukan lagi.
Namun, coba kita lihat perempuan kelas bawah, perempuan dari kalangan buruh tani, buruh pabrik, pembantu, TKW, perempuan di wilayah konflik, dan perempuan di desa-desa terpencil. Mereka ini sangat rentan terhadap bentuk-bentuk ketidakadilan gender. Kemiskinan keluarga kerap menjadikan mereka mudah masuk dalam perangkap eksploitasi dan kekerasan. Mereka memilih hidup di ”jalur gelap” demi membantu ekonomi keluarga. Mereka jelas masih membutuhkan sebuah gerakan penyadaran dan pemberontakan terhadap segala bentuk ketidakadilan gender.
Jika angka kemiskinan di Indonesia terus meningkat, bukan tidak mungkin gerakan perempuan menjadi sesuatu yang wajib ada dan diperlukan. Apabila keberadaan gerakan perempuan tidak dianggap perlu, maka dengan apa kaum perempuan miskin berjuang?
Perlu disadari, tidak semua perempuan yang meneriakan kesetaraan gender adalah seorang penganut feminisme. Tengoklah perempuan kelas bawah, apa mereka tahu tentang feminisme? Tidak semua. Jadi, untuk menjadi seorang feminis, mereka tidak perlu menghafal teori-teori feminisme. Yang mereka butuhkan adalah kesadaran dan semangat untuk mengakhiri ketidakadilan gender. Namun, mereka layak menyandang nama ”feminis sejati”. Karena, pada dasarnya feminisme adalah gerakan kemanusiaan untuk menuju keadilan.
Tentang pertanyaan ”masih pentingkah feminisme di Indonesia?”, silahkan Anda tentukan sendiri.

Wina: Semua untuk Ibu


Sosoknya sama sekali jauh dari kesan mewah, setidaknya dalam pengertian cara ia berpenampilan. Hampir dalam setiap kegiatannya, ia terlihat sangat sederhana dengan kemeja lengan panjang tanpa corak, rok yang menjuntai sampai menutupi mata kaki dan jilbab yang selalu setia membungkus kepalanya sampai menutupi dada. Cara berbicara santun, serius, dan terkadang terselip canda yang tak berlebihan. Namun, di tengah itu semua, ia sering dianggap sebagai sosok yang misterius, karena ia jarang berbaur dengan lingkungan sekitar. Wina, begitu ia dipanggil. Perempuan berdarah Palembang ini bernama lengkap Wina Wananingsih. Perempuan yang lahir pada 10 Desember 1987 ini merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

Tanpa Bapak

Wina mengingat saat pertama kali ia datang ke Jakarta, saat itu ia berusia lima tahun. Ia menempati rumah yang disewa bapak dengan uang pesangon dari tempat kerja di Palembang. Seminggu di Jakarta bapak belum mendapat pekerjaan. Tidak lama setelah itu, seorang tetangga mengajak bapak bergabung dalam orkes musik dangdut sebagai penata panggung. Uang yang didapat digunakan untuk melamar pekerjaan di pabrik. Empat bulan kemudian bapak diterima di sebuah pabrik. Penghasilannya lumayan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pekerjaan sebagai penata panggung ia terima hanya pada saat libur kerja. Dua tahun bekerja sebagai buruh dan panata panggung, bapak mampu membuka penyewan tenda dan panggung sendiri, bahkan memiliki lima orang karyawan.
Seiring berjalannya waktu usaha tersebut makin maju. Akhirnya, bapak memutuskan untuk keluar dari pabrik dan fokus pada usahanya. Pekerjaan sebagai penata panggung membuat bapak sering bertemu dengan banyak biduan. Saat itu, tepatnya saat Wina berusia lima belas tahun, bapaknya pergi dari rumah karena seorang biduan. Semua barang-barang yang berkaitan dengan usaha bapak dibawa pergi. Menurut kabar yang Wina dengar, tidak lama setelah pergi dari rumah, bapaknya menikah dengan biduan itu. Sejak saat itu, Wina sangat membenci bapaknya. Bahkan ia beranggapan bapaknya sudah mati. “Bapak mati, tapi saya masih punya ibu yang akan selalu hidup,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Wina merasa hanya memiliki ibu dan kedua adiknya. Ia sangat menyayangi mereka, terutama ibu, karena berkat ibu ia bisa terus bersekolah. Ibu merupakan sosok perempuan yang tegar. Wina ingat betul, saat bapak pergi ibu tidak meneteskan airmata. Ibu melepas bapak dengan ikhlas. Saat ini, ibunya bekerja sebagai penjual kue dan nasi uduk pada pagi dan sore hari di pasar tradisional. Menurut Wina, ibunya memulai pekerjaan itu sejak bapaknya pergi. Keuntungan hasil berjualan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dan ditabung untuk keperluan sekolah Wina dan adik-adiknya, Waya dan Lina.

Bekerja Demi Ibu

Penghasilan dari menjual kue dan nasi uduk di pasar tradisional ternyata sangat minim. Keuntungan yang didapat hanya cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, tapi tidak cukup untuk membiayai sekolah Wina, Waya dan Lina, yang pada saat itu Wina duduk di kelas satu SMA, Waya di kelas dua SMP, dan Lina kelas tiga SD. Akhirnya, ibu memutuskan mengirim Waya ke Lampung untuk bersekolah di sana yang dibiayai oleh pamannya. Berpisah dari ibu, kakak dan adik membuat Waya sakit-sakitan. Sampai sekarang tidak diketahui apa penyakitnya. Jika Waya sakit, ibu harus mengirimkan uang ke Lampung untuk berobat. Mau tidak mau ibu harus bekerja ekstra supaya mendapatkan uang lebih. Wina merasa kasihan melihat ibunya, maka Wina memutuskan untuk mencari pekerjaan. Pada saat itu, kebetulan sekali Wina ditawarkan pekerjaan oleh seorang guru sebagai penjaga koperasi sekolah dengan gaji Rp. 450.000,- /bulan. Bekerja sebagai penjaga koperasi sekolah tidak semudah yang ia bayangkan, sering ia dicibir oleh guru-guru lain karena kelalaiannya, juga karena kesalahan yang tidak pernah ia perbuat. Namun, guru yang menawarkan pekerjaan tersebut padanya selalu menyemangati. “Demi ibu saya harus bekerja. Saya harus tegar seperti ibu,” katanya dengan semangat.
Tiga tahun menggali ilmu di SMA, Wina lulus dengan nilai yang memuaskan. Setelah lulus bukan berarti Wina dapat meninggalkan sekolahnya, ia masih harus bekerja di koperasi sekolah sampai ia mendapatkan pekerjaan baru. Dengan bekal Ijazah SMA jurusan IPA ditangannya, ia mencari pekerjaan. Sebenarnya, Wina ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, namun keterbatasan biaya membuatnya harus menunda keinginan tersebut. Enam bulan kemudian ia mendapatkan pekerjaan di sebuah pabrik pembuatan alat musik, mulai saat itu ia tidak lagi bekerja di koperasi sekolah. Bekerja di pabrik membuatnya harus siap berhadapan dengan malam. Pasalnya, ia harus pulang malam jika masuk pagi dan berangkat malam jika masuk malam. Selain itu, ia harus mempertaruhkan jilbabnya, karena syarat untuk dapat bekerja di sana tidak boleh memakai jilbab.
Gunjingan tetangga sampai ke telingan Wina. Ia digosipkan menjadi “perempuan nakal” karena membuka jilbab dan sering keluar malam. Namun, Wina tidak menghiraukan hal itu. “Allah mengerti keadaan saya, sedangkan mereka tidak,” ketusnya. Selain sebagai sebuah pengabdian pada ibu, baginya bekerja sebagai buruh pabrik adalah jembatan yang akan mengantarkannya ke bangku kuliah, jadi ia harus kuat.

