Rendi Banci

Agustus 12, 2010

“Bu, kenapa orang-orang memanggilku banci?“ isak Randi sambil memeluk ibunya yang sedang berdiri merias wajah di depan cermin.
“Siapa yang mengatakan itu, Nak? Semua itu gak benar. Kamu leleki, bukan banci,” ucapnya lirih sambil meremas kedua tangan Rendi.
Rendi memeluk ibunya, ia merasa iba melihat mata ibunya berkaca-kaca. “Ibu baik-baik saja, kan? Ibu jangan menangis ya… Rendi sayang Ibu,” dilepaskanya pelukan dari tubuh sang ibu, lalu ia menciumi wajah sayu itu.
***
Tiga tahun sudah Rendi dan Tini –ibu Rendi- hidup di pinggiran kota Jakarta. Tini sudah menjadi janda sejak Rendi masih berusia tujuh bulan di dalam kandungan. Selama hidup menjanda Tini mati-matian mencari nafkah untuk menghidupi buah hatinya. Bambang –ayah Rendi- sama sekali tidak memerhatikan keadaan anaknya sejak masih dalam kandungan. Tapi Tini tak ambil pusing. Ia tak mau berharap pada mantan suaminya itu. Bahkan, Tini membiayai persalinannya sendiri saat melahirkan Rendi.
Saat Rendi lulus dari sekolah dasar, Tini mengajak anaknya ke Jakarta untuk mengadu nasib. Namun, rupanya takdir tak mengijinkan mereka untuk sedikit saja menghirup udara sejuk. Sesampainya di Jakarta Tini bimbang, ia tak tahu di mana harus tinggal. Tak ada sanak saudaranya yang tinggal di Jakarta. Rupanya sebelum berangkat Tini tidak memikirkan dengan masak rencananya untuk mengadu nasib di Ibu Kota.
Tangan kiri Tini menjinjing tas besar, sedangkan tangan kanannya menggandeng tangan Rendi. Tini tak tahu kemana ia akan pergi. Arah angin yang akan menuntunnya sampai ke sebuah persinggahan yang ia kehendaki.
Secara tak sengaja Tini menabrak seorang gadis berparas ayu di tepi jalan. Buku-buku yang dibawa gadis itupun berserakan di tanah. Mereka saling bertatapan.
“Ma… Maaf, Dik. Sa… Saya tidak sengaja,” ucap Tini dengan terbata-bata, kemudian ia memunguti buku-buku gadis itu.
“Tidak apa, Bu. Saya yang kurang hati-hati,” gadis itu segera membantu Tini.
“Ini…,” Tini menyerahkan sebagian buku-buku itu pada si gadis.
“Terima kasih ya… Hhmmm…, Ibu mau ke mana?” ujar gadis itu dengan logat sundanya.
“Saya tidak tahu mau ke mana. Saya baru datang.”
“Memang Ibu dari mana asalnya?”
“Saya dari Surabaya. Saya bingung mau tinggal di mana? Di sini tidak punya saudara.”
“Di dekat tempat tinggal saya ada kontrakan kosong, lumayan murah dibanding di tempat lain. Tidak jauh kok dari sini. Kalau Ibu mau, mari bareng saya.”
“Oya. Terima kasih ya. Adik dari mana? Kok bawa buku sebanyak itu?”
“Saya dari terminal itu. Setiap sore hari saya mengajar anak-anak jalanan,” jawabnya, sambil mengarahkan jari telunjuknya ke terminal tempat pertama Tini dan Rendi menginjakan kaki di Jakarta.
“Oh, Adik sekolah di mana? Oiya, namanya siapa? Nama saya Tini. Ini Rendi anak saya,” Tini menjabatkan tangannya dengan si gadis, kemudian disusul oleh Rendi. Senyum mereka terkembang.
“Saya Ani. Saya tidak sekolah. Setamat dari SMA saya tidak melanjutkan. Tidak ada biaya. Maklum, bapak hanya bekerja sebagai supir angkutan umum, sedangkan ibu berjualan kue basah di pasar yang tidak jauh dari terminal.”
“Kenapa tidak kerja?”
“Mencari pekerjaan di sini tidak semudah yang dibanyangkan oleh kebanyakan orang. Sarjana saja banyak yang menganggur. Kalau melamar kerja harus pake duit juga. Dari pada nganggur, saya bantu ibu berdagang di pasar, sorenya saya mengajar.”
“Owh…, pekerjaan yang mulia.”
