PPL: Berani Beda

Agustus 25, 2010


Sudah beberapa minggu saya PPL di sebuah sekolah swasta yang cukup ternama di Jakarta. Banyak teman yang mengatakan jika PPL di sekolah ini sangat menyeramkan dan sulit, tapi saya tidak menghiraukan apa omongan orang. Bukannya saya belagu, tapi saya berpikir ini tantangan, tantangan yang tidak mudah. Kalau saya bisa melewati ini berarti saya bisa menghadapi tantangan yang mudah. Lagi pula, sudah sekitar setahun saya mengajar di sekolah ini, walaupun hanya menjadi pelatih ekstrakurikuler jurnalistik. Setiap saya datang saya pasti mengamati anak-anak yang bersekolah di sini. Dan, sejauh penglihatan saya, siswa-siswa di sekolah ini masih dapat dikategorikan baik ketimbang sekolah-sekolah yang pernah saya kunjungi.
Hari demi hari saya lalui. Mengajar dan piket -di sebuah sekolah yang tentunya memiliki aturan- menjadi rutinitas mendadak. Membosankan? Pasti. Tapi ketika saya sedang dilanda kebosanan selalu ada angin segar yang lumayan bisa mengukir senyum di wajah saya. Tuhan menitipkan angin segar itu kepada murid-murid –sebenarnya tak pantas saya menyebut mereka murid, tapi saya kesulitan mencari kata ganti- untuk ditiupkan pada saya.
Hahh…, anak-anak…
Saya jadi teringat ketika teman saya bercerita tentang pengalaman temannya yang pernah PPL di sekolah ini. Ceritanya itu tentang anak-anak di sekolah ini yang katanya sangat bandel dan menyebalkan. Lagi-lagi saya tidak menghiraukan itu karena semua tergantung pada diri kita sendiri, dan tidak semua anak-anak di sekolah ini seperti itu. Beda waktu, beda anak, beda pula karakteristiknya. Toh, nyatanya sampai hari ini perilaku murid-murid saya masih bisa dikatakan wajar, bahkan menurut saya mereka lucu dan unik.
Sulit atau tidak sebenarnya bukan tergantung pada karakteristik murid, tapi pada karakteristik diri kita. Sebagai seorang guru kita harus memiliki karakteristik. “Mau manjadi guru yang seperti apa saya?” pertanyaan itulah yang saya tanyakan pada diri saya sebelum mulai mangajar. Dan, saya memilih untuk menjadi guru yang tidak mencari wibawa, biarlah wibawa itu datang dan melekat pada diri saya dengan sendirinya.
Bagaimana menjadi guru yang tidak mencari wibawa (menurut saya)?
Ini yang saya lakukan. Saya tak pernah memasang wajah jutek ketika masuk ke dalam kelas. Saya juga tidak membuat aturan-aturan khusus di dalam kelas saat pelajaran berlangsung. Pertama saya masuk, saya tidak langsung mengenalkan diri, yang terpenting bagi saya murid tahu kalau saya sedang PPL dan mengajar Sosiologi. Melihat ekspresi mereka yang beragam, saya tak dapat menerka apa yang mereka pikirkan tentang mahasiswa yang sedang PPL ini. Yang pasti saya mengatakan, di kelas ini tak ada guru dan murid karena kita sama-sama belajar. Kita teman. Selain itu, di dalam kelas saya selalu tersenyum karena saya menginginkan suasana yang santai saat belajar. Saya pun membebaskan mereka untuk berpose apapun saat belajar, yang penting bagi saya mereka bisa menangkap apa yang saya sampaikan. Alhamdulillah…, murid-murid menerima saya dengan baik dan menghargai saya.
Mengapa saya membebaskan mereka dalam menentukan gaya belajar?
Karena, saya pun tak suka gaya belajar yang kaku. Bagi saya, belajar di dalam kelas itu sangat membosankan, maka dari itu sebisa mungkin saya menciptakan suasana belajar di dalam kelas menjadi menyenangkan. Selain itu, saya sering tidak menyukai guru yang senang mencari wibawa, itu membuat saya malas mendengarkan apa yang mereka sampaikan. Alhasil, saya jadi tak suka dengan pelajaran yang diberikan oleh guru-guru yang sok berwibawa itu. Bagi saya, guru yang mencari wibawa adalah guru yang suka menggurui.
Sekian dulu pengalaman yang saya dapat selama PPL. Nanti saya lanjutkan…
 
Design by Pocket