Kerja atau Kuliah                     

Setelah enam bulan bekerja, Wina mendaftarkan dirinya ke sebuah universitas swasta di Jakarta. Ia memilih mendalami ilmu Keperawatan. Sejak saat itu, hari-harinya diisi dengan kesibukan. Senin sampai Jumat ia bekerja, Sabtu dan Minggu ia kuliah. Ia menikmati masa-masa itu. Namun, lambat laun Wina mulai jenuh dengan rutinitasnya sebagai buruh. Ia merasa tidak mendapat ilmu selama bekerja di pabrik, ia justru merasa dieksploitasi. Selain itu, ia tidak bisa meninggalkan jilbab yang telah bertahta di kepalanya sejak ia berusia enam tahun. Akhirnya, Wina memutuskan mengundurkan diri dari pabrik tempatnya bekerja. Baginya, ini adalah pilihan yang sulit, karena ia juga memikirkan dengan apa ia akan membayar uang kuliahnya Rp. 740.000,- /bulan jika ia tidak bekerja. Namun, itu tidak melunturkan keputusannya.
Wina tetap melanjutkan kuliahnya sampai semester kedua. Selama itu pula uang kuliahnya menunggak. Ia tidak bisa membayar karena tidak lagi bekerja. Habis semester kedua, Wina mendapat tawaran dari teman kuliahnya untuk bekerja di sebuah klinik. Klinik itu menuntutnya untuk bekerja setiap hari. Ia merasa bingung, jika bekerja, ia tidak kuliah. Tapi jika kuliah, ia tidak bekerja, itu artinya tidak ada penghasilan untuk membayar kuliah. Bekerja, itu yang dipilih Wina dengan pertimbangan yang matang. Dengan bekerja ia bisa membantu keuangan ibunya dan bisa mencicil uang kuliah yang tertunggak. Namun, belum lama Wina bekerja, klinik tersebut pindah di wilayah luar Jakarta. terpaksa ia mengundurkan diri karena ia tidak bisa meninggalkan ibu dan adiknya. Wina sangat kecewa dengan kehidupannya. Ia merasa hidup ini tidak adil, ia mulai putus asa. Kuliah tidak bisa, kerja pun tidak terwujud.
Setelah itu Wina mengisi hari-harinya dengan membantu ibunya di pasar dan menjaga adiknya. Ibunya merasa kasihan padanya. Pada suatu hari, ibu mengajak Wina berbicara tentang masa depan, tentang laki-laki dan pernikahan. Usia Wina sudah “kepala dua”, ibunya khawatir, ia takut anaknya menjadi perawan tua. Selain itu, ibunya ingin ada yang menjaga Wina. Ibunya meminta Wina untuk segera menikah dengan laki-laki pilihan ibunya. Wina menolak permintaan ibunya dengan keras. Bukan karena ia tidak suka dengan pilihan ibunya, namun karena ia sangat membenci laki-laki. Wina trauma melihat ibu yang ditinggalkan bapaknya. Wina sangat membenci bapaknya sampai ia juga membenci laki-laki. Ibunya tidak dapat berbuat apa-apa. “Saya buktikan, saya bisa hidup tanpa laki-laki. Suatu saat saya akan bekerja dan kuliah, dengan cara apa pun akan saya usahakan, dan saya bisa menjaga diri sendiri, tanpa harus bergantung pada laki-laki,” janji Wina pada dirinya sendiri.

Kembalinya Semangat

Pembicaraan dengan ibunya membuat semangat Wina terpompa. Semangat yang telah lama terkubur kini bangkit kembali. Ia rajin mencari info lowongan kerja terbaru melalui media, seperti koran dan internet. Selain itu, Wina membuat berpuluh-puluh lamaran untuk dikirim ke berbagai perusahaan. Dari sekian banyak lamaran yang ia kirim, hanya beberapa yang mendapat jawaban. Secara bergilir ia datangi perusahaan-perusahaan yang memanggilnya untuk mengikuti tes. Namun, tidak satu pun perusahaan yang menerimanya. Bukan karena ia tidak lulus tes, melainkan karena ia tidak bersedia untuk melepas jilbabnya. Wina tidak putus asa. Ia percaya Allah akan menolongnya dan memberikan pekerjaan yang layak padanya. Kepercayaan Wina berbuah manis, tidak lama kemudian ia mendapat panggilan untuk mengajar di sebuah tempat bimbingan belajar (bimbel).
Mulai saat itu, Senin sampai Jumat Wina mengajar di bimbel. Sabtu dan Minggu ia membantu ibunya berjualan di pasar. Keinginannya untuk kuliah masih membara. Untuk itu, perempuan berparas manis ini berniat membuka usaha bimbel bersama teman-temannya, supaya ia bisa melanjutkan kuliahnya yang terbengkalai. “Saya bekerja untuk ibu, saya kuliah pun untuk ibu. Untuk itu saya akan berusaha.”

