Wina: Semua untuk Ibu

Agustus 24, 2010


Sosoknya sama sekali jauh dari kesan mewah, setidaknya dalam pengertian cara ia berpenampilan. Hampir dalam setiap kegiatannya, ia terlihat sangat sederhana dengan kemeja lengan panjang tanpa corak, rok yang menjuntai sampai menutupi mata kaki dan jilbab yang selalu setia membungkus kepalanya sampai menutupi dada. Cara berbicara santun, serius, dan terkadang terselip canda yang tak berlebihan. Namun, di tengah itu semua, ia sering dianggap sebagai sosok yang misterius, karena ia jarang berbaur dengan lingkungan sekitar. Wina, begitu ia dipanggil. Perempuan berdarah Palembang ini bernama lengkap Wina Wananingsih. Perempuan yang lahir pada 10 Desember 1987 ini merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

Tanpa Bapak

Wina mengingat saat pertama kali ia datang ke Jakarta, saat itu ia berusia lima tahun. Ia menempati rumah yang disewa bapak dengan uang pesangon dari tempat kerja di Palembang. Seminggu di Jakarta bapak belum mendapat pekerjaan. Tidak lama setelah itu, seorang tetangga mengajak bapak bergabung dalam orkes musik dangdut sebagai penata panggung. Uang yang didapat digunakan untuk melamar pekerjaan di pabrik. Empat bulan kemudian bapak diterima di sebuah pabrik. Penghasilannya lumayan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pekerjaan sebagai penata panggung ia terima hanya pada saat libur kerja. Dua tahun bekerja sebagai buruh dan panata panggung, bapak mampu membuka penyewan tenda dan panggung sendiri, bahkan memiliki lima orang karyawan.
Seiring berjalannya waktu usaha tersebut makin maju. Akhirnya, bapak memutuskan untuk keluar dari pabrik dan fokus pada usahanya. Pekerjaan sebagai penata panggung membuat bapak sering bertemu dengan banyak biduan. Saat itu, tepatnya saat Wina berusia lima belas tahun, bapaknya pergi dari rumah karena seorang biduan. Semua barang-barang yang berkaitan dengan usaha bapak dibawa pergi. Menurut kabar yang Wina dengar, tidak lama setelah pergi dari rumah, bapaknya menikah dengan biduan itu. Sejak saat itu, Wina sangat membenci bapaknya. Bahkan ia beranggapan bapaknya sudah mati. “Bapak mati, tapi saya masih punya ibu yang akan selalu hidup,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Wina merasa hanya memiliki ibu dan kedua adiknya. Ia sangat menyayangi mereka, terutama ibu, karena berkat ibu ia bisa terus bersekolah. Ibu merupakan sosok perempuan yang tegar. Wina ingat betul, saat bapak pergi ibu tidak meneteskan airmata. Ibu melepas bapak dengan ikhlas. Saat ini, ibunya bekerja sebagai penjual kue dan nasi uduk pada pagi dan sore hari di pasar tradisional. Menurut Wina, ibunya memulai pekerjaan itu sejak bapaknya pergi. Keuntungan hasil berjualan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dan ditabung untuk keperluan sekolah Wina dan adik-adiknya, Waya dan Lina.

Bekerja Demi Ibu

Penghasilan dari menjual kue dan nasi uduk di pasar tradisional ternyata sangat minim. Keuntungan yang didapat hanya cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, tapi tidak cukup untuk membiayai sekolah Wina, Waya dan Lina, yang pada saat itu Wina duduk di kelas satu SMA, Waya di kelas dua SMP, dan Lina kelas tiga SD. Akhirnya, ibu memutuskan mengirim Waya ke Lampung untuk bersekolah di sana yang dibiayai oleh pamannya. Berpisah dari ibu, kakak dan adik membuat Waya sakit-sakitan. Sampai sekarang tidak diketahui apa penyakitnya. Jika Waya sakit, ibu harus mengirimkan uang ke Lampung untuk berobat. Mau tidak mau ibu harus bekerja ekstra supaya mendapatkan uang lebih. Wina merasa kasihan melihat ibunya, maka Wina memutuskan untuk mencari pekerjaan. Pada saat itu, kebetulan sekali Wina ditawarkan pekerjaan oleh seorang guru sebagai penjaga koperasi sekolah dengan gaji Rp. 450.000,- /bulan. Bekerja sebagai penjaga koperasi sekolah tidak semudah yang ia bayangkan, sering ia dicibir oleh guru-guru lain karena kelalaiannya, juga karena kesalahan yang tidak pernah ia perbuat. Namun, guru yang menawarkan pekerjaan tersebut padanya selalu menyemangati. “Demi ibu saya harus bekerja. Saya harus tegar seperti ibu,” katanya dengan semangat.
Tiga tahun menggali ilmu di SMA, Wina lulus dengan nilai yang memuaskan. Setelah lulus bukan berarti Wina dapat meninggalkan sekolahnya, ia masih harus bekerja di koperasi sekolah sampai ia mendapatkan pekerjaan baru. Dengan bekal Ijazah SMA jurusan IPA ditangannya, ia mencari pekerjaan. Sebenarnya, Wina ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, namun keterbatasan biaya membuatnya harus menunda keinginan tersebut. Enam bulan kemudian ia mendapatkan pekerjaan di sebuah pabrik pembuatan alat musik, mulai saat itu ia tidak lagi bekerja di koperasi sekolah. Bekerja di pabrik membuatnya harus siap berhadapan dengan malam. Pasalnya, ia harus pulang malam jika masuk pagi dan berangkat malam jika masuk malam. Selain itu, ia harus mempertaruhkan jilbabnya, karena syarat untuk dapat bekerja di sana tidak boleh memakai jilbab.
Gunjingan tetangga sampai ke telingan Wina. Ia digosipkan menjadi “perempuan nakal” karena membuka jilbab dan sering keluar malam. Namun, Wina tidak menghiraukan hal itu. “Allah mengerti keadaan saya, sedangkan mereka tidak,” ketusnya. Selain sebagai sebuah pengabdian pada ibu, baginya bekerja sebagai buruh pabrik adalah jembatan yang akan mengantarkannya ke bangku kuliah, jadi ia harus kuat.

