Gender dalam Dunia Pendidikan

Agustus 12, 2010

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) begitu pesat. Namun sayangnya, perkembangan itu tidak diimbangi dengan perkembangan di sektor kebudayaan masyarakat. Teknologi pun yang semula diciptakan untuk melepaskan belenggu dalam manusia, tapi justru malah menjadi belenggu. Manusia telah diperbudak oleh teknologi. Bagaimana tidak, lihatlah betapa canggihnya teknologi mengalahkan dan menguasai manusia untuk menuruti keinginannya. Ini menyebabkan manusia hanya menjadi seonggok barang, karena harga kemanusiaaan mengalami pergeseran menuju titik terendah.
Hal ini memunculkan pertanyaan dalam diri kita masing-masing. Bagaimana seharusnya manusia menyikapi perkembangan iptek? Bagaimana memposisikan peran manusia dalam proses perkembangan iptek tersebut? Perkembangan memunculkan berbagai perubahan, ini merupakan tugas manusia itu sendiri untuk memikirkan bagaimana supaya perubahan itu tidak mereduksi keadilan dan kesetaraan serta menjamin kedamaian. Bukan lagi perempuan atau laki-laki, tetapi manusia. Manusia itu sendiri yang harus dimenangkan.
Semua itu hanya rangkaian pertanyaan yang melahirkan pernyataan bahwa semua masalah dapat terselesaikan jika manusia mampu menggunakan iptek sesuai dengan takaran yang sewajarnya. Namun, bukankah iptek semata-mata hanya untuk meningkatkan kekuasaan manusia terhadap lingkungan alamnya? Pada posisi ini seharusnya manusialah yang menguasai iptek. Tetapi iptek, khususnya teknologi, mempunyai tuntutan-tuntutan tertentu yang membuat manusia sulit untuk menguasai seluruhnya. Inti permasalahannya, kenyataan yang menunjukan kemajuan teknologi tidak disertai dengan kebudayaan. Sehingga yang terjadi makin banyaknya ketimpangan dalam masyarakat.
Salah satu ketimpangan itu terjadi dalam dunia pendidikan yang memiliki hubungan erat dengan iptek. Laki–laki lah yang mengurusi dunia publik, sedangkan perempuan hanya mengurusi persoalan domestik. Mainstream yang muncul kemudian bahwa perempuan tidak harus berpendidikan tinggi. “Untuk apa sekolah tinggi-tinggi, jika pada akhirnya hanya berkecimpung dalam urusan domestik (kasur, dapur, sumur),” itulah ungkapan yang sering kita dengar, ketika seorang anak perempuan meminta kepada orang tuanya untuk melanjutkan sekolah. Tak heran jika banyak anak perempuan tidak melanjutkan sekolah karena harus menikah diusia muda.
Ketimpangan atau bias gender yang sesungguhnya merugikan baik bagi perempuan maupun laki-laki. Membicarakan gender bukan berarti hanya membicarkan perempuan saja. Bias gender ini tidak hanya berlangsung dan disosialisasikan melalui proses serta sistem pendidikan normal, tetapi juga dalam lingkungan pendidikan informal. Dalam dunia pendidikan, masih kental praktek pembedaan antara perempuan dan laki-laki. Tingkat kualitas pendidikan juga menunjukan adanya ketimpangan perempuan dan laki-laki. Kaum perempuan masih tertinggal dibanding laki-laki. Kondisi ini disebabkan pandangan masyarakat yang mendahulukan dan mengutamakan laki-laki untuk mendapatkan pendidikan daripada perempuan.
Entah mengapa ketimpangan itu masih terjadi sampai saat ini. Padahal jika melihat sejarah perjuangan kaum perempuan untuk mencapai kesetetaraan dalam dunia pendidikan tidak bisa dianggap enteng. Munculnya berbagai gerakan perempuan di era Kartini merupakan salah satu bentuk konkrit perjuangan perempuan. Walaupun setelah itu lahir perempuan-perempuan yang nasibnya lebih baik karena memiliki kedudukan dan nama dalam masyarakat yang diperoleh melalui pendidikan yang mereka tempuh. Namun tetap saja keadaan perempuan Indonesia tidak pernah mencapai posisi yang dianggap baik oleh beberapa orang, baik laki-laki maupun kaumnya sendiri.
