Cerita Kabar Buruk PPL

Agustus 12, 2010

Saya bingung! Sungguh. Semua menjadi serba salah.
Katanya mahasiswa harus bisa mendiri, baik dalam berpikir maupun bertindak. Melakukan apapun tanpa bergantung pada pihak lain. Ada beberapa dosen yang sepakat dengan hal ini, ada juga yang tidak. Katanya juga, mahasiswa harus menjaga nama baik kampusnya. Tapi nyatanya, mahasiswa yang dibuat malu oleh kampusnya.

Gak percaya? Nih, faktanya!
Di tengah semaraknya piala dunia 2010 dan nikmatnya liburan, kami –mahasiswa sosiologi UNJ- dikagetkan dengan berita tentang PPL.
Jadi gini...
Pada awal semester 6 kami diminta oleh seorang dosen mencari sekolah untuk PPL. Nah, seperti biasa, mahasiswa kalo disuruh dosen pasti nurut2 aja kan. Apalagi itu juga demi kebaikan bersama. Maka, dengan dikeluarkannya perintah dari dosen tersebut, kami langsung cabut nyari sekolah untuk PPL. Alhamdulillah…, kami diterima di sekolah yang kami datangi. Perjuangan berdarah-darah membuahkan hasil. Kami PPL di sekolah yang kami pilih. Tau kan PPL apa? PRAKTEK PENGALAMAN LAPANGAN.
Hari demi hari berlalu… Kami mengisinya dengan tawa dan airmata (lebay). Gajah mati meningglakan gading, manusia mati meninggalkan nama (gak ada kaitannya ama cerita ini). Di sela-sela kesibukan kami mengisi liburan, kami digoncang kabar tak ramah. Apakah kabar itu?
Yap, masih tentang PPL. Jadi, setelah kami bersusah payah mencari sekolah dan membentuk kelompok PPL, ternyata UNIT PPL-lah yang menentukan kelompok PPL dan SEKOLAHNYA. Ya, berarti kelompok yang udah kami buat diubah lagi, dan sekolah yang udah menerima kami ya……………………….. gimana ya………….. bingung juga nih penulis!
Kenapa bisa begini?
Karena, katanya dosen yang nyuruh kami itu hanya berinisiatif. Inisiatifnya bagus, saya suka! Daripada kami manunggu lama kabar dari UNIT PPL tentang pembagian kelompok dan sekolah, keburu ompong. PPL kan gak sekedar dateng terus ngajar. Kita juga butuh PDKT dengan pihak sekolah, kita harus mengenal budaya sekolah, karakteristik pemimpin sekolah itu, guru pamong, dan siswa di sana. Untuk hal-hal semacam itu gak butuh waktu yang sebentar. Sebulan aja rasanya gak cukup! Ya kan temen2… (cie………. temennnnnnnnnnnnn)

Inisiatif dosen tersebut saya acungi jempol!!!
Nah, unit PPL menerapkan aturan tersebut karena KATANYA banyak sekolah yang complain ke kampus perihal PPL. Sekolah membatasi jumlah mahasiswa yang PPL di tempatnya. Tujuan UNIT PPL sih baik, untuk mengorganisir supaya semua berjalan dengan lancer tanpa masalah.
Tapi, alasan itu kurang bisa saya terima. Kami sudah diterima di sekolah, itu artinya pihak sekolah tidak keberatan jika kami PPL di tempat mereka. Kalau emang pihak sekolah keberatan, pasti mereka akan menolak kami. Logikanya begitu, kan?
Lalu, bagaimana selanjutnya?
Katanya niy, hari selasa temen2 pada ngumpul dan ngbahas masalah tersebut (saya gak dikasih tau. hiks). Tentu saja dihadiri oleh kajur (bu evi) dan pak ubed (dosen ganteng).

Lupakan.

Dalam pertemuan tersebut dibahas…………gbufwriauov ocohihguierhgiu gtyuoguighfk ggkjhhj…
Yah, begitulah pembahasannya (saya gak ikut, jadi gak banyak tau). Tapi barusan saya ngobrol ama udin (mahasiswa ideal versi jurusan) lewat FB. Dia menceritakan pengalamannya ngobrol bareng bu evi dan pak ubed. Jadi, sedikit banyak saya udah tau.

Dampak yang ditimbulakan dari permasalah ini?
1. Instansi MALU. Kami MALU. Pasalnya, kami sudah diterima oleh sekolah yang kami datangi. Kalau kami gak jadi PPL di sana nanti mereka nganggapnya kami “main-main”. MAHASISWA SOSIOLOGI UNJ TERNYATA HANYA MAIN-MAIN. TAHUN DEPAN PIKIR2 KALO MAU NERIMA MAHASISWA UNJ.
2. Dampak psikologis bagi mahasiswa (lebay gak sih?). Mahasiswa menjadi murung, seding, bingung, bimbang, dan lebay (seperti saya).
3. Yang paling dirugikan adalah mahasiswa. Ada beberapa mahasiwa yg membuat seragam untuk PPL, seragam tersebut adalah salah satu syarat supaya dapat PPL di sekolah yang mereka pilih. Selain itu, EMANG KELILING NYARI SEKOLAHAN KAGAK PAKE ONGKOS APA?!!! NGORBANIN KULIAH JUGA. AMPE PADA BOLOS2…
4. Jika kami PPL di tempat yang budaya dan karakteristiknya belum kami kenal, maka tak ayal hal tersebut akan menimbulkan masalah-masalah pada saat pelaksanaan. Misalnya: jgfuiwgrugfasebfjkqgauirgfawo4hfjsbjrfhueorgfehrfhwrlhgfue (kacau kan kalo begitu).
5. Mahasiswa merasa tidak dihargai usahanya dan kemandiriannya untuk mancari sekolah, dan untuk manentukan pilihan. Hal ini pada akhirnya akan memunculkan rasa kesal dan marah.

Yang saya khawatirkan (semoga tidak terjadi)…
Bismillah… semoga tidak terjadi.
Pemilihan kelompok dan sekolah didasarkan pada IPK. Jadi yang IPK-nya rendah ditempatkan di sekolah yang “ecek2” dan yang IPK-nya tinggi di tempatkan di sekolah yang “bagus”. Padalah kemampuan seseorang gak bisa diukur dengan IPK, kan?
INI PRASANGAKA BURUK SAYA PRIBADI, LHO!
Harapan

Kebijakan UNIT PPL yang merugikan berbagai pihak ini ditinjau ulang. Jangan sampai membuat malu banyak pihak! Jangan sampai terukir sejarah yang memalukan institusi ini. Mahasiswa berusaha menjaga nama baik kampus, eh malah kampus yang bikin malu mahasiswa dan institusinya sendiri. MASA’ KAMPUS BIKIN MALU MAHASISWA. Kanyaknya harus dibuat jargon baru nih…. “kampus harus menjaga nama baik mahasiswanya”.
Kalo diibaratin pake lagu begini:
Kau bunuh hatiku……..
Saat ku bernapas untukmu…………
Kau kebanggaan aku…………
Yang tega menipuku………….
(ada yang tau ni lagu siapa?)
Semoga apa yang saya khawatirkan tidak terjadi.
Tulisan ini dibuat pada 22 Juni 2010. Nah, sekarang masalah ini udah selesai. Akhirnya, unit PPL menarik kembali kebijakan yang merugikan tersebut. Kami pun dapat PPL di sekolah yang kami pilih. Alhamdulillah...
 
Design by Pocket