Taman Monas: Ruang "Terbuka" Publik

Taman Monas merupakan sebuah hutan kota yang dirancang dengan taman yang indah. Taman ini dilengkapi dengan berbagai fasilitas. Taman Monas merupakan RTH yang paling eksis. Hal ini terlihat dari banyaknya jumlah pengunjung yang datang. Selain karena Monas sebagai salah satu ikon kota Jakarta, Monas juga memiliki taman yang indah. Maka, tak jarang Monas dijadikan salah satu tujuan utama bagi orang-orang dari luar Jakarta yang ingin berekreasi.
Taman Monas dapat dijangkau dengan kendaraan pribadi maupun angkutan umum. Salah satu angkutan umum yang ada yaitu Trans Jakarta. Dari Halte Bus Trans Jakarta Harmoni naik bus jurusan Blok-M, harga tiket Rp 3.500,-. Lalu, turun di Halte Monumen Nasional, halte pemberhentian pertama dari Harmoni. Keluar dari halte, Tugu Monas sudah bisa terlihat dengan jelas.
Biasanya, di depan halte sudah ada delman yang siap menawarkan jasa untuk mengantar ke pintu masuk area Monas, tapi harga yang ditawarkan lumayan mahal, yaitu Rp.20.000,- sekali antar. Jika ingin berhemat, perjalanan ke pintu masuk dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Jarak tempuh kira-kira 200 meter atau kira-kira 10-15 menit dengan berjalan kaki. Di dekat pintu masuk terdapat mobil box besar berwarna jingga, itu adalah toilet. Jadi, jika ingin pergi ke toilet di dalam Taman Monas cukup mencari mobil box berwarna jingga, biaya Rp1.000,-.
Tidak jauh dari pintu masuk ada tempat untuk menunggu kereta wisata di Monas. Kereta ini  bertugas membawa pengunjung ke pintu masuk Tugu Monas, dan yang lebih penting kereta ini tidak dipungut biaya. Kapasitas kereta ini tidak terlalu banyak dan hanya ada dua kereta yang beroperasi. Jadi, jika ingin naik kereta harus mengantri cukup lama. Waktu operasi kereta ini disesuaikan dengan waktu buka dan tutupnya Monas.
Taman Monas memiliki cirri khas tersendiri dibanding taman-taman lain yang ada di kota Jakarta. Dulu taman ini merupakan tempat dibacakannya teks proklamasi. Selain itu, pada bagian Utara Taman Monas berhadapan langsung dengan Istana Negara. Sebuah simbol yang merepresentasikan politik nasional. Namun, keadaan yang terjadi di area Taman Monas sangat kontras dengan sejarah dan simbol negara ini. Taman ini labih banyak disalahgunakan, baik penyalahgunan pengelolaan maupun tindakan kriminal.

Setting Taman Monas                                     

Di area Merdeka Square ini, banyak orang berkumpul untuk tujuan rekreasi atau pun tujuan politik. Pada pusat taman berdiri Tugu Monumen Nasional (Monas) yang menjadi ikon kota Jakarta. Monas dibangun di kawasan seluas 80 hektare di Merdeka Square. Di sebelah utara dibatasi oleh Jalan Medan Merdeka Utara, di sebelah timur oleh Jalan Medan Merdeka Timur, di selatan oleh Jalan Medan Merdeka Selatan, di barat oleh Jalan Medan Merdeka Barat. Untuk menuju Taman Monas dapat melalui empat pintu yang ada pada jalan-jalan tersebut.
Di sekitar area Monas banyak kantor pemerintahan. Pada bagian utara terdapat Taman Merdeka, di bagian tersebut ditempatkan patung perunggu Pangeran Diponegoro yang sedang menaiki kuda. Dari sana pengunjung dapat menjangkau dasar Monas. Area Monas dibuka pada pukul 04.00 WIB dan ditutup pada pukul 00.00 WIB.
Di sekeliling tugu terdapat taman, dua buah kolam dengan lebar 80 x 45 meter persegi dan beberapa lapangan terbuka tempat berolahraga. Fasilitas yang tersedia di taman terdiri dari lapangan futsal, area berlari, tapak refleksi, dan lapangan senam. Ada pula atraksi perpaduan laser multiwarna tiga dimensi yang membuat Tugu Monas berubah warna pada malam hari.
Pada hari Sabtu dan Minggu, digelar atraksi air mancur yang diiringi alunan musik, sehingga area air terjun tersebut selalu padat dikelilingi orang-orang yang ingin menyaksikan. Atraksi lampu laser dimainkan sebanyak dua kali dengan durasi selama setengah jam, yakni mulai pukul 19.00-19.30 WIB dan pukul 20.00-20.30 WIB. Atraksi air mancur menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung.
Air Mancur Pesona Monas ini dibangun di lokasi air mancur lama yang dibangun pada pemerintahan Ali Sadikin di tahun 1974 dengan biaya renovasinya mencapai Rp. 26 Miliar. Renovasi air mancur ini bertujuan untuk memaksimalkan fungsi ruang terbuka hijau di taman Monas yang merupakan taman kota terbesar di Asia Tenggara. Air Mancur Pesona Monas memiliki 33 buah pompa air, 717 lampu air, juga ada sinar laser. Konfigurasi pancaran air dari 33 pompa air, sorotan lampu air, dan sinar laser itu lah yang bisa membuat air mancur seperti terlihat sedang menari.
Di Taman Monas juga tumbuh banyak pohon. Masing-masing pohon diberi keterangan. Keterangan tersebut mengenai nama pohon, tahun penanaman pohon, dan asal pohon. Banyaknya pohon membuat Taman Monas menjadi asri dan teduh. Selain itu, di Taman Monas juga terdapat beberapa rusa yang dipelihara.
Penangkaran rusa tidak jauh dari lapangan parkir. Hingga saat ini jumlah rusa yang ada mencapai sekitar 80 ekor. Dari 80 ekor rusa itu, sebagian besar berukuran kecil, sedang dan rusa dewasa sangat sedikit.Rusa-rusa tersebut ditangkarkan di tanah gersang dan tidak terdapat tumbuhan rumput hijau. Hanya ada daun kering jatuh dari pohon pelindung di sekitarnya. Tidak adanya rumput di lokasi itu sangat menyulitkan untuk memenuhi kebutuhan pangan rusa-rusa tersebut.
Disediakan lapangangan pakir bagi pengunjung yang membawa kendaraan pribadi. Lapangan parkir khusus pengunjung area monas dinamakan parkiran IRTI. Tempat parker kendaraan cukup luas. Namun sayangnya, manajemen parkirnya masih sangat berantakan. Sistem komputernya rusak, dan pencatatan waktu ditulis tangan di atas kertas cetak yang semestinya untuk komputer. Namun, jika ada penyelenggaraan kegiatan oleh instansi pemerintah di area Monas, maka hampir semua sistem komputernya berjalan dengan baik. Hal semacam ini berpotensi terjadinya manipulasi pemasukan uang parkir ke Badan Pengelola Perpakiran.
Tidak jauh dari lapangan parker terdapat lokasi tempat berkumpulnya berbagai pedagang, anatara lain pedagang makanan, minuman, aksesoris, pakaian, sepatu, sandal, kaset, dan sebagianya. Jumlah pedagang yang ada saat ini mencapai 316 orang. Namun, lokasi yang disediakan untuk para pedagang ini sangat minim. Luas area dagang tidak sesuai dengan jumlah kios yang ada, sehingga lokasi tersebut sangat sempit.

