Empat Nol Delapan

Agustus 12, 2010

Suara kendaraan yang berlalu di jalanan sangat mengganggu pendengaranku. Sebesar apapun konsentrasiku untuk mendengarkan dosen berceramah, tetap terkalahkan oleh deru kendaraan di bawah sana. Owh…, mengapa di sini ada dosen? Mugkinkah aku sedang kuliah? Entahlah. Aku duduk di barisan belakang. Bukannya tak mau duduk di depan, tapi beginilah ruangan ini, begitu sempit untuk menampung lima puluh orang (terkadang labih) dengan ukuran tubuh yang beragam. Jika tak datang lebih awal, tak bisa duduk di depan. Datang lebih awal pun tidak menjamin mendapatkan kursi di tempat yang strategis. Aku masih bingung, di mana aku berada sekarang? Pertanyaan itu hanya kusimpan di dalam pikiranku, aku tak melemparnya pada siapapun, karena orang-orang di sekelilingku tak dapat bicara. Mereka tak bisu, mereka hanya tak bisa bicara. Aku pun begitu. Mungkin kami sedang dibungkam. Mungkin.

Aku mamalingkan wajah ke jendela di sebelah kiriku. Dari jendela yang tak ada kacanya ini aku bisa melihat gedung-gedung tinggi dan jalanaan yang selalu ramai. Ada di lantai berapa ruangan ini? Belum sempat kupikirkan jawabannya, tiba-tiba langit meneteskan air mata. Semakin lama semakin deras. Langit menangis, batinku. Aku menadahkan tangan kiriku ke luar jendela agar aku dapat menyentuh airmatanya. Pohon basah. Jalanan basah. Gedung-gedung angkuh itu bisa basah juga. Hahaha. Owh, bukuku basah. Hahaha. Aku terbahak tanpa suara. Buat apa aku menadahkan tanganku ke luar jendela jika dari dalam pun aku bisa menyentuh air mata langit. Aku mulai kedinginnan. Kumasukan tanganku ke dalam saku jaket. Pandanganku tetap setia. Seketika hujan berhenti, meninggalkan dingin. Jika hujan ruangan ini menjadi dingin, walau tanpa pendingin ruangan.

Tiga puluh menit berlalu. Matahari mulai menunjukan wajahnya yang tak ramah. Aku melihatnya, entah bagaimana bisa. Sinarnya membanjiri seluruh ruangan ini. Perlahan hangat mulai kurasa. Semilir angin menyapu rambutku. Kunikmati suasana ini selagi masih bisa. Mungkin satu atau dua menit lagi dosen yang sedang menggurui itu akan menggertakku dan mempermalukanku di hadapan kawan-kawan, juga lawan. Atau, yang paling buruk dosen itu mengancam mengeluarkanku dari kelas. Masih ada lagi kemungkinan lain yang sangat buruk, dosen itu memainkan nilai-nilaiku. Jika itu benar-benar terjadi, aku hanya bisa menyunggingkan bibir.

Gerah. Gerah. Gerah. Rintih beberapa orang yang ada di dalam ruangan ini. Keheningan pecah. Untung lah aku duduk di dekat jendela yang tak berkaca ini, angin masih mau lewat untuk menyapaku. Gerah pun tak terlalu kurasa. Aku tertawa kecil. Sebenarnya ruangan ini memiliki dua buah pendingin ruangan, AC. Tapi.. Ahg, sudahlah aku malu mangungkapkannya, ini salah satu aib dari beribu aib yang tak lagi menjadi rahasia. Kalau begitu untuk apa kurahasiakan?! Ungkapkan sajalah! Di dinding ruangan ini tergantung dua buah AC. Hmm… Entah itu AC asli atau hanya pajangan. Tapi, bukankah terlalu mahal jika hanya dijadikan sebuah pajangan yang sama sekali tak memperindah ruangan ini?! Aku tersenyum.

Tiba-tiba pintu terbuka. Aku menoleh ke pintu itu. Dua kawan datang terlambat, entah mengapa. Wajah dosen berubah menjadi sinis. Mereka membalasnya dengan senyum yang tak manis. Setelah itu mereka keluar, tak lama kemudian mereka masuk kembali ke dalam ruangan. Kawanku menggotong kursi, kawan yang lainnya memilih untuk menyeret kursi itu. Mereka meletakan kursi di sebelahku, mereka pun duduk dengan napas yang terengah-engah. Dosen marah. Ia tak suka malihat mahasiswanya menyeret kursi. Kawan ditegur, dicaci, disindir, dipermalukan dan dicatat namanya. Kawanku hanya diam dan mengangguk. Hahahaha. Kenapa hanya diam dan mengangguk, Kawan? Katakan padanya, di dalam ruangan ini ada lima puluh orang lebih, tapi kursi yang tersedia tak sebanyak itu. Ruangan ini melebihi kapasitas. Jika saja tersedia kursi yang cukup dan layak, tak akan ada kursi yang diseret-seret. Kenapa kau hanya diam dan mengangguk, Kawan?!

Hmmmm… Hei, Dosen! Besok kau tak akan mendapatkan kursi yang saat ini kau singgahi. Puluhan pasang mata akan melihat apa yang akan kau lakukan. Apakah kau akan membawa kursi dari luar? Atau, kau akan menyuruh salah satu mahasiswa mengambilkan kursi untukmu? Semua akan melihatnya. Besok!

Sembilan puluh menit berlalu. Dosen menutup perkuliah-kuliahan ini dengan tugas yang ditulisnya di papan tulis, dan ia pun berlalu. Maaf, bu dosen… Sejak tadi, aku tak mendengarkan apa yang kau ucapkan. Aku tak mau menyalahkan keadaan, karena sebenarnya kau tahu seperti apa ruangan ini. Kau juga tahu, ruangan ini tak layak untuk berproses. Hampir tiga tahun aku terpenjara dalam keadaan ini. Mengapa sampai sekarang tak ada perbaikan? Jika diperbaiki mungkinkah kau takut akan mubazir, karena tahun 2012 diperkirakan kiamat?! Sebaiknya, perbaiki keadaan ini dan lakukan yang terbaik sebelum kiamat benar-benar datang, Hahaha.

Jadi, jangan menuntut prestasi dari mahasiswamu sebelum kau pulihkan keadaan. Bukan mendramatisir keadaan. Tapi, ini nyata. Sosiologi hanya melihat yang nyata, ‘kan? Semoga kau melihatnya. Aku keluar ruangan. Aku berdiri di depan pintu ruangan itu. Kulihat ke atas pintu. Ruang 408. Mungkin di tempat lain masih banyak ruangan seperti 408, bahkan lebih parah.

***

Burung gereja bersiul. Sinar matahari menyelinap ke dalam kamarku melalui jendela yang tak tertutup rapat. Sinarnya tumpah tepat di wajahku, membuatku terbangun dari tidur panjang. “Ohg…,itu hanya mimpi,” pikirku. “Untunglah kampusku tak punya ruangan seperti itu,” gumamku. Hahaha...
 
Design by Pocket