Mimpi Sang Pemimpi

Agustus 24, 2010


Fiksi merupakan fenomena sosial yang memperoleh kebenarannya sendiri. Kebenaran fiksi terletak pada ide yang berangkat dengan fenomena pengalaman dan refleksi, itulah yang kemudian disebut karya fiksi sebagai fenomena sosial. Sama halnya dengan novel Sang Pemimpi. Ketika pendidikan telah menjadi momok yang mencemaskan kehidupan bangsa, seorang penulis melahirkan sebuah novel yang mengajak kita untuk merenungkan kembali hakekat pendidikan sesungguhnya. Novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata mengajak kita berpetualang dalam kisah masa kecilnya.
Novel ini bertutur tentang perjuangan hidup yang harus dimenangkan dalam berbagai keterbatasan. Kehidupan Ikal, Arai, dan Jimbron jauh dari kriteria berkecukupan. Ibarat pribahasa Sudah Jatuh Tertiban Tangga, kebahagiaan seakan berusaha menjauh dari mereka. Di usia yang terbilang masih sangat muda Arai dan Jimbon harus kehilangan orang tua, sedangkan Ikal terasa terbebani dan tersiksa melihat sepupu jauhnya –yang tidak lain adalah Arai- menjadi sebatang kara. Akhirnya, Arai tinggal bersama keluarga Ikal, dan Jimbron diadopsi oleh seorang pendeta. Namun, itu bukan hambatan yang akan menyurutkan langkah mereka untuk menggapai mimpi.
Melanjutkan sekolah ke Perancis menjadi mimpi indah mereka. Mimpi itu mulai tumbuh ketika mereka menyadari bahwa tak ada yang mereka miliki selain mimpi. Melihat keadaan tanah Belitong membuat mereka lebih termotivasi untuk menjemput mimpi itu. Belitong, pulau timah yang kaya raya, namun masyarakatnya tidak diuntungkan dengan keadaan itu. Hidup di pedalaman membuat mereka jauh dari jangkauan pendidikan formal. Belitong, pulau surga bagi kapitalis, neraka bagi masyarakatnya yang hanya menjadi budak.
Demi Belitong, Ikal, Arai, dan Jimbron berada di SMA yang lataknya sekitar 30 kilometer dari rumah mereka. Bagi mereka, 30 kilometer merupakan jembatan yang menghubungakan mimpi dengan kenyataan. Mereka rela tinggal berjauhan dengan keluarga untuk dapat hidup mandiri, bekerja sebagai kuli ngambat dan tinggal di los kontrakan yang dibayar dengan gaji mereka. Pekerjaan itu menuntut mereka bangun setiap pukul dua pagi untuk mengangkut ikan. Sebelumnya, mereka juga pernah bekerja sebagai penyelam danau di padang golf untuk mengambil bola, di danau tersebut terdapat banyak buaya, namun mereka memutuskan untuk berhenti karena berbulan-bulan tidak digaji. Tekad mereka untuk terus sekolah sekuat baja. Dalam keterbatasan mereka berusaha untuk tidak bergantung pada orang lain. Dari situ tergambar semangat yang membara. Bagi Ikal, Arai, dan Jimbron, mimpi merupakan senjata untuk melawan keterbatasan itu. Semangat dan optimis menjadi kendaraan yang menuntun mereka untuk mewujudkan mimpi menjadi kenyataan.
Dalam novel ini, Arai merupakan seorang tokoh yang sangat mengagumkan. Tidak banyak bicara, cepat dalam bertindak. Itulah yang melekat pada diri Arai. Julukan Simpai Keramat melekat padanya. Julukan itu diberikan karena ia adalah keturunan terakhir dari garis keturuanan klannya. Meskipun demikian, Arai selalu merasa bahagia. Ia tidak meminta kebahagian pada orang lain, namun ia yang selalu memberi kebahagian pada orang lain, dengan begitu ia merasa dirinya sangat bahagia. Putus asa tidak pernah ada dalam dirinya. Ia selalu mampu melihat hal positif dalam setiap kesulitan yang dihadapi. Yang paling mengagumkan, Simpai Keramat ini mampu mewujudkan mimpi orang lain. Keluarga Nurmi ingin mandiri, tidak bergantung pada orang lain, Arai mewujudkannya dengan memberi bantuan berupa “pancingan dan kail”, Arai tidak mau langsung memberi “ikan” karena ia menyadari hal terbaik yang harus dilakukan ketika menolong seseorang yang terjatuh ialah menolong orang itu agar dapat bangkit kembali dan tidak terjatuh lagi. Selain mewujudkan mimpi keluarga Nurmi, Arai pun pernah mewujudkan mimpi Jimbron. Arai memang sang pemimpi sejati. Di dalam Sang Pemimpi, Andrea Hirata benar-benar menelanjangi sosok Arai.
Cerita yang dikisahkan Andrea dalam Sang Pemimpi mengalir dengan cepat, namun ia tidak mengabaikan kiasan. Novel ini dibanjiri oleh beragam kiasan yang menjalar di setiap kalimat, sehingga kiasan tersebut mampu memberi bingkai indah pada setiap paragraf. Seperti pada saat ia menggambarkan seekor kuda sebagai benda seni yang setiap lekuk tubuhnya diukir oleh seorang maestro dengan mengombinasikan kemegahan seni patung monumental dan karisma kejantanan seekor binatang perang yang gagah berani. Kiasan ini menunjukan kepada kita bahwa penulis mampu merangkaikan kata-kata tersebut menjadi sebuah kalimat yang artistik, sehingga tak ada kalimat yang tak mudah dimudah dicerna oleh pembaca.
Selain itu, penulis juga mampu memainkan fungsi perbandingan. Contohnya pada saat penulis menceritakan kekagumannya melihat kapal-kapal besar, seperti Kambuna, Lawit, Sirimau, dan berbagai nama berujung loyld. Kapal Bintang Laut Selatan yang  dianggap sudah sangat besar di Dermaga Olivir tak ada artinya dibandingkan kapal-kapal yang ada di Pelabuhan Tanjung Priok. Yang menarik, penulis memainkan fungsi perbandingan sehingga kalimatnya menjadi bernada satire. Lihat saja bagaimana penulis membandingkan Capo yang sederhana, tak banyak cincong, dan kemampuannya merealisasikan ide menjadi tindakan nyata yang jauh lebih tinggi dari para inteleketual muda Melayu mana pun. Fungsi perbandingan seperti ini sangat cemerlang, karena membantu pendeskripsian sesuatu secara mendalam, supaya apa yang ingin disampaikan penulis dapat membekas dalam pikiran pembaca.
Andrea Hirata memang sangat kreatif, kreatifitasnya tersebut tertuang dalam gaya pendeskripsiannya. Ia tidak kaku dalam mendeskripsikan sesuatu. Diksi dan kiasan ia padu-padankan, bahkan fungsi perbandingan pun ia utak-atik untuk mendeskripsikan sesuatu. Gaya deskripsi seperti ini membawa pembaca seolah melihat secara langsung apa yang dideskripsikan oleh penulis.
Sang Pemimpi berangkat dari pengalaman penulis, tapi bukan berarti semua yang tertulis benar-benar terjadi. Panulis menambahkan “bumbu” dalam ceritanya supaya lebih menarik. “Bumbu” itu merupakan sebuah karya sastra yang indah, karena di dalam “bumbu” itulah terkandung nilai keindahan sebuah karya. Jika di dalam sebuah karya sastra ini tidak ada “bumbu”, maka Sang Pemimpi hanyalah sebuah berita. “Bumbu” itulah yang menarik pembaca masuk ke dalam cerita dan ikut mengambil peran dalam setiap mozaik, sehingga petuah yang ingin disampaikan penulis dapat melekat dalam ingatan pembaca. Memesona, itulah satu kata yang cukup untuk menggambarkan keindahan novel kedua dari tetralogi Lasakar Pelangi ini. Novel bernada satire ini mengandung banyak “vitamin” yang sangat dibutuhkan jiwa, khususnya jiwa-jiwa muda.
 
Design by Pocket