Tandus*

Agustus 21, 2010



Aku hanya seorang perempuan biasa saja. Tak pantas dibanggakan, karena tak ada yang bisa dibanggakan dari diriku. Maka aku tak berharap seseorang akan melakukan sesuatu yang lebih untuk mendapatkanku.
Tapi…
Kamu hadir dalam hidupku. Tanpa kumau. Tanpa kuundang. Dan tanpa kuduga sebelumnya. Rasanya masih seperti mimpi. Aku pernah melihatmu dalam khayalku. Kamu hadir membawa sejuta mimpi dan harap. Aku bertemu denganmu di dalam kesendirianku. Sosokmu yang berada di antara dunia imajinasi dan nyataku makin merajadi-jadi. Aku tak mampu menguasai pikiranku saat berada di hadapanmu, tapi sikapku selalu menolongku, menyeimbangkan situasi dalam diriku. Aku tak mau kamu tahu bahwa aku menyukaimu. Aku tak mau menjalin hubungan denganmu, karena aku tahu semua ini hanya mimpi yang sama sekali tak akan pernah bersentuhan dengan kenyataan. Sakit. Sudah pasti rasa itu kumiliki selama menyimpan rahasia ini.
Sempat aku berpikir, aku mampu mengalahkan perasaanku. Mengubur sosokmu. Tapi nyatanya tidak. Tidak semudah itu. Secara cepat kamu masuk dalam kehidupanku. Kamu tak perlu mengetuk, karena sudah kubukakan pintu. “Selamat datang,” gumamku.
Suatu ketika…
Aku berjalan menyusuri siang, panas yang seakan memusuhiku, menyergap, melumuri dan membalut tubuhku dengan teriknya mentari dan tebalnya debu. Wahai sang penguasa siang, redupkanlah sinarmu yang menusuk-nusuk tubuh, nalar, dan hatiku. Wahai sang penguasa siang, bawalah debu itu dengan anginmu yang berlalu kemana dia mau, asal jangan padaku. Aku sudah lelah dengan hari-hariku, jangan kau bebani aku lagi dengan segala atribut kekuasaanmu. Aku sudah lelah. Sungguh lelah. Amat lelah. Aku lelah….
Aku merangkak melalui semua ini, agar aku tak tersandung dan akhirnya terjatuh. Ampuni aku penguasa siang, ampuni aku atas apa yang tak kulakukan, atas apa yang tak pernah kuperbuat padamu. Ampuni aku.
Aku bersujud. Lihatlah penguasa siang, lihatlah…! Aku bersujud!!! Jawab aku dan lihat aku wahai penguasa siang. Apa salahku padamu? Apa?! Aku tak mengerti sungguh tak mengerti?! Kau yang membuatku menderita dengan atribut kekuasaanmu, kau yang memusuhiku, kau yang membuatku lelah dengan semua ini. Tapi kenapa harus aku yang mamohon ampun padamu? Bukankah, seharusnya kau yang memohon ampun padaku? Dan, kenapa malah kau yang mengabaikan aku? Bukankah, seharusnya aku yang berlaku demikian terhadapmu?!
Apa maumu aku tak mengerti. Apa salahku?! Tidak… tidak… tidak… tak usah kau jawab pertanyaanku. Karena aku tak akan mengerti dengan semua itu. Kau terlalu besar bagiku. Kau terlalu, sungguh terlalu berarti bagi hidup.
Mungkin kau marah karena aku masuk ke dalam kekuasaanmu. Tapi, tapi bukan itu. Bukan aku yang salah. Kau. Ya, kau. Kaulah yang salah. Kau yang menarikku untuk masuk dalam kehidupanmu. Dan, seharusnya kau tak berhak untuk menghakimiku. Aku TAK BERSALAH!!!
Penguasa siang, aku ingin bertemu denganmu, menatap matamu dan bicara padamu. Aku hanya ingin mencurahkan segala beban yang selalu membuntutiku. Tapi mengapa kau begitu angkuh padaku?! Padahal beban itu muncul karenamu, karena salahmu. Aku ingin menghakimimu. Aku ingin menunjukkan jariku ke arah wajahmu, tepat di depan hidungmu.
Ah, sudahlah. Rasanya percuma menghakimimu. Menudingmu atas segala yang kualami. Harus aku akui, aku masih membutuhkanmu. Yang aku sesalkan, dulu kau bintang, kenapa sekarang kau malah menjadi matahari. Aku belum bisa menerima itu.
Ketika suatu…
Rasa pahit menguasa. Tak ingin kulalui rasa seperti ini. Kuingin kau tetap bersamaku apapun keadaannya. Seperti yang pernah kau katakan. Karena yang kutau, sebelum bahkan sesudahnya aku tak menginginkan kau hadir dalam hidupku. Tapi semua terjadi bukan seperti yang kutau. Dan, ini semua karena kau jua. Maaf, aku menyalahkanmu. Dan, aku ingin kau yang bertangguang jawab atas hilangnya satu jiwa yang utuh, yang telah kuberikan padamu.
Kini matahari muncul dimalam hari. Aku melihatnya dengan hatiku yang telah hancur. Aku merasakan sengatan teriknya. Yang seakan membakar seluruh tubuhku. Tapi tidak jiwaku. Karena aku telah memberikannya padamu. Semoga kau tak lupa.
Tak ada lagi yang bisa kulakukan. Titik sudah mengakhiri semuanya. Tentunya bukan titik yang berhenti di persinggahan yang  kuinginkan. Namun, titik yang dihentikan di sebuah tempat yang dinamai ujung, oleh mahluk bernama lelaki.
Ya, lelaki. Dia telah memparsembahkan sebuah ujung untukku. Sebuah kepongahan yang mungkin akan terus kutemui. Yang tak kumengerti, mengapa titik harus selalu ada di ujung. Sedangkan ujung tak selalu membutuhkan titik. Kau.
Untuk kamu, lelaki yang pernah kuteguk kasih sayangnya, yang entah benar atau tidak. Tolong berikan satu arti padaku, apa yang kau sebut dengan ‘sayang’ dan ‘cinta’ itu?
Untuk yang terakhir kali. Aku minta, jaga jiwa yang telah kuberikan padamu. Ingat, aku memberikannya padamu. Ingat, jiwa itu bukan titipan yang sewaktu-waktu bisa kuambil kembali. Tidak. Tidak seperti itu. Kau yang bertanggung jawab atas jiwa itu.

*Inspirasi dari curhatan temen :)


 
Design by Pocket