Diskriminasi, Sudah Tradisi?

Agustus 12, 2010

Membicarakan budaya tidak bisa terlepas dari pembahasan tentang perempuan. Karena, perempuan seringkali mendapatkan hambatan dalam memperoleh kebebasan di wilayah budaya. Ketika perempuan ingin memilih dalam hidupnya, selalu benturannya adalah budaya. Menurut budaya kita, perempuan itu harus begini, perempuan harus begitu.
Padahal, budaya merupakan konstruksi sosial, jadi sebagai sebuah konstruksi seharusnya hal tersebut dapat diubah. Perubahan dapat dilakukan karena budaya dapat berproses. Tidak masalah mengubah budaya, selama tidak melanggar prinsip-prinsip dasar budaya apa pun. Karena, pada dasarnya budaya itu mengedepankan kemerdekaan manusia. Maka, jika ada budaya yang tidak sesuai seharusnya dapat diubah. Namun tidak semudah itu, berbagai kendala selalu ada. Salah satu kendalanya yakni sikap dan pola pikir yang normatif pada masyarakat, khususnya perempuan.
Selama ini, perempuan selalu dituntut untuk menjaga budaya ketimurannya, dan kebanyakan perempuan sepakat dengan hal ini. Jelas tuntutan tersebut lebih menguntungkan kaum pria. Pasalnya, hanya perempuan yang selalu dituntut seperti itu, sedangkan laki-laki tidak. Misalnya dalam hal keperawanan, masyarakat lebih menuntut perempuan untuk selalu menjaga keperawanannya, sedangkan laki-laki tidak dituntut untuk menjaga keperjakaannya. Jika laki-laki mendapatkan perempuan yang tidak perawan, maka laki-laki itu dianggap ”apes”. Hal seperti itu merupakan konstruksi budaya yang harus diubah. Bagaimana jika laki-laki juga dituntut untuk mempertahankan keperjakaannya? Bukankah itu lebih adil?!
Bentuk konstruksi budaya lainnya adalah menentukan pasangan hidup. Dalam memilih pendamping hidup perempuan dianggap tidak mahir, karena lebih mementingkan perasaan daripada bibit, bebet, dan bobot calon pendamping hidupnya. Maka, biasanya ada intervensi dari orang tua atau keluarga dalam pemilihan pasangan.
Budaya cenderung menyepelekan perempuan dalam beberpa hal. Lihat saja dari kacamata adat istiadat Bali, laki-laki adalah penerus keturunan keluarga yang bertugas melanjutkan eksistensi keluarganya dalam tatanan sosial masyarakat Hindu di Bali. Laki-lakilah yang bertanggung jawab melakukan segala upacara adat dan upacara agama, juga sebagai pewaris harta benda. Oleh karena itu, anak laki-laki dianggap lebih penting daripada perempuan. Berangkat dari mindset budaya inilah yang melahirkan adanya diskriminasi gender di Bali.
Itu merupakan beberapa contoh konstruksi budaya tentang perempuan yang ada di masyarakat. Namun, budaya tidak selalu menjadikan perempuan sebagai objek, terkadang perempuan sendirilah yang berlaku demikian. Secara tak sadar, perempuan sendiri turut berpartisipasi dalam rangka penguatan budaya diskriminatif. Produk budaya harusnya menciptakan keseimbangan di dalam masyarakat. Budaya yang tidak sesuai harus dihapuskan. Jangan sampai budaya menjadi sebuah alasan untuk mempertahankan segala bentuk diskriminasi.
Mengapa tidak mengubah budaya yang menjadikan perempuan sebagai objek? Jika budaya yang diskriminatif dibiarkan, maka budaya tersebut akan berkembang dan makin memperburuk keadaan, tidak hanya keadaan perempuan, tapi juga laki-laki. Budaya adalah buatan manusia yang tidak mengandung kebenaran mutlak atau hakiki. Jadi, tidak perlu takut untuk melakukan perubahan. Jangan sampai muncul jargon ”Diskriminasi? Sudah tradisi...”.
 
Design by Pocket