Musik dan Identitas

Oktober 12, 2012


Musik merupakan sesuatu yang sangat disukai oleh kebanyakan orang. Pasalnya, musik senantiasa menemani kegiatan manusia, begitu juga dengan perkembangan teknologi rekaman dan alat-alat yang canggih menyebabkan semua orang dapat lebih mudah menikmati musik. Musik merupakan perilaku sosial yang komplek dan universal, di dalamnya memuat banyak ungkapan gagasan dan ide.
Musik tidak hanya dipandang menjadi sebuah sarana hiburan dan rekreasi, lebih dari itu musik memiliki peran tersendiri dalam sebuah pendidikan, seperti dalam proses komunikasi menyuarakan pesan maupun kritik terhadap suatu hal dengan gaya bahasa yang dimiliki oleh musisi. Melalui musik, orang dapat menjelaskan maksud hati atau pengalaman jiwanya, selain itu musik juga dapat memengaruhi orang untuk menikmatinya. Dengan liriknya, musik dapat membawa suasana hati, baik dalam perasaan sedih maupun bahagia, bahkan dapat menimbulkan rasa puas.
Sebagai commodity listening, dalam perkembangannya musik (yang diyakini sebagai bahasa universal yang bisa memberikan kehangatan rohani bagi si pendengar dan mungkin bisa membuat tubuh bergoyang) ternyata punya logika atau bahkan ideologinya sendiri. Musik rupanya relatif bisa mengisi waktu luang manusia, selain itu musik dianggap dapat mengatasi permasalahan psikologis seseorang. Seperti lagu-lagu pop yang dipandang dapat merefleksikan kesulitan remaja dalam menghadapi kekusutan persoalan emosional dan seksual.
Lagu-lagu tersebut menyerukan kebutuhan untuk menjalani kehidupan secara langsung dan intens. Lagu-lagu itu mengekspresikan dorongan akan keamanan di dunia emosional yang tidak pasti dan berubah-ubah. John Storey mengungkapkan bahwa “lagu-lagu pop diproduksi bagi pasar komerisal, berarti lagu dan setting-nya kekurangan autentisitas. Kendati demikian, lagu-lagu tersebut mendramatisasi perasaan-perasaan autentik dan mengekspresikan dilema emosional remaja dengan gamblang.”[1]
Dalam lagu, kata-kata merupakan tanda dari suara. Sebuah lagu selalu merupakan performa, dan kata-kata dalam lagu senantiasa diucapkan, sarana bagi suara, struktur bunyi yang merupakan tanda langsung dari emosi serta ciri dan karakter. Lagu-lagu pop tidak merayakan sesuatu yang diartikulasikan melainkan sesuatu yang tidak terartikulasikan, dan penilaian terhadap penyanyi pop tidak tergantung pada kata-kata melainkan pada bunyi yang timbul di sekitar kata-kata.
“Bunyi yang timbul di sekitar kata-kata (misalnya ketidakmampuan menemukan kata-kata yang tepat dan karena itu menggantinya dengan bahasa sehari-hari) merupakan tanda emosi dan kesungguhan yang nyata. Ketidakjelasan penuturan kata, bukan puisi, merupakan tanda konvensional dan kesungguhan penulis lagu populer.”[2]
Ketika mencari makna dalam sebuah lagu sudah pasti yang dilihat adalah liriknya. Padahal, makna sebuah lagu tidak bisa direduksi sebatas kata-kata. Kata-kata adalah bunyi yang bisa dirasakan lebih dahulu sebelum menjadi pernyataan-pernyataan untuk dipahami. Lirik ditulis untuk dimainkan. Lirik akan benar-benar hidup dalam penampilan seorang penyanyi.
Kritik terhadap dugaan kedangkalan lirik-lirik musik pop, karenanya, kehilangan fokus. Kata-kata dalam musik pop tidak dimaksudkan sebagai sajak. Musik pop meminjam bahasa sehari-hari, kata yang basi, kejadian sehari-hari dan mementaskannya dalam sebuah permainan suara dan performa yang efektif. Hasilnya, membuat kata-kata sederhana menjadi enak didengar, membuat bahasa yang biasa menjadi hidup dan bertenaga, kata-kata selanjutnya beresonansi, kata-kata itu membawa sentuhan fantasi ke dalam penggunaan biasa kita atas kata-kata itu.
Selain sebagai hiburan, ternyata musik juga dikonsumsi sebagai pembentuk identitas, karena hal ini terkait dengan selera dan status sosial seseorang atau kelompok. Konsumsi musik merupakan salah satu cara bagi seseorang atau kelompok untuk memalsukan identitasnya dan mereproduksi dirinya sendiri secara kultural dengan menandai pembedaan dan perbedaan dari anggota masyarakat lainnya.
Jadi, mengonsumsi musik tertentu menjadi sebuah cara mangada (way of being) di dunia. Konsumsi musik digunakan sebagai tanda yang dengannya remaja menilai dan dinilai oleh orang lain. Musik menyediakan sense akan komunitas. Ia adalah komunitas yang tercipta melalui tindakan konsumsi. Dalam hal ini, remaja tampil sebagai masyarakat konsumen. Bagi mereka, musik dapat berubah menjadi arena angan-angan yang dikuasai oleh hasrat untuk menaklukan dunia yang dirasa suram karena persaingan identitas, atau persisnya perburuan merebut pasar (publik musik) yang tidak seimbang dan seolah tanpa akhir.



[1] John Storey, Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), hlm. 126.
[2] John Storey, Ibid., hlm. 134.

 
Design by Pocket