Kerja atau Kuliah                     

Setelah enam bulan bekerja, Wina mendaftarkan dirinya ke sebuah universitas swasta di Jakarta. Ia memilih mendalami ilmu Keperawatan. Sejak saat itu, hari-harinya diisi dengan kesibukan. Senin sampai Jumat ia bekerja, Sabtu dan Minggu ia kuliah. Ia menikmati masa-masa itu. Namun, lambat laun Wina mulai jenuh dengan rutinitasnya sebagai buruh. Ia merasa tidak mendapat ilmu selama bekerja di pabrik, ia justru merasa dieksploitasi. Selain itu, ia tidak bisa meninggalkan jilbab yang telah bertahta di kepalanya sejak ia berusia enam tahun. Akhirnya, Wina memutuskan mengundurkan diri dari pabrik tempatnya bekerja. Baginya, ini adalah pilihan yang sulit, karena ia juga memikirkan dengan apa ia akan membayar uang kuliahnya Rp. 740.000,- /bulan jika ia tidak bekerja. Namun, itu tidak melunturkan keputusannya.
Wina tetap melanjutkan kuliahnya sampai semester kedua. Selama itu pula uang kuliahnya menunggak. Ia tidak bisa membayar karena tidak lagi bekerja. Habis semester kedua, Wina mendapat tawaran dari teman kuliahnya untuk bekerja di sebuah klinik. Klinik itu menuntutnya untuk bekerja setiap hari. Ia merasa bingung, jika bekerja, ia tidak kuliah. Tapi jika kuliah, ia tidak bekerja, itu artinya tidak ada penghasilan untuk membayar kuliah. Bekerja, itu yang dipilih Wina dengan pertimbangan yang matang. Dengan bekerja ia bisa membantu keuangan ibunya dan bisa mencicil uang kuliah yang tertunggak. Namun, belum lama Wina bekerja, klinik tersebut pindah di wilayah luar Jakarta. terpaksa ia mengundurkan diri karena ia tidak bisa meninggalkan ibu dan adiknya. Wina sangat kecewa dengan kehidupannya. Ia merasa hidup ini tidak adil, ia mulai putus asa. Kuliah tidak bisa, kerja pun tidak terwujud.
Setelah itu Wina mengisi hari-harinya dengan membantu ibunya di pasar dan menjaga adiknya. Ibunya merasa kasihan padanya. Pada suatu hari, ibu mengajak Wina berbicara tentang masa depan, tentang laki-laki dan pernikahan. Usia Wina sudah “kepala dua”, ibunya khawatir, ia takut anaknya menjadi perawan tua. Selain itu, ibunya ingin ada yang menjaga Wina. Ibunya meminta Wina untuk segera menikah dengan laki-laki pilihan ibunya. Wina menolak permintaan ibunya dengan keras. Bukan karena ia tidak suka dengan pilihan ibunya, namun karena ia sangat membenci laki-laki. Wina trauma melihat ibu yang ditinggalkan bapaknya. Wina sangat membenci bapaknya sampai ia juga membenci laki-laki. Ibunya tidak dapat berbuat apa-apa. “Saya buktikan, saya bisa hidup tanpa laki-laki. Suatu saat saya akan bekerja dan kuliah, dengan cara apa pun akan saya usahakan, dan saya bisa menjaga diri sendiri, tanpa harus bergantung pada laki-laki,” janji Wina pada dirinya sendiri.

Kembalinya Semangat

Pembicaraan dengan ibunya membuat semangat Wina terpompa. Semangat yang telah lama terkubur kini bangkit kembali. Ia rajin mencari info lowongan kerja terbaru melalui media, seperti koran dan internet. Selain itu, Wina membuat berpuluh-puluh lamaran untuk dikirim ke berbagai perusahaan. Dari sekian banyak lamaran yang ia kirim, hanya beberapa yang mendapat jawaban. Secara bergilir ia datangi perusahaan-perusahaan yang memanggilnya untuk mengikuti tes. Namun, tidak satu pun perusahaan yang menerimanya. Bukan karena ia tidak lulus tes, melainkan karena ia tidak bersedia untuk melepas jilbabnya. Wina tidak putus asa. Ia percaya Allah akan menolongnya dan memberikan pekerjaan yang layak padanya. Kepercayaan Wina berbuah manis, tidak lama kemudian ia mendapat panggilan untuk mengajar di sebuah tempat bimbingan belajar (bimbel).
Mulai saat itu, Senin sampai Jumat Wina mengajar di bimbel. Sabtu dan Minggu ia membantu ibunya berjualan di pasar. Keinginannya untuk kuliah masih membara. Untuk itu, perempuan berparas manis ini berniat membuka usaha bimbel bersama teman-temannya, supaya ia bisa melanjutkan kuliahnya yang terbengkalai. “Saya bekerja untuk ibu, saya kuliah pun untuk ibu. Untuk itu saya akan berusaha.”
 
Design by Pocket