Fenomena Urban Black Spot

Berdasarkan pengamatan, terdapat beberapa permasalahan di dalam pengadaan dan pemanfaatan Taman Monas yang terjadi saat ini. Pertama, pemanfaatan Taman Monas lebih cenderung hanya terbatas pada manfaat fungsi tunggal, yaitu penghijauan atau estetika kota saja. Seharusnya secara normatif Taman Monas memiliki fungsi bagi kehidupan kota, yaitu ekologis, sosio-kultural, dan ekonomis. Fungsi tunggal inilah yang menyebabkan warga kota tidak peduli terhadap keberadaan RTH.
Kedua, pengadaan Taman Monas dilakukan dengan pendekatan “setengah hati”, serta belum terintegrasi dalam satu sistem kehidupan kota. Ketiga, keberadaan Taman Monas sebagai RTH masih dikalahkan oleh berbagai kepentingan lain yang lebih “menguntungkan”. Keempat, jika mengikuti kategori atas barang dan jasa, Taman Monas termasuk barang yang dikonsumsi oleh banyak orang, tidak ekonomis, dan sulit dikelola. Kondisi ini berdampak pada permasalahan manajemen pengelolaan Taman Monas.
Membangun fisik kota mungkin dapat dilakukan dalam hitungan tahun, tetapi membangun kota yang berjiwa pasti membutuhkan waktu yang lebih lama. Jiwa kota kita sebenarnya ada di ruang terbuka hijau, bukan gedung pencakar langit atau mal yang setiap hari kian berlomba mempersempit ruang publik Jakarta.
Salah satu kegagalan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dalam mengelola aset, potensi, dan investasi RTH adalah kerena para pejabatnya seringkali tidak mengikutsertakan pihak yang berkepentingan, berhubungan, dan berkaitan langsung dengan keberadaan RTH. Mereka adalah warga kota terutama yang berdekatan langsung dengan komponen RTH, seperti yang bertempat tinggal di sekitar taman kota.
Mereka seringkali ditinggalkan dalam pengambilan keputusan dan perencanaan RTH kota, seolah-olah RTH milik pemda sendiri. Memang benar Dinas Pertamanan DKI memiliki program penggalangan peran serta masyarakat yang mencoba memberdayakan masyarakat melalui pola kemitraan. Tetapi, ibarat orang berpacaran, maunya hanya dicinta, namun yang dilakukan justru hal-hal yang menyakiti atau menyinggung perasaan pacar.
Dinas Pertamanan ingin merangkul warga dalam pengembangan RTH, tetapi di saat bersamaan dilaksanakan proyek kontroversial pemagaran Taman Monas yang dikecam dan mengundang antipati warga terhadap Pemprov DKI Jakarta dalam mengelola RTH. Mengharapkan keterlibatan dan partisipasi aktif warga dalam pengembangan RTH rasanya jauh api dari sumbernya. Padahal, warga lebih membutuhkan kehadiran taman lingkungan dan lapangan olah raga, bukan pemagaran Taman Monas dan renovasi air mancur. Pemerintah seharusnya menjembatani prioritas utama kebutuhan RTH warga dan menolak proyek-proyek yang tidak sejalan dengan program pengembangan RTH.
Penyalahgunaan pengelolaan ini melahirkan berbagai permasalahan. Sikap pemerintah yang “setengah hati” mengikutsertakan warganya dalam pengambilan keputusan memunculkan berbagai tindakan kriminal. Sebagai contoh Taman Monas sebagai RTH yang kini menjadi Urban Black Spot (ruang negatif dalam kota). Sejak area Monas dipagari banyak pengunjung yang masuk dengan cara melompati pagar, menurut pengakuan pelaku, hal itu ia lakukan karena terlalu jauh jika ia harus melalui pintu masuk. Bukan hanya melompat, bahkan ada pengunjung yang merusak pagar agar bisa dijadikan pintu masuk. Ada yang berpendapat telah terjadi reduksi makna Taman Monas sebagai ruang publik.
Bukan hanya pemagaran yang melahirkan penyimpangan. Pelarangan masuknya pedagang asongan ke area Monas ternyata juga menimbulkan tindakan kriminal, yakni adanya pedagang asongan yang menyamar sebagai pengunjung dengan membawa tas besar beisikan barang dagangan, tujuannya agar tidak ditangkap oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang sering mengadakan razia. Yang menarik, pengunjung Taman Monas sering disuguhi “tontonan gratis” kucing-kucingan ala Satpol PP dan pedagang asongan.
Dengan pemagaran dan pelarangan masuknya pedagang asongan ke area Taman Monas, sebenarnya pemerintah telah menciptakan pembatasan secara nyata dan psikologis terhadap warganya. Selain itu, munculnya anggapan pemerintah berlaku diskriminatif terhadap sebagian warganya, terutama kalangan bawah yang berusaha mencari nafkah di ruang publik (sebagian dari mereka adalah korban krisis ekonomi). Ketidaktertiban seharusnya dijawab dengan pengaturan, bukan pemagaran.
Selain itu, Taman Monas kerap dijadikan tempat kejahatan seksual. Menurut salah seorang pedagang asongan perempuan, ia pernah mengalami pelecehan seksual di malam hari, pelecehan itu dilakukan oleh gerombolan pemuda yang sedang mabuk. Namun, perempuan itu tidak melaporkan pelecehan tersebut kepada petugas, karena posisinya serba salah. Jika ia melapor, ia tetap akan disalahkan karena melanggar peraturan tidak boleh berjualan di area Taman Monas.

Kesimpulan

Kemerdekaan untuk menikmati lingkungan hidup kota yang sehat dan bersih dari berbagai tindak kriminalitas juga merupakan hak warga sipil. Pembangunan RTH seharusnya ditujuakan untuk memberikan kemaslahatan publik dan menyelesaikan berbagai persoalan, bukan malah melahirkan berbagai persoalan baru. Pada akhirnya bagaimana pun, menyelamatkan RTH berarti menyelamatkan aset, potensi, dan investasi kota yang sangat berharga dan berjangka panjang.
Terlepas dari itu, Taman Monas hampir tidak pernah sepi dari pengunjung. Taman Monas juga memberikan manfaat positif bagi pengunjung. Taman ini bisa menjadi sarana rekreasi yang murah dan terjangkau. Pengunjung yang datang pun beragam. Pada hari Senin sampai Jumat, pengunjung yang mendominasi taman ini adalah pelajar yang ingin mengunjungi monumen, kemudian mereka menyempatkan diri berkunjung ke taman sekedar untuk beristirahat, berolah raga, bermain, berbincang, dan makan.
Selain itu, para pekerja yang kantornya berada tidak jauh dari taman ini juga sering mampir untuk melepas rasa lelah. Di hari Sabtu, pengunjung Taman Monas didominasi oleh para remaja yang datang berpasang-pasangan. Sedangkan pada hari Minggu, kebanyakan pengunjung yang datang membawa keluarga, biasanya tujuan mereka untuk berekreasi dan berolah raga dengan memanfaatkan sarana olah raga yang tersedia. Jadi sebenarnya, ada sisi positif dan negatif tentang pemagaran dan diberlakukannya jam buka-tutup di area Monas.

