Menulis (Cambuk) Perubahan

September 11, 2011

Berpikir merupakan tugas paling berat, yang mungkin menjadi alasan mengapa begitu sedikit yang mau berpikir. Demikianlah yang dikatakan oleh Sir Henri Ford.

Berkilbat pada kalimat di atas, saya dapat melihat salah satu penyebab mengapa seseorang malas berpikir. Kebanyakan dari mereka beranggapan bahwa berpikir itu sulit, dan sesuatu yang sulit itu lebih baik ditinggalkan daripada menimbulkan kerugian.

Melihat hal tersebut, dapat diketahui satu hal, yaitu mengapa sebagian peserta kuliah atau yang biasa disebut sebagai “mahasiswa” menganggap menulis karya ilmiah sama seperti mencemplungkan diri ke dalam “neraka”. Mereka menganggap menulis adalah sesuatu yang sulit, karena menguras otak -untuk berpikir-. Padahal sesungguhnya, menulis itu mudah. Banyak ide yang berhamburan jika kita benar-benar ingin menulis, kita tidak perlu berpikir panjang dan rumit sehingga dapat menimbulkan kesan bahwa menulis itu suatu hal yang menyeramkan seperti “neraka”. Menulis itu mudah, itulah kata kuncinya. Melalui pengalaman pribadi, pengalaman orang lain, pengamatan, survei atau penelitian, dan bahkan imajinasi serta mimpi, kita bisa menuangkan hal-hal tersebut ke dalam bentuk tulisan. 

Menulis merupakan salah satu wujud kontribusi. Melalui tulisan saya bisa leluasa mengungkapkan sesuatu sesuai sudut pandang pribadi dengan menggunakan kata-kata yang ada di pikiran saya.

Proses pengajaran sosiologi di jenjang SMA yang cenderung menjauhkan siswa dari kehidupan sosial mereka, merupakan salah satu bentuk metode pengajaran yang perlu dikritik dan dibenahi. Kritik-kritik tersebut dapat dituangkan melalui tulisan. Jika kita memiliki kemahiran dalam menulis, kita dapat berkontribusi terhadap segala hal, khususnya dalam bidang pendidikan, karena kita adalah orang-orang yang masuk ke dalam sistemnya.

Sejak SMA, siswa tidak diasah kemampuannya untuk melihat realita sosial di sekitar mereka, karena cara pembelajaran sosiologi -khususnya di SMA- lebih menekankan hapalan. Sehingga, terciptalah citra bahwa sosiologi sebagai ilmu hapalan. Hal ini menjadikan siswa hanya terfokus pada hapalan teori-teori saja, tapi tidak mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi wajar saja, jika generasi penerus bangsa menjadi kurang peka dan tidak kritis terhadap realita sosial. Mirisnya, pendidikan saat ini hanya sebagai penghasil produk-produk yang nantinya akan menjadi korban para pembuat kebijakan yang cenderung menguntungkan satu pihak saja.

Menulis karya ilmiah adalah salah satu upaya untuk menepis anggapan bahwa sosiologi sebagai ilmu hapalan. Teori-teori yang didapat dalam pembelajaran sosiologi dapat diimplementasikan dalam penulisan sebagai alat untuk menganalisis. Kita dapat melihat suatu realita sosial di sekitar kita dengan berkiblat pada teori-teori tersebut. Analisis yang kita gunakan memancing kita untuk bersikap kritis. Jadi dapat ditarik kesimpulan, bahwa menulis karya ilmiah dapat memproduksi insan-insan yang kritis.

Menjadi guru sekaligus penulis adalah suatu keistimewaan yang patut dibanggakan, mengingat saat ini banyak guru yang tidak berkompeten dalam bidang penulisan, terutama penulisan karya ilmiah.

Pahlawan tanpa tanda jasa, tampaknya predikat itu sudah mulai terlupakan dan tidak ada yang pantas untuk menyandangnya. Bagaimana tidak, saat ini segala sesuatunya sudah dikomersilkan. Guru-guru di Jakarta -khususnya PNS, bukan honorer- masih menuntut kesejahteraan yang menurut pandangan mereka kesejahteraan diukur dengan gaji. Padahal saya melihat, tingkat kesejahteraan mereka sudah cukup, dibandingkan dengan guru yang ada di daerah terpencil dan guru honorer. Kesejahteraan dijadikan salah satu alasan penaikan gaji guru, padahal kesejahteraan tidak harus selalu dikaitkan dengan tingkatan gaji mereka. Berdasarkan pengamatan saya, saat ini banyak guru yang sudah melupakan tugasnya sebagai seorang pendidik, lihat saja berbagai kasus kekerasan atau pelanggaran yang dilakukan oleh oknum guru. Hal semacam inilah yang mencoreng wajah pendidikan di negara kita. Soal keahlian, moral dan tugas sebagai seorang pendidik menjadi urusan belakangan. Tapi, soal kenaikan gaji guru tidak mau ketinggalan.

Mengapa mereka kehilangan ruh-ruhnya sebagai seorang pendidik? Apakah karena mereka terpenjara oleh sistem pendidikan? Ataukah karena mental mereka sebagai pendidik sudah tidak ada? Sebagai seorang yang berada dalam sistem pendidikan, hendaknya kita mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan sudut pandang masing-masing. Menurut saya, mereka terlalu dibuai oleh status sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang selalu diistimewakan dan dianggap keberadaannya, tanpa melihat kawan seperjuangan mereka -guru honorer dan guru yang berada di daerah terpencil- yang merasakan ketidakadilan, akibat ketidakmerataan gaji guru.

Melihat realita tersebut, bagi saja hanya menjadi seorang guru bukanlah hal yang membanggakan. Pengalaman sebagai peserta didik membuat saya tidak mau menjadi guru yang hanya sekedar mengajar. Tapi, saya mau menjadi seorang pendidik. Untuk mengembalikan citra guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, walaupun nantinya predikat tersebut tidak pernah saya sandang. Bagi saya hal itu bukan masalah.

Kebanggaan yang bisa saya rasakan, jika kelak menjadi seorang pendidik dan penulis bukan hanya sekedar impian. Mendidik melalui menulis dan tulisan merupakan suatu metode untuk membangitkan kreativitas siswa dalam berpikir dan menuangkan ide, serta dapat mengasah kepekaan mereka dalam melihat realita sosial. Jadi, saya tidak akan pernah bangga dan cukup hanya dengan menjadi seorang pendidik tanpa memiliki keahlian menulis. Karena bagi saya, menulis adalah cambuk perubahan.
 
Design by Pocket