Mereka berjalan menyusuri gang-gang kecil. Di sisi kanan dan kirinya terdapat rumah-rumah kumuh. Semua mata memandang Tini dan Rendi dengan sorot penuh kecurigaan. Tak terasa mereka sampai di kontrakan mungil yang menjadi tempat tinggal Ani dan keluarganya. Tepat di sebelahnya terdapat kontrakan kosong.
“Ani, ini kontrakan yang kamu maksud?” tanya Tini sambil menolehkan kepalanya ke arah kontrakan kosong itu.
“Iya. Anda bersedia tinggal di sini? Jika iya, mari saya antar anda ke rumah pak RT, pemilik kontrakan ini, sekaligus lapor diri.”
“Iya.”
Akhirnya, Tini dan Rendi mendapat tempat tinggal. Tapi Tini merasa gelisah. Ia memikirkan sikap masyarakat sekitar yang memandangnya dengan aneh. Tini menyadari, ia dan anaknya hanya orang asing, kehadiranya bagaikan hantu di siang hari. Kecurigaan yang manyelimuti lingkungannya dirasa hal yang wajar. Perempuan setengah baya, membawa seorang anak tanpa di dampingi seorang suami memang pemandangan yang menuai kecurigaan.
***
“Rendi banci…! Rendi banci…! Rendi banci…!” ejek beberapa teman Rendi.
Rendi hanya diam. Wajahnya yang ayu seketika berubah menjadi sendu. Tak ada yang bisa ia katakana saat teman-teman mengejeknya. Mungkin Rendi lelah. Atau Rendi merasa dirinya memang seorang banci. Rendi hanya bisa menahan air mata di ujung matanya. Ia sudah terbiasa berada di posisi ini. Bahkan tak ada sedikitpun dendam yang terselip di hatinya.
“Hei, kalian!!! Pergi sana! Jangan ganggu Rendi!” suara Adi dari balik kerumunan. “Kau tak apa, Rendi?” ia menghampiri tubuh ramping itu yang berdiri di ujung gang.
“…” Rendi tak mengeluarkan sepatah katapun. Ia berlari meninggalkan Adi sendiri.
“Rendi…, jangan pergi!” pinta Adi dengan nada yang lirih. Adi terpaku.
Adi meninggalkan tempat itu. Ia jalan menyusuri gang. Pikirannya menerawang jauh. Ia tak habis pikir, mengapa Rendi selalu menjauh darinya. Selama tiga tahun Rendi tinggal di lingkungannya, tak pernah sekalipun mereka bertegur sapa. Rendi selalu memalingkan wajah saat berpapasan dengan Adi. Padahal, setiap kali ada yang mengejek Rendi, Adi selalu hadir sebagai pahlawan.
“Hei Tini, bilang sama anakmu. Jangan dekat-dekat dengan anakku. Aku tidak suka, Adi tertular tingkahnya yang aneh itu!” hardik Tati –ibunya Adi- dengan mata mendelik.
“Iya… Maafkan anak saya, Bu.”
“Heh, denger ya! Anakku tidak pantas bergaul dengan anak seorang tukang sayur yang hidupnya di pasar terus. Bisa-bisa anakku bau pasar. Ingat itu!”
“Iya, Bu…” sahut Tini sekenanya. Matanya berkaca-kaca. Lalu, tangisnya pecah.
“Tidak becus mendidik anak. Lelaki kok tingkahnya seperti perempuan,” gumamnya sambil berlalu meninggalkan lapak dagangan Tini.
“Sudah, Bu. Jangan dihiraukan. Dia memang angkuh,” ujar Ani mencoba menenangkan hati Tini dan membawanya ke lapak dagangan Ani, supaya tak menjadi tontonan orang-orang di pasar. Sementara itu, lapak dagangan Tini di tutup.
Semua orang di pasar memandang Tini dengan berbagai makna.
***
Prrakkk… Tamparan keras mendarat di pipi Rendi. Meleleh air matanya. “I… Ibu… Apa salahku, Bu?”
Ibunya mengerang. “Dari mana kamu? Ini jam Sembilan malam, Rendi! Kenapa baru pulang?! Sudah Berapa kali Ibu katakana, jangan bermain dengan Adi! Kamu ini sudah banyak menyusahkan hidup Ibu. Tapi kamu tidak pernah peduli dengan ucapan Ibu. Mau jadi apa kamu, Ren. Dasar anak tak tau diuntung. Kamu bikin malu Ibu!”