Mimpi Sang Pemimpi


Fiksi merupakan fenomena sosial yang memperoleh kebenarannya sendiri. Kebenaran fiksi terletak pada ide yang berangkat dengan fenomena pengalaman dan refleksi, itulah yang kemudian disebut karya fiksi sebagai fenomena sosial. Sama halnya dengan novel Sang Pemimpi. Ketika pendidikan telah menjadi momok yang mencemaskan kehidupan bangsa, seorang penulis melahirkan sebuah novel yang mengajak kita untuk merenungkan kembali hakekat pendidikan sesungguhnya. Novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata mengajak kita berpetualang dalam kisah masa kecilnya.
Novel ini bertutur tentang perjuangan hidup yang harus dimenangkan dalam berbagai keterbatasan. Kehidupan Ikal, Arai, dan Jimbron jauh dari kriteria berkecukupan. Ibarat pribahasa Sudah Jatuh Tertiban Tangga, kebahagiaan seakan berusaha menjauh dari mereka. Di usia yang terbilang masih sangat muda Arai dan Jimbon harus kehilangan orang tua, sedangkan Ikal terasa terbebani dan tersiksa melihat sepupu jauhnya –yang tidak lain adalah Arai- menjadi sebatang kara. Akhirnya, Arai tinggal bersama keluarga Ikal, dan Jimbron diadopsi oleh seorang pendeta. Namun, itu bukan hambatan yang akan menyurutkan langkah mereka untuk menggapai mimpi.

Feminisme, Menentang…

Agustus 23, 2010


Nama buku: Feminisme untuk Pemula
Penulis: Susan Alice Watkins, Marisa Rueda dan Marta Rodrigues
Penerbit: Resist Book
Tahun terbit: Desember 2007
Tebal halaman: 176 Hal.




Kami adalah perempuan yang punya posisi istimewa. Jutaan perempuan lainnya telah berjuang mencintai dan mati. Semuanya turut memberikan andil bagi kerja besar yang tiada henti dalam sejarah kaum perempuan.(Sappho, penyair besar pada masa yunani kuno,650 SM).

Sebelum istilah feminisme ditemukan, sudah lebih dulu ditemukan berbagai bukti tentang gerakan perempuan, kebangkitan perempuan dan kekuasan perempuan yang sempat membuming. Feminisme muncul sebagai gerakan perlawanaan terhadap pembagian kerja disuatu dunia yang menetapkan kaum laki-laki sebagai yamg berkuasa dalam ranah public, seperti dalam pekerjaan, olahraga, perang, pemerintahan. Sementara kaum perempuan hanya menjadi pekerja tanpa upah di rumah, dan memikul seluruh beban kehidupan keluarga.
Pada awalnya gerakan feminisme ini memang diperlukan pada masa itu, dimana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriarki sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki.

Kekerasan yang Memeriahkan MPA


Kamu tau tidak, MPA (Masa Pengenalan Akademik) selalu dimeriahkan oleh bintang tamu  yang bernama “kekerasan simbolik” dan “kekerasan verbal” lho…
MPA, seremonial yang diselenggarakan pada awal masuknya maba (mahasiswa baru) sebelum menjalankan aktivitas perkuliahan. Dalam acara MPA maba akan diperkenalkan lingkungan akademik di dunia kampus yang asing bagi mereka. Jika dilihat tujuannya memang acara ini sangat bermanfaat. Namun, masih pentingkah kegiatan ini bila sudah melenceng dari tujuan awalnya?
Atribut MPA merupakan salah satu komponen “penting” yang harus dipakai oleh maba pada saat mengikuti acara tersebut. Atribut yang digunakan maba berbeda-beda sebagai pembentukan kreativitas mereka di tiap-tiap jurusan. Tas, topi, nametag, dan atribut lainnya tentu  bukan seperti yang sering kita pakai dalam beraktivitas sehai-hari. Semua harus serba unik, berbeda dan aneh sehingga terlihat tampak lucu. Bukan tidak mungkin maba dengan  atributnya hanya menjadi bahan tertawaan para senior mereka.
Untuk membuat atribut MPA tentu harus mengeluarkan modal yang tidak sedikit bagi sebagian maba yang berasal dari kalangan bawah, mengingat kampus ini adalah “kampus rakyat”. “Sebenarnya atribut nggak terlalu penting kok. Apalagi kalo nggak ada hubungannya ama akademik!” ungkap seorang maba FIS yang tidak mau menyebutkan namanya. Atribut yang dikenakan maba memang tidak selalu berhubungan dengan akademik dan tidak bermanfaat bagi proses pengenalan kampus. Tapi lagi-lagi, maba memilih untuk menuruti aturan penggunaan atribut dari senior-senior mereka dengan alasan kedisiplinan. Seakan-akan tidak mempedulikan adik-adiknya, seniorpun tidak mau tau, entah bagaimana caranya atribut tersebut harus dipakai pada saat MPA. Menilik hal itu, maka tidak salah jika kita namakan ini adalah kekerasan secara simbolik yang dilakukan para senior.

Tandus*

Agustus 21, 2010



Aku hanya seorang perempuan biasa saja. Tak pantas dibanggakan, karena tak ada yang bisa dibanggakan dari diriku. Maka aku tak berharap seseorang akan melakukan sesuatu yang lebih untuk mendapatkanku.
Tapi…
Kamu hadir dalam hidupku. Tanpa kumau. Tanpa kuundang. Dan tanpa kuduga sebelumnya. Rasanya masih seperti mimpi. Aku pernah melihatmu dalam khayalku. Kamu hadir membawa sejuta mimpi dan harap. Aku bertemu denganmu di dalam kesendirianku. Sosokmu yang berada di antara dunia imajinasi dan nyataku makin merajadi-jadi. Aku tak mampu menguasai pikiranku saat berada di hadapanmu, tapi sikapku selalu menolongku, menyeimbangkan situasi dalam diriku. Aku tak mau kamu tahu bahwa aku menyukaimu. Aku tak mau menjalin hubungan denganmu, karena aku tahu semua ini hanya mimpi yang sama sekali tak akan pernah bersentuhan dengan kenyataan. Sakit. Sudah pasti rasa itu kumiliki selama menyimpan rahasia ini.

