Tolong, beri judul tulisan ini!

Agustus 12, 2010

Saya bingung, dari mana saya akan memulai untuk menulis. Ya, sekarang saya tahu dari mana, saya memulainya dari kebingungan saya. Kebingungan itu bukan sesuatu yang buruk, kan? Jadi, saya kira Anda tidak keberatan jika saya memulai dengan kebingungan. Karena, bingung itu menandakan saya berpikir. Anda bingung memahami maksud saya? Itu artinya Anda sedang berpikir.
Saya bingung, kenapa dalam novelnya Sang Alkemis, Paulo Coelho mengatakan ”di mana hatimu berada, di situlah hartamu berada”. Saya benar-benar penasaran dengan novel tersebut, karena itu saya membaca novelnya. Setelah membaca, saya mulai memahami maksud kalimat itu.
Novel ini berkisah tentang seorang anak gembala yang berkelana untuk mengikuti petunjuk di dalam mimpinya. Dalam mimpi itu ia diberi tahu akan mendapatkan harta karun. Sebelumnya, ia merasa ragu untuk meneruskan perjalanannya, namun suara hatinya meyakinkan dirinya untuk berkelana mengejar mimpinya. Sang alkemis di sini adalah tokoh yang menuntun anak gembala itu menuju harta karunnya, serta mengajarinya tentang kegigihan, kesabaran, jiwa dunia, dan cinta. Dengan bekal keyakinan dari suara hati, akhirnya anak gembala itu mampu mendapatkan hartanya.
Penasaran? Baca saja novelnya. Maaf, saya tidak sedang membuat resensi novel Sang Alkemis. Di sini saya hanya iseng-iseng mangaitkan kalimat inti dari novel ini dengan realita yang ada di sekitar kita.
Saya ulangi lagi, ”di mana hatimu berada, di situlah hartamu berada”. Anehkah kalimat tersebut? Ya, aneh jika dikaitkan dengan kondisi saat ini yang terjadi di sekitar kita. Saya berpikir, mungkinkah orang-orang yang melakukan korupsi karena mengikuti suara hati? Mungkinkah mahasisa (Ups! Maaf, yang saya maksud MAHASISWA) yang mencontek karena mengikuti suara hati? Jika benar begitu, maka saya bisa menyimpulkan seperti ini, bagi koruptor harta mereka adalah uang. Sedangkan, bagi mahasiswa harta mereka adalah nilai, namun tidak semua yang beranggapan seperti itu.
Ya, saya tidak munafik jika uang dan nilai adalah harta yang penting. Saya ingin uang. Saya ingin nilai. Namun, apakah harus dengan cara-cara yang curang? Saya juga menghargai hak setiap orang untuk memperkaya diri mereka dengan harta. Namun, apakah harus dengan cara-cara yang curang? Jika cara curang dan kotor itu marupakan sebuah implementasi dari suara hati, saya berpikir, betapa kotornya hati orang-orang yang melakukan semua itu.
Saya tidak membicarakan masalah moral. Saya hanya ingin saya dan Anda sama-sama ”membuka mata”. Semua tindakan curang yang kita lakukan itu merugikan orang lain, bukan satu, dua, tiga orang, tapi banyak, sangat banyak. Bayangkan, uang siapa yang kita ambil. Apakah uang negara, uang orang tua, uang teman, ataukah uang lembaga di mana tempat kita bernaung?
Bayangkan pula, nilai-nilai yang terlampir di KHS kita merupakan hasil tengok kanan-kiri-bawah. Bagaimana perasaan orang tua jika mengetahui hal itu? Apakah kita tidak bisa peka untuk merasakan ketidakterimaan teman-teman yang mendapatkan nilai dengan kejujuran? Kita yang menyontek mendapat nilai bagus, sedangkan yang tidak menyontek nilainya tidak sebagus –atau lebih bagus- dari yang menyontek. Jika kita sedikit lebih peka, seharusnya kita menyadari apa yang mereka rasakan. Mereka geram. Saat melihat kita menyontek, sebenarnya mereka ingin sekali melaporkan. Tapi, atas nama pertemanan mareka mengurungkan niat itu. Sungguh klasik.
Dimanakah kegigihan yang memberi kekuatan untuk terus menggapai harta dengan cara yang jujur? Kemana hilangnya kesabaran yang seharusnya menjadi bekal dalam perjalanan menemukan harta? Adakah sedikit cinta untuk orang-orang yang kita curangi, jika memang ada, mengapa kita tega mencurangi mereka? Apakah dunia sudah tidak memiliki jiwa sehingga kita seperti manusia-manusia yang sakit jiwa? Bahkan, masih lebih baik orang yang sakit jiwa!
Lagi-lagi, saya bingung! Lebih baik mulai saat ini kita bercermin. Bagi para perempuan, keluarkan cermin kalian dari tas. Sedangkan para lelaki, berlarilah ke parkiran, bercerminlah di spion motor Anda. Bisa juga sebaliknya. Atau, di toilet-toilet yang menyediakan cermin. Jika tidak menemukan cermin, bercerminlah di rumah. Tidak. Bukan bercermin seperti itu yang saya maksud, melainkan intropeksi diri. Berhenti mendengar suara hati selama hati kita masih ”sakit”, perbanyaklah melihat sekitar dengan mata hati.
Mengapa kita harus mendengarkan suara hati kita? Sebab, di mana hatimu berada, di situlah hartamu berada. (Sang Alkemis, Paulo Coelho)

 
Design by Pocket