Kekerasan yang Memeriahkan MPA

Agustus 23, 2010


Kamu tau tidak, MPA (Masa Pengenalan Akademik) selalu dimeriahkan oleh bintang tamu  yang bernama “kekerasan simbolik” dan “kekerasan verbal” lho…
MPA, seremonial yang diselenggarakan pada awal masuknya maba (mahasiswa baru) sebelum menjalankan aktivitas perkuliahan. Dalam acara MPA maba akan diperkenalkan lingkungan akademik di dunia kampus yang asing bagi mereka. Jika dilihat tujuannya memang acara ini sangat bermanfaat. Namun, masih pentingkah kegiatan ini bila sudah melenceng dari tujuan awalnya?
Atribut MPA merupakan salah satu komponen “penting” yang harus dipakai oleh maba pada saat mengikuti acara tersebut. Atribut yang digunakan maba berbeda-beda sebagai pembentukan kreativitas mereka di tiap-tiap jurusan. Tas, topi, nametag, dan atribut lainnya tentu  bukan seperti yang sering kita pakai dalam beraktivitas sehai-hari. Semua harus serba unik, berbeda dan aneh sehingga terlihat tampak lucu. Bukan tidak mungkin maba dengan  atributnya hanya menjadi bahan tertawaan para senior mereka.
Untuk membuat atribut MPA tentu harus mengeluarkan modal yang tidak sedikit bagi sebagian maba yang berasal dari kalangan bawah, mengingat kampus ini adalah “kampus rakyat”. “Sebenarnya atribut nggak terlalu penting kok. Apalagi kalo nggak ada hubungannya ama akademik!” ungkap seorang maba FIS yang tidak mau menyebutkan namanya. Atribut yang dikenakan maba memang tidak selalu berhubungan dengan akademik dan tidak bermanfaat bagi proses pengenalan kampus. Tapi lagi-lagi, maba memilih untuk menuruti aturan penggunaan atribut dari senior-senior mereka dengan alasan kedisiplinan. Seakan-akan tidak mempedulikan adik-adiknya, seniorpun tidak mau tau, entah bagaimana caranya atribut tersebut harus dipakai pada saat MPA. Menilik hal itu, maka tidak salah jika kita namakan ini adalah kekerasan secara simbolik yang dilakukan para senior.
Selalu ada celah untuk melakukan kekerasan yang dilakukan senior kepada juniornya. Lain kekerasan simbolik, lain pula dengan kekerasan verbal. MPA selalu dijadikan ajang indoktrinisasi dogma-dogma. Maba ibarat cangkir kosong yang siap diisi. Kesempatan ini tidak mau dilewatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk memberikan pemikiran-pemikiran yang melenceng kepada maba dengan berbagai cara. Ini merupakan bentuk kekerasan verbal yang tidak bertanggung jawab dan sudah pasti tidak menguntungkan bagi maba.
Meskipun telah berganti nama dari OSPEK (orientasi pengenalan kampus) menjadi MPA (masa pengenalan akademik) tampaknya kekerasan masih menjadi habit yang sulit dihilangkan. Entah itu kekerasan secara fisik (yang “tampaknya” mulai berkurang), kekerasan verbal, maupun kekerasan simbolik. Kekerasan seolah sudah menjadi sahabat setia kegiatan tersebut, sehingga tujuan utamanya pun -pengenalan akademik- dinomorduakan. Ada hal lain yang menjadi prioritas utama dalam MPA, “aksi kesenioritasan” inilah makna yang tampak dalam MPA. Jika kegiatan semacam ini masih berlangsung, maka MPA hanya menjadi wadah pencetak penindas-penindas baru, mengingat kegiatan tersebut dilakukan secara turun temurun. Mahasiswa -maba dan senior- yang katanya kaum intelektual dan agen perubahan seharusnya sadar bahwa mereka tidak akan bisa melakukan perubahan jika mereka belum bisa membebaskan diri mereka dari penindasan, baik sebagai korban maupun pelaku.
Untuk para maba, jika kalian adalah agen perubahan seharusnya kalian mampu mengubah habit kekerasan dan kesenioritasan dengan menghapuskan perilaku-perilaku tersebut pada generasi berikutnya. Dan bertekatlah untuk tidak menjadi penindas-penindas baru supaya kekerasan dan kesenioritasan yang menjadi borok dalam kegiatan MPA tidak berlanjut. Selamat bergabung dan menjadi bagian dalam keluarga besar UNJ.
 Sumber Gambar: Google



 
Design by Pocket