Dilema UN

Agustus 17, 2010

UN (Ujian Nasional) merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional yang memiliki pengaruh sangat besar terhadap perjalanan bangsa Indonesia di masa depan. Menyikapi UN sebagai sebuah fenomena kegiatan pendidikan ternyata memunculkan beragam pertanyaan dari berbagai kalangan. Masih perlukah UN diberlakukan? Apa yang dihasilkan dari UN? Adakah keterkaitan UN dengan prestasi peserta didik? Apakah UN bisa “menelurkan” putra-putri Indonesia yang cerdas, jenius, dan pintar sesuai dengan bakatnya mereka?
UN sebagai tolak ukur evaluasi kegiatan akhir sekolah tingkat nasional di Indonesia, melahirkan berbagai reaksi. Di satu sisi, UN memberikan kebanggaan, bahwa dalam hal ini Pemerintah telah berhasil membuat standar penilaian nasional secara menyeluruh dari tingkat SD sampai SMU yang dilaksanakan serentak. Namun di lain sisi, ternyata UN melahirkan keprihatinan bagi sebagian kalangan. Pasalnya, tujuan ideal yang digembar-gemborkan pemerintah, bahwa UN adalah salah satu standar tolak ukur keberhasilan pendidikan di Indonesia, justru tanpa disadari menjadi salah satu penyebab hilangnya ruh pendidikan di Indonesia.

Rendi Banci

Agustus 12, 2010

“Bu, kenapa orang-orang memanggilku banci?“ isak Randi sambil memeluk ibunya yang sedang berdiri merias wajah di depan cermin.
“Siapa yang mengatakan itu, Nak? Semua itu gak benar. Kamu leleki, bukan banci,” ucapnya lirih sambil meremas kedua tangan Rendi.
Rendi memeluk ibunya, ia merasa iba melihat mata ibunya berkaca-kaca. “Ibu baik-baik saja, kan? Ibu jangan menangis ya… Rendi sayang Ibu,” dilepaskanya pelukan dari tubuh sang ibu, lalu ia menciumi wajah sayu itu.
***

Mitos Kecantikan: Sebuah Penindasan Terhadap Perempuan

“Mirror-mirror on the wall… Who is the fairest in the world?” (Snow White)
Siapa yang tidak tahu tentang kecantikan, setiap perempuan pasti tahu. Sejak zaman dahulu, perempuan sudah dikonstruksikan sebagai makhluk yang cantik, identik dengan keindahan. Meskipun kecantikan selalu dikaitkan dengan perempuan, namun laki-laki turut andil dalam merekonstruksi kecantikan. Konon, kecantikan dianggap sebagai anugerah terindah bagi perempuan. Karena, kecantikan seperti magnet yang mamapu mnarik prhatian banyak orang.
Selain itu, banyak kisah yang menuturkan kecantikan sebagai penghancur laki-laki, keagungan dan kekuasaan laki-laki dapat jatuh di bawah kakinya. Tidak heran jika dalam mitologi kuno dilukiskan pengaruh seorang perempuan cantik yang mampu membuat laki-laki bersedia berkorban dan melakukan apa saja demi mendapatkan perempuan cantik tersebut. Kisah Julius Cesar dan Cleopatra, Rama dan Shinta, perebutan wanita cantik antara Qabil dan Habil, perselisihan antara Epimetheus dan Prometheus demi memperebutkan Pandora yang cantik, merupakan beberapa kisah yang berpartisipasi dalam pembentukan mitos kecantikan yang sampai saat ini diagung-agungkan. Mitos ini telah berlaku sepanjang sejarah perempuan sehingga kecantikan dipandang sebagai sesuatu yang objektif dan universal.

Tolong, beri judul tulisan ini!

Saya bingung, dari mana saya akan memulai untuk menulis. Ya, sekarang saya tahu dari mana, saya memulainya dari kebingungan saya. Kebingungan itu bukan sesuatu yang buruk, kan? Jadi, saya kira Anda tidak keberatan jika saya memulai dengan kebingungan. Karena, bingung itu menandakan saya berpikir. Anda bingung memahami maksud saya? Itu artinya Anda sedang berpikir.
Saya bingung, kenapa dalam novelnya Sang Alkemis, Paulo Coelho mengatakan ”di mana hatimu berada, di situlah hartamu berada”. Saya benar-benar penasaran dengan novel tersebut, karena itu saya membaca novelnya. Setelah membaca, saya mulai memahami maksud kalimat itu.
Novel ini berkisah tentang seorang anak gembala yang berkelana untuk mengikuti petunjuk di dalam mimpinya. Dalam mimpi itu ia diberi tahu akan mendapatkan harta karun. Sebelumnya, ia merasa ragu untuk meneruskan perjalanannya, namun suara hatinya meyakinkan dirinya untuk berkelana mengejar mimpinya. Sang alkemis di sini adalah tokoh yang menuntun anak gembala itu menuju harta karunnya, serta mengajarinya tentang kegigihan, kesabaran, jiwa dunia, dan cinta. Dengan bekal keyakinan dari suara hati, akhirnya anak gembala itu mampu mendapatkan hartanya.

Perempuan dalam Aksara

Di zaman yang dapat saya katakan makin edan ini, perempuan dihadapkan dengan berbagai tantangan. Tanatang yang mereka alami bukanlah tantangan biasa, pasalnya tantangan tersebut berkaitan dengan ketidaksetaraan gender. Perempuan kerap menanggung beban yang berat karena hal itu. Namun kini perlahan tapi pasti, emansipasi perempuan mulai bangkit. Kebangkitan perempuan terlihat dalam dunia tulis-menulis. Terjunnya perempuan dalam dunia tulis-menulis dengan berbagai alasan, diantaranya menyalurkan hobi, menuangkan pemikiran, mengabadikan kisah, mencari keuntungan ekonomi, atau sekedar ingin melampiaskan kejenuhan.
Banyak bermunculan penulis-penulis perempuan dengan berbagai karakter. Gender merupakan salah satu tema yang banyak dipilih. Memang banyak perempuan di Indonesia yang terlibat langsung dalam dunia penulisan. Namun, sangat sulit menemukan karya dari penulis perempuan yang mengungkapkan tema penyadaran perempuan atau sifat-sifat kejuangan perempuan dalam masyarakat, yang dalam hal ini tentu saja berkaitan dengan gender.

Diskriminasi, Sudah Tradisi?

Membicarakan budaya tidak bisa terlepas dari pembahasan tentang perempuan. Karena, perempuan seringkali mendapatkan hambatan dalam memperoleh kebebasan di wilayah budaya. Ketika perempuan ingin memilih dalam hidupnya, selalu benturannya adalah budaya. Menurut budaya kita, perempuan itu harus begini, perempuan harus begitu.
Padahal, budaya merupakan konstruksi sosial, jadi sebagai sebuah konstruksi seharusnya hal tersebut dapat diubah. Perubahan dapat dilakukan karena budaya dapat berproses. Tidak masalah mengubah budaya, selama tidak melanggar prinsip-prinsip dasar budaya apa pun. Karena, pada dasarnya budaya itu mengedepankan kemerdekaan manusia. Maka, jika ada budaya yang tidak sesuai seharusnya dapat diubah. Namun tidak semudah itu, berbagai kendala selalu ada. Salah satu kendalanya yakni sikap dan pola pikir yang normatif pada masyarakat, khususnya perempuan.

Perempuan, Jangan Mau Ketinggalan!


