Pierre Bