Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta

Agustus 12, 2010



Penerbit : Media Abadi
Tebal Buku : 368 Halaman
Tahun Terbit : September 2004

Membaca itu ilham, menulis itu ilham, dan ilham itu ada kerena pembiasaan. Dengan kemampuan itu manusia diharapkan dapat melahirkan penciptaan. Membaca merupakan salah satu usaha untuk mengetahui dan mengerti isi suatu tulisan, sedangkan menulis merupakan salah satu bentuk dari pengabadian hasil karya manusia lewat kata-kata yang ditulis.
Dalam buku "Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta" Muhidin dengan jelas menceritakan pengalaman hidupnya, mulai dari seorang Muhidin yang benci membaca dan menulis sampai ia memiliki minat pada buku dan menulis, sehingga baginya dunia buku adalah dunia pelarian dan menulis adalah ritual dalam kehidupan malamnya.
Muhidin tinggal di lingkungan yang tidak sesuai dengan kepribadiannya, dan ia memilih mengasingkan dirinya. Dalam keterasingannya ia merasa jenuh dan akhirnya ia bergabung ke dalam organisasi di sekolahnya yang bernama PII (Pelajar Islam Indonesia). Di sana ia banyak belajar, ia mulai kritis dan tergila-gila dengan buku, buku yang menjadi bacaan favoritnya adalah buku-buku ideologi. Dari sini jelas terlihat bahwa buku pun bisa dijadikan dunia pelarian bagi orang-orang yang hidupnya terasing. Dari buku ia belajar menangkap sesuatu yang bersemayam di alam pikiran, dan menuangkannya dalam bentuk tulisannya.
Di tengah kejenuhannya membaca buku-buku ideologi, ia membaca novel San Pek Eng Tay yang membawanya sangat terlarut. Baginya membaca novel memabukkan dan bisa melupakan seseorang dalam lingkungannya. Juga derita yang disandangnya. Dari sana ia menemukan aktivitas baru. Melarikan diri dari dunia yang serba suram dan serba tidak menggembirakan. Dunia ini penuh dengan cerita, ironi dan logikanya sendiri-sendiri yang tak bekerja statis dan lurus. Menurut Muhidin, membaca novel dapat menghilangkan kejenuhan dan kegalauan.
Muhidin bekerja di Majalah Kampus IKIP Yogyakarta. Di sana ia serius belajar menulis. Di sana pula ia mulai mengetahui bahwa dunia penerbitan tidak seperti yang ia bayangkan. Banyak dilema yang ia hadapi selama bekerja di Majalah Kampus. Dari sekian banyak dilema yang ia hadapi, ada satu permasalahan yang membuatnya terlempar dari Majalah Kampus yaitu Cut Genaration. Semua pengurus Majalah Kampus resmi berakhir sampai di sini.
Di sela-sela “pengangguran” setelah dilepas paksa dari Majalah Kampus, ia mengikuti beberapa sayembara artikel di rubrik opini Koran. Tulisanya selalu ditolak. Namun, itu tidak membuatnya putus asa. Setelah banyak mengirimkan tulisannya, akhirnya koran Kompas memuat tulisannya. Melalui kejadian itu ia belajar mengasah kesabaran.
Bengkel Penerbitan, di sana Muhidin berlabuh. Sebuah penerbitan yang baru dua tahun berdiri, sebuah penerbitan yang serampangan dan melahirkan buku yang memprihatinkan. Ia bekerja di sana bukan karena kemauannya, tapi karena diminta. Di sana ia mendapati banyak konflik. Penerbitan itu membajak buku-buku pengarang besar. Dan, uang jatah dua persen dari setiap buku yang semestinya disumbangkan kepada Yayasan Pengarang Besar justru dikorupsi oleh orang yang dipercayakan untuk mencetak dan mandistribusikan buku-buku pengarang besar, Arkazh Kahin. Seminggu setelah kasus korupsi itu tebongkar, Muhidin mengundurkan diri. Jobless, jalan itu yang ia pilih.
Dalam bukunya Muhidin juga bercerita tentang pengalaman cintanya. Baginya cinta adalah “kita dan kebersamaan”. Dengan cinta orang bisa berdialog. Alhasil, cintalah yang sesungguhnya melandasi semua lingkar perdamaian. Berdasarkan pengalaman yang ia alami dan dari buku-buku yang pernah dibacanya, cinta itu berliku, sakit, dan tak kepalang deritanya. Ada ketulusan sekaligus tumbal pengorbanan yang sungguh berat, dan cinta sejati adalah mereka yang sanggup membakar egonya. Setiap makhluk yang pernah melewati fase kehidupan dilahirkan pasti melewati tahapan cinta. Tidak ada yang membantah pendapat dan kenyataan ini.
Buku ini sangat menarik karena selain penulis menceritakan pengalaman hidupnya yang menarik, ia juga berusaha mengajak dan membujuk kita untuk melakukan pembiasaan dalam membaca dan menulis. Bahasa yang digunakan pun tidak terlalu baku sehingga terkesan buku ini bacaan yang ringan. Dari buku ini terdapat pesan yang ditinggalkan oleh penulis, bahwa kita harus menanam harapan, karena manusia tanpa harapan sama seperti mayat berjalan.
Menulislah. Selama engkau tidak menulis, engkau aka hilang dari dalam masyarakat dan dari pusaran sejarah. Scripta Manent Verba Volant “yang tertulis akan tetap mengabdi, yang terucap akan berlalu bersama angin”.
 
Design by Pocket