Tidak usah khawatir perempuan dan lelaki itu sama saja, menginjak di bumi yang sama, yang berbeda hanyalah jenis kelaminnya saja. (Pramudya Ananta Toer)

Bukan rahasia kalau kaum perempuan sampai saat ini masih terdiskriminasi. Bahkan, perempuan menjadi lebih terpuruk secara ekonomi, sosial, politik dan pendidikan. Sejarah menunjukkan bahwa kaum perempuan (feminim) selalu dirugikan dalam segala bidang. Dinomorduakan oleh kaum laki-laki (maskulin) dalam memperoleh hak.
Diskriminasi berarti pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang bertujuan mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak–hak asasi manusia dan kebebasan–kebebasan pokok di segala bidang. Keadaan yang dialami kaum perempuan ini disebabkan karena masih kentalnya budaya patriarki. Dalam budaya ini, laki–laki lebih berkuasa untuk menentukan suatu keputusan. Di lain sisi, perempuan hanya punya ruang dalam urusan domestik (dapur, sumur, dan kasur). Budaya patriarki merupakan cerminan sisa–sisa feodalisme Indonesia.
Pendiskriminasian terhadap kaum perempuan akibat permasalahan gender. Gender merupakan istilah “Barat” yang terbentuk dari Revolusi Industri, yang ketika itu dibentuk sebagai pembagian kerja laki-laki dan perempuan. Apa yang terjadi kemudian, diskriminasi ini menjadi pilar utama peradaban “Barat”. Dampaknya terasa sampai Indonesia, yang dibawa oleh kolonialisme Belanda.

Ruh Komersialisasi Pendidikan Telah Bangkit!!!

Pendidikan sebagai alat untuk mencerdaskan manusia sehingga mampu membebaskan dirinya dari segala bntuk penindasan, itulah hakikat pendidikan yang sesungguhnya. Sungguh mulia. Namun, mengapa pendidikan saat ini sulit dijamah mereka yang termiskinkan oleh sistem kapitalisme yang bertopeng neoliberalisme?! Pendidikan yang katanya merupakan hak setiap warganegara, seharusnya dapat dijamah oleh semua lapisan. Lantas, mengapa pemerintah justru mempersulit akses untuk memperoleh pendidikan bagi kaum menengah ke bawah ya?! Uuuhhhh…, TRAGISSS!!!
Ide privatisasi kemudian muncul sebagai jalan untuk menuntaskan permasalahan pendidikan di Indonesia. Ide ini merupakan agenda besar pemerintah. Sebenarnya, privatisasi pendidikan hanyalah sebuah alasan pemerintah untuk melepaskan negara dari tanggung jawab guna memenuhi kebutuhan dasar warga negaranya akan pendidikan. Biaya pendidikan yang semakin mahal adalah salah satu dampak nyata dari privatisasi pendidikan. Jika ingin mendapatkan pendidikan, maka harus rela membayar mahal. Ilmu pengetahuan kini menjadi komoditas yang diperdagangkan, mengamalkan ilmu kini lebih didorong oleh materi.

Gender dalam Dunia Pendidikan

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) begitu pesat. Namun sayangnya, perkembangan itu tidak diimbangi dengan perkembangan di sektor kebudayaan masyarakat. Teknologi pun yang semula diciptakan untuk melepaskan belenggu dalam manusia, tapi justru malah menjadi belenggu. Manusia telah diperbudak oleh teknologi. Bagaimana tidak, lihatlah betapa canggihnya teknologi mengalahkan dan menguasai manusia untuk menuruti keinginannya. Ini menyebabkan manusia hanya menjadi seonggok barang, karena harga kemanusiaaan mengalami pergeseran menuju titik terendah.
Hal ini memunculkan pertanyaan dalam diri kita masing-masing. Bagaimana seharusnya manusia menyikapi perkembangan iptek? Bagaimana memposisikan peran manusia dalam proses perkembangan iptek tersebut? Perkembangan memunculkan berbagai perubahan, ini merupakan tugas manusia itu sendiri untuk memikirkan bagaimana supaya perubahan itu tidak mereduksi keadilan dan kesetaraan serta menjamin kedamaian. Bukan lagi perempuan atau laki-laki, tetapi manusia. Manusia itu sendiri yang harus dimenangkan.
Semua itu hanya rangkaian pertanyaan yang melahirkan pernyataan bahwa semua masalah dapat terselesaikan jika manusia mampu menggunakan iptek sesuai dengan takaran yang sewajarnya. Namun, bukankah iptek semata-mata hanya untuk meningkatkan kekuasaan manusia terhadap lingkungan alamnya? Pada posisi ini seharusnya manusialah yang menguasai iptek. Tetapi iptek, khususnya teknologi, mempunyai tuntutan-tuntutan tertentu yang membuat manusia sulit untuk menguasai seluruhnya. Inti permasalahannya, kenyataan yang menunjukan kemajuan teknologi tidak disertai dengan kebudayaan. Sehingga yang terjadi makin banyaknya ketimpangan dalam masyarakat.

Menanti

sepi...
sunyi...
senyap...
seram...
namun aku tetap berdiri
menanti datangnya sebongkah hati
mengapa tiada kunjung tiba
sesosok insan yang penuh tanya
nyata atau maya, yang pasti aku mendambanya
juga merindunya
ingin bersua dan mencumbu tawanya

Tanpa

Setiap malam aku berkelana
Menyusuri jalan-jalan hampa
Mencari jiwa-jiwa yang kesepian
Menyusup ke relung-relung hati yang terdalam
Ragaku kini telah tiada,tak lagi mendunia
Diriku hanyalah sehelai ruh yang melayang-layang di udara
tanpa teman, tanpa Dia

Beritahu aku...

Ketika cinta membelai dinding hatiku dengan lembutnya, aku menjadi layu...
Hatiku yang dulu beku perlahan membuat hidupku sendu...
Mataku tak lagi mampu melihat waktu
Telingaku tak lagi mampu menangkap nyanyian merdu
Hidungku tak lagi mampu menghirup udara sampai ke kalbu
Mulutku tak lagi mampu mengumandangkan sebuah lagu
Lidahku tak lagi mampu mengecap manisnya madu
Aku hanya mampu meresapi indahnya rayu dan cinta yang menyatu
Namun, kini cinta itu menjadi abu
Abu yang menyamarkan pandanganku
Pada siapa aku mengadu, sedang aku telah lupa pada penciptaku
Beritahu aku...

SENJA

Aku.
Aku adalah senja.
Wujudku aram-temaram goresan alam.
Tapi itu dulu...
Sebelum senja kehilangan tiang-tiang penyangga.
Sebelum senja dijatuhkan ke pangkuan manusia.
Sebelum senja membaur dengan gulita.
Kini...
Senja.
Aku telah lupa apa itu senja.