Di kalangan bawah (perempuan yang tidak bernasib baik), perempuan barjuang di bidang ekonomi. Fakta sejarah menyatakan bahwa di sektor produksi, pertanian, peternakan, dan pasar dikuasai oleh kaum perempuan. mereka tidak mendapatkan pendidikan dari lingkungan sekolah formal, melainkan dari lingkungan kesehariannya. Sedangkan perempuan kelas atas, mereka memiliki anggapan bahwa keterbelakangan perempuan disebabkan karena tidak mempunyai kesempatan untuk memperoleh pendidikan formal. Oleh karena itu, perempuan kalangan atas berjuang di bidang pendidikan.
Status kaum perempuan dalam kehidupan sosial dalam banyak hal masih mengalami diskriminasi haruslah diakui. Kondisi ini terkait erat dengan masih kuatnya nilai-nilai tradisional terutama di pedesaan, dimana perempuan kurang memperoleh akses terhadap pekerjaan, pendidikan, pengambilan keputusan dan aspek-aspek lainnya. Kondisi ini menimbulkan permasalahan tersendiri dalam upaya pemberdayaan perempuan, diharapkan perempuan memiliki peranan yang tidak lembek dalam proses pembangunan. Karena, jika keikutsertaan perempuan dalam memberikan kontribusi terhadap program pembangunan tidak maksimal maka akan menyebabkan kesenjangan ini terus terjadi.
Permasalahan ini tidak akan pernah terselesaikan selama perempuan yang masih tertindas (tidak bernasib baik) dan perempuan yang bernasib baik masih memiliki tingkat kesadaran yang rendah. Apakah perempuan yang bernasib baik tersebut, peduli terhadap kaumnya sendiri yang tidak senasib dengannya? Apakah mereka mau berjuang untuk mewujudkan keadilan bagi kaumnya? Sebab bagaimanapun juga, perempuan yang bernasib baik tersebut lebih memiliki peluang untuk melakukan sesuatu bagi kaumnya sendiri.
Melalui pendidikan yang membebaskan, Paulo Freire mengatakan bahwa manusia dapat merasa sebagai pemimpin bagi pikirannya sendiri. Ia akan mampu berdiskusi mengenai pikiran dan pandangannya tentang hidup secara jelas dengan sesamanya. Ia mempunyai pendapat yang bebas dan mampu memberi tanggapan secara kritis. Kesadaran potensial akan lebih mendorong seseorang untuk bebas. Sebaliknya, tingkat kesadaran rendah membuat lembeknya suatu perjuangan keadilan. Pembebasan manusia (human liberation) merupakan jalan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat sehingga mampu melakukan kewajiban kontrol sosial.
Masyarakat Indonesia, sebenarnya sudah sampai pada kesadaran nyata. Kesadaran ini hanya membutuhkan peneguhan. Setiap manusia memililiki power to (merupakan kekuatan yang ada dalam diri manusia), jika mereka bersatu maka akan melahirkan power with (merupakan kekuaatan kolektif). Kemudian kekuatan itu akan mendorong lahirnya power within, yaitu kekuatan batin, spirit yang akan membuat manusia bersemangat untuk mencari kebebasan.
Kesadaran yang terbentuk sesuai dengan konsep pendidikan yang membebaskan menurut Paulo Freire setidaknya mampu membentuk pola pikir perempuan untuk bangkit. Tidak hanya meratapi kesusahan yang menimpa, tetapi berusaha untuk bangkit dari kesusahan tersebut. Perlu disadari, pendidikan merupakan pondasi untuk mencapai pembebasan.
Perempuan sebagai “empu” memiliki kewajiban untuk berbuat sesuatu yang lebih demi kesejahteraan bangsa, terutama bagi perempuan yang bernasib lebih baik, karena mereka lebih memiliki banyak kesempatan. Lebih dari lainnya, karena ia akan manjadi inspirasi penting bagi tumbuhnya transformasi sosial masyarakat secara labih berbudaya dan manusiawi. Apalagi untuk permasalahan yang mandasar dan menyangkut kaum perempuan itu sendiri.
 
Design by Pocket