“Tapi aku…”
Prrakkk… Tamparan memotong kalimat Rendi. Luka hati Rendi. Terlalu sakit baginya. Rendi tak bergeming. Tubuh rampingnya melemas, wajah ayunya memerah karena tamparan, dan matanya meneteskan butiran-butiran air mata yang entah di mana akan bermuara. Rendi berlari ke luar rumah, menjauh dari ibunya.
“Dasar anak kurang ajar. Kembali kamu. Ibu belum selesai bicara denganmu!” teriak Tini.
Namun, Rendi tak menggubrisnya. Ia terus berlari. Sementara itu Ani mengejarnya.
“Rendi, tunggu aku. Kembalilah! Bicara denganku! Jangan pergi. Ini sudah malam,” teriak Ani dengan nafas yang tidak teratur.
Rendi berlari kencang sekali, menuju stasiun kereta api yang tak jauh dari terminal. Rendi hilang dalam kegelapan. Jejaknya menghilang. Ani gagal menangkapnya.
***
Tangan hangat nan mungil mencengkram bahu Rendi. Lalu disusul dengan suara halus seorang pria. “Kamu kenapa, Ren?”
Rendi tersentak ketika ia menolehkan kepalanya ke belakang. Adi. Mata Rendi terbelalak. Tubuhnya kaku. Tangisnya semakin menjadi. Pikirannya berkecamuk. “Ini semua karena kamu. Karena ibumu! Menjauh kamu dar…” tubuh hanyat mendekap Rendi. Adi memeluk Rendi.
“Sejak dulu, aku ingin sekali berada di dekatmu…” lirih suara Adi berhembus di telinga Rendi. “Seperti ini. Dekat. Dekat sekali,” semakin erat tubuh Adi memeluk Rendi.
Rendi terhanyut. Ia merasakan kehangatan yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya. Rendi mengatupkan kedua matanya. Ia membawa dirinya jauh, jauh, sangat jauh, sampai ia tersesat dalam kenikmatan.
“Hei, banci! Kamari kau! Bayar hutang bapakmu sekarang juga,” kata seorang lelaki separu baya yang memiliki tubuh tinggi dan kekar.
Adi dan Rendi tersentak. Secara spontan mereka saling berjauhan dan langsung memerhatikan lelaki yang sedang mabuk itu.
“Ayah!” Teriak Adi.
“Diam kau! Jangan ikut campur!” gertaknya sambil mendorong tubuh Adi hingga terkapar di tanah dan pingsan.
“Apa salahku padamu? Siapa kau? Mengapa kau sebut-sebut bapakku?!”
“Dulu, bapakmu merebut kekasihku. Tince milikku. Tapi bapakmu merampasnya.”
“Siapa Tince? Aku tidak mengenalnya!”
“Bagaimana kau bisa mengenalnya. Kau saja tidak mengenal siapa bapakmu! Bapakmu itu lelaki bajingan. Bapakmu tega meninggalkan ibumu yang sedang hamil hanya demi seorang Tince. Dan, Tince itu sama sepertimu. Tince banci.”
“Bagaimana kau dapat mengenal bapakku? Kau pembohong!”
“Hahahahaha…, bapakmu bekas pegawai di kantorku. Dia dipecat karena tidak pernah menyelesaikan pekerjaannya dengan baik semenjak kenal dengan Tince itu. Bapakmu punya kelainan seksual. Hahahaha…!”
“Apa yang kau mau dariku?”
“Mendekatlah padaku. Layani aku, Manis…!”
“Tidak!” Rendi berteriak sambil melangkah mundur, menjauh dari Pria Mabuk itu. Kemudian ia membalikan badan dan berlari sekencang-kencangnya.
Pria itu mengejarnya. Adi tersadar. “Ayah, jangan sakiti dia!” teriak Adi yang melangkah terseok-seok mencoba menghampiri Ayahnya.
Ngung… Ngung… Ngung… kereta api itu berlalu. Meninggalkan tubuh Rendi yang hancur lebur. Pria itu menghilang tiba-tiba. Sementara itu, Adi meratap dari balik pohon beringin yang berada tak jauh dari rel kereta api. Ia melihat jelas ketika tubuh Adi tergilas kereta api. Air mata Adi bercucuran. Tubuhnya lemas, terkapar di tanah. Tangisnya meradang. Ia tak mampu melihat gumpalan daging Rendi berceceran.
“Rendi mati…! Rendi mati…! Rendi banci mati, tertabrak kereta api!!!” teriak seorang warga.