Empat Nol Delapan

Suara kendaraan yang berlalu di jalanan sangat mengganggu pendengaranku. Sebesar apapun konsentrasiku untuk mendengarkan dosen berceramah, tetap terkalahkan oleh deru kendaraan di bawah sana. Owh…, mengapa di sini ada dosen? Mugkinkah aku sedang kuliah? Entahlah. Aku duduk di barisan belakang. Bukannya tak mau duduk di depan, tapi beginilah ruangan ini, begitu sempit untuk menampung lima puluh orang (terkadang labih) dengan ukuran tubuh yang beragam. Jika tak datang lebih awal, tak bisa duduk di depan. Datang lebih awal pun tidak menjamin mendapatkan kursi di tempat yang strategis. Aku masih bingung, di mana aku berada sekarang? Pertanyaan itu hanya kusimpan di dalam pikiranku, aku tak melemparnya pada siapapun, karena orang-orang di sekelilingku tak dapat bicara. Mereka tak bisu, mereka hanya tak bisa bicara. Aku pun begitu. Mungkin kami sedang dibungkam. Mungkin.

Aku mamalingkan wajah ke jendela di sebelah kiriku. Dari jendela yang tak ada kacanya ini aku bisa melihat gedung-gedung tinggi dan jalanaan yang selalu ramai. Ada di lantai berapa ruangan ini? Belum sempat kupikirkan jawabannya, tiba-tiba langit meneteskan air mata. Semakin lama semakin deras. Langit menangis, batinku. Aku menadahkan tangan kiriku ke luar jendela agar aku dapat menyentuh airmatanya. Pohon basah. Jalanan basah. Gedung-gedung angkuh itu bisa basah juga. Hahaha. Owh, bukuku basah. Hahaha. Aku terbahak tanpa suara. Buat apa aku menadahkan tanganku ke luar jendela jika dari dalam pun aku bisa menyentuh air mata langit. Aku mulai kedinginnan. Kumasukan tanganku ke dalam saku jaket. Pandanganku tetap setia. Seketika hujan berhenti, meninggalkan dingin. Jika hujan ruangan ini menjadi dingin, walau tanpa pendingin ruangan.

Tiga puluh menit berlalu. Matahari mulai menunjukan wajahnya yang tak ramah. Aku melihatnya, entah bagaimana bisa. Sinarnya membanjiri seluruh ruangan ini. Perlahan hangat mulai kurasa. Semilir angin menyapu rambutku. Kunikmati suasana ini selagi masih bisa. Mungkin satu atau dua menit lagi dosen yang sedang menggurui itu akan menggertakku dan mempermalukanku di hadapan kawan-kawan, juga lawan. Atau, yang paling buruk dosen itu mengancam mengeluarkanku dari kelas. Masih ada lagi kemungkinan lain yang sangat buruk, dosen itu memainkan nilai-nilaiku. Jika itu benar-benar terjadi, aku hanya bisa menyunggingkan bibir.

Gerah. Gerah. Gerah. Rintih beberapa orang yang ada di dalam ruangan ini. Keheningan pecah. Untung lah aku duduk di dekat jendela yang tak berkaca ini, angin masih mau lewat untuk menyapaku. Gerah pun tak terlalu kurasa. Aku tertawa kecil. Sebenarnya ruangan ini memiliki dua buah pendingin ruangan, AC. Tapi.. Ahg, sudahlah aku malu mangungkapkannya, ini salah satu aib dari beribu aib yang tak lagi menjadi rahasia. Kalau begitu untuk apa kurahasiakan?! Ungkapkan sajalah! Di dinding ruangan ini tergantung dua buah AC. Hmm… Entah itu AC asli atau hanya pajangan. Tapi, bukankah terlalu mahal jika hanya dijadikan sebuah pajangan yang sama sekali tak memperindah ruangan ini?! Aku tersenyum.

Tiba-tiba pintu terbuka. Aku menoleh ke pintu itu. Dua kawan datang terlambat, entah mengapa. Wajah dosen berubah menjadi sinis. Mereka membalasnya dengan senyum yang tak manis. Setelah itu mereka keluar, tak lama kemudian mereka masuk kembali ke dalam ruangan. Kawanku menggotong kursi, kawan yang lainnya memilih untuk menyeret kursi itu. Mereka meletakan kursi di sebelahku, mereka pun duduk dengan napas yang terengah-engah. Dosen marah. Ia tak suka malihat mahasiswanya menyeret kursi. Kawan ditegur, dicaci, disindir, dipermalukan dan dicatat namanya. Kawanku hanya diam dan mengangguk. Hahahaha. Kenapa hanya diam dan mengangguk, Kawan? Katakan padanya, di dalam ruangan ini ada lima puluh orang lebih, tapi kursi yang tersedia tak sebanyak itu. Ruangan ini melebihi kapasitas. Jika saja tersedia kursi yang cukup dan layak, tak akan ada kursi yang diseret-seret. Kenapa kau hanya diam dan mengangguk, Kawan?!

Hmmmm… Hei, Dosen! Besok kau tak akan mendapatkan kursi yang saat ini kau singgahi. Puluhan pasang mata akan melihat apa yang akan kau lakukan. Apakah kau akan membawa kursi dari luar? Atau, kau akan menyuruh salah satu mahasiswa mengambilkan kursi untukmu? Semua akan melihatnya. Besok!

Sembilan puluh menit berlalu. Dosen menutup perkuliah-kuliahan ini dengan tugas yang ditulisnya di papan tulis, dan ia pun berlalu. Maaf, bu dosen… Sejak tadi, aku tak mendengarkan apa yang kau ucapkan. Aku tak mau menyalahkan keadaan, karena sebenarnya kau tahu seperti apa ruangan ini. Kau juga tahu, ruangan ini tak layak untuk berproses. Hampir tiga tahun aku terpenjara dalam keadaan ini. Mengapa sampai sekarang tak ada perbaikan? Jika diperbaiki mungkinkah kau takut akan mubazir, karena tahun 2012 diperkirakan kiamat?! Sebaiknya, perbaiki keadaan ini dan lakukan yang terbaik sebelum kiamat benar-benar datang, Hahaha.

Jadi, jangan menuntut prestasi dari mahasiswamu sebelum kau pulihkan keadaan. Bukan mendramatisir keadaan. Tapi, ini nyata. Sosiologi hanya melihat yang nyata, ‘kan? Semoga kau melihatnya. Aku keluar ruangan. Aku berdiri di depan pintu ruangan itu. Kulihat ke atas pintu. Ruang 408. Mungkin di tempat lain masih banyak ruangan seperti 408, bahkan lebih parah.

***

Burung gereja bersiul. Sinar matahari menyelinap ke dalam kamarku melalui jendela yang tak tertutup rapat. Sinarnya tumpah tepat di wajahku, membuatku terbangun dari tidur panjang. “Ohg…,itu hanya mimpi,” pikirku. “Untunglah kampusku tak punya ruangan seperti itu,” gumamku. Hahaha...
 
Design by Pocket