Prom Night, Sebuah Ruang Eksistensi Remaja

Oktober 10, 2012

Pendidikan di Indonesia lebih condong pada aspek kognitif yang hanya berfokus pada transfer of knowledge, tetapi tidak mampu mengembangkan potensi individu secara keseluruhan. Paulo Freire menekankan bahwa pendidikan merupakan proses pembebasan, dan pendidikan adalah sebuah proses membangkitkan kesadaran kritis. Maka, pendidikan yang sesungguhnya harus mampu mengembangkan potensi kemanusiaan yang ada dalam diri individu. Jadi, pendidikan tidak hanya persoalan transfer of knowledge, tetapi meliputi transfer of skill dan transfer of value.
Namun pada kenyataannya, pendidikan di Indonesia sangat jauh dari hal tersebut. Selama ini, pendidikan lebih condong untuk mengejar target formalitas. Sehingga mengabaikan tujuan utama pendidikan, yakni pembentukan watak dan kepribadian positif pada diri individu. Pendidikan di negara ini hanya terfokus terhadap simbol-simbol semata, seperti nilai pada rapor, indeks prestasi dan sebagainya. Tingkat keberhasilan belajar hanya diukur berdasarkan penilaian hasil belajar secara berkelanjutan melalui ulangan atau ujian dan tugas. Padahal, penilaian tersebut hanya mencerminkan satu aspek saja, yakni kognitif.
Saat ini fokus tujuan pendidikan semakin menyempit. Pendidikan hanya dilihat berdasarkan nilai kompetensi akademik. Seharusnya, pendidikan mengarah kepada hal-hal yang lebih bersifat realistis dan mempertimbangkan perbedaan karakter setiap individu, sehingga peserta didik tidak merasa tertekan dengan beban pelajaran dan tuntutan nilai tinggi. Dengan ini, pendidikan dapat mendorong siswa untuk belajar sesuai dengan bakat dan kemampuan, serta dapat memberikan ruang bagi siswa untuk mengekspresikan diri mereka sebagai remaja. Sayangnya, sistem pendidikan di Indonesia tidak memperkenankan peserta didik untuk mengekspresikan bakat alamiah mereka sebagai remaja.
Itulah yang disebut pendidikan gaya bank oleh Paulo Freire. Dalam pendidikan gaya bank manusia dianggap sebagai makhluk yang dapat disamakan dengan sebuah benda dan gampang diatur. Pendidikan semacam ini tidak membentuk peserta didik agar mereka dapat melihat realitas sosial secara kritis. Selain itu, sistem yang demikian telah melunturkan sisi kemanusian yang seharusnya menjadi poin penting dalam ranah pendidikan.
Penuturan informan di atas menggambarkan secara jelas bagaimana beban yang dialami peserta didik. Beban yang mereka alami membuat mereka terisolasi dari realitas sosial. Ketika mereka terisolasi dari realitas sosial yang mengitarinya, maka mereka tidak mungkin dapat membawa perubahan apa pun dalam kehidupan sosial masyarakat.
Tumpukan pelajaran, perjuangan mencapai nilai tertinggi, serta kerja keras menyelesaikan beban pelajaran yang semakin berat telah menciptakan tekanan yang berlawanan dengan kebutuhan perkembangan siswa yang lebih mendalam. Pada umumnya remaja seusia mereka sedang membangun identitas diri, menjalin hubungan, menyimpan banyak pertanyaan penting tentang kehidupan dan menjadi lebih mandiri. Namun, sistem persekolahan tidak memberi kesempatan pada siswa untuk membangun identitas mereka sebagai remaja. Kondisi ini membuka celah bagi lembaga lain, yakni media massa, untuk menuntun siswa menemukan identitasnya. Karakter, perilaku, gaya hidup dan cara berpikir generasi muda telah dikendalikan oleh media massa.
Negosiasi Prom Night dan Budaya Pop di Sekolah


Dengan sangat cermat, media massa mampu melihat celah untuk masuk ke dalam ruang sosial remaja. Saat sekolah tidak lagi mampu memberi apa yang remaja butuhkan, media massa mampu memberi kebutuhan mereka. Media massa merupakan sebuah alat untuk memasarkan berbagai produk industri. Dalam hal ini, remaja menjadi sasaran kerena karakteristik mereka yang lebih cenderung labil dan mudah dipengaruhi, sehingga mendorong munculnya berbagai gejala perilaku konsumsi. Untuk mengonsumsi barang dibutuhkan sebuah ruang yang dapat terus direproduksi. Ruang tersebut diproduksi dan direproduksi supaya mereka dapat terus mengonsumsi. Tujuannya, demi keuntungan pekerja industri. Remaja telah dipandang oleh pekerja industri sebagai kalangan yang dapat dicetak sesuai dengan selera mereka, menjadi sasaran produk dan menjadi konsumen agar meningkatkan keuntungan.
Media menuntun remaja untuk menciptakan ruangnya sendiri. Dalam konteks ini, muncullah Prom Night sebagai ruang tersebut. Prom Night diproduksi sebagai ruang di mana remaja bebas menunjukan eksistensi mereka. Mereka bisa mendapatkan apa yang mereka tidak dapatkan di dalam kelas maupun dalam kegiatan organisasi, karenanya Prom Night menjadi sebuah ruang untuk melepaskan ide-ide yang telah lama terbelenggu, pelepasan segala beban remaja dan di sinilah remaja mendapatkan “kebebasannya”.
“Anak-anak yang kalah bersaing dalam ranah akademis dan prestasi…justru akan lari pada kebiasaan hedonis. Perilaku ini seperti mencari kesenangan dengan cara memamerkan kekayaan dan menunjukan pada teman-teman sekolahnya bahwa ia kaya.”[1]
Prom Night menjelma sebagai semacam perayaan bagi kebebasan remaja. Hal itu jelas tampak dari antusias mereka terhadap acara tersebut. Bagaimana Prom Night dibentuk menjadi sebuah acara yang bebas, mewah dan menjadi ruang konsumsi merupakan sebuah perwujudan imaji-imaji remaja yang selama ini tidak terealisasikan. Selain itu, Prom Night juga dibentuk sebagai ruang yang dapat memproduksi modal simbolik, baik bagi siswa, orang tua siswa, maupun sekolah.



[1] Nurani Soyomukti, Teori-Teori Pendidikan, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2011), hlm. 270.
 
Design by Pocket