Teriakan itu membuat segerombol orang datang menghampiri tubuh Rendi banci yang sudah tak menyatu lagi. Kerumunan orang itu menambah pilu hati Adi. Ia tak rela tubuh Rendi dijadikan tontonan.
***
Rendi banci jadi kunti! Rendi banci jadi kunti!
Begitulah berita yang tersebar. Kehilangan suami dan anak semata wayang membuat Tini goyah. Dirinya tidak setegar dulu. Semangatnya telah hialng seiring dengan kepergian Sang Buah Hati. Belum lagi, ditambah berita buruk seputar kematian Rendi yang disebarkan oleh Tati. Tati sungguh jahat. Orang sudah mati masih dijahati. Tini semakin hancur. Dan akhirnya, ia memilih mati. Tini mati gantung diri.
Tini jadi kunti…! Tini jadi kunti…! Hati-hati…!
“Hei, Adi. Sedang apa kamu? Pagi-pagi sudah di sini. Cepat pulang. Untuk apa kamu menatap rumah Si Rendi banci. Hati-hati Rendi banci dan Si Tini jadi kunti! Kamu cepat pulang,” ujar Tati sambil menarik Adi masuk ke dalam rumah.
“Kenapa Ibu bilang Rendi jadi kunti. Baru dua hari Rendi Meninggal, Ibu sudah menyebar berita yang tidak baik. Ibu juga menyebarkan berita yang sama tentang ibunya Rendi, padahal baru sehari dia pergi. Apa salah mereka, Bu?”
“Hei, kamu sudah berani menggurui Ibu ya! Dasar anak tidak tahu sopan santun.”
“Ibu jahat!” Adi menghempaskan tangan Tati yang sejak tadi mencengkram lengannya. Adi ke luar dari rumah. Tiba-tiba Bomo –ayah Adi- menghadang di depan pintu pagar.
“Ayah, lihat anakmu! Sudah bisa melawan!” hardik Tati.
“Ini pasti gara-gara Si Banci itu, kan?! Ayo, katakan padaku, ada hubungan apa kau dengannya?” selidik Bomo.
“Kenapa kalian masih menyalahkan Rendi, padahal dia sudah meninggal. Kalian jahat!” Adi menangis.
Tati mencengkram bahu Adi. Tatapnya yang tajam menusuk mata Adi yang basah. “Katakan padaku yang sesungguhnya?”
“A… Aku… Aku mencintai Rendi!” teriak Adi.
Prak… Tamparan mengiringi pernyataan Adi yang mencengangkan Ibunya.
“Ibu dan Ayahmu mendidikmu dengan baik, tapi apa hasilnya?! Kamu santri, Nak! Kamu lelaki, bukan banci seperti Rendi. Ibu dan Ayahmu haji. Kita dari kalangan priayi. Kamu tak pantas seperti ini,” Tati naik titam.
“Ibu dan Ayah memang haji. Tapi kalian tak lebih baik dari Rendi. Di dalam diri kalian mewabah penyakit hati. Iri. Dengki. Kalian tak pantas menyandang title ‘Haji’, kalian jahat. Ja…”
Tati melepaskan cengkramannya dari kedua bahu Adi. Prak… Tangan lembut Tati mendarat di pipi mulus Adi.
“Ayah pemabuk. Rendi tertabrak kereta api karena Ayah. Ayah ingin mencabuli Rendi. Rendi berlari. Dan akhirnya tertabrak kereta api. Semua ini karena Ayah!”
Bruk… Tubuh Adi terkapar di tanah. Tati mendorongnya terlalu keras. Ada darah yang mengalir dari kepala Adi. Kepalanya membentur batu besar. Tati menghampiri tubuh yang tak bergerak itu. Menatapnya. “Adi… Adi… Adi… Adi anakku bangun, Sayang…” Adi terbujur kaku. Tati menjerit histeris. Sedangkan Bomo terpaku di bibir pintu pagar rumahnya. Tanpa mereka sadari sekerumunan warga menyaksikan adegan dramatis itu. Beberapa warga meraih lengan Bomo dan langsung membawanya ke kantor polisi. Bomo pasrah.
***
Tati kehilangan suami dan anaknya. Tati stress… Tati gila…
“Rasakan! Kena karmanya kamu!” gumam Ana yang tak sengaja lewat depan rumah Tati.
SELESAI…

Cerpen ini terinspirasi dari seorang bocah bernama Rendi yang dulu pernah tinggal di dekat rumah saya.
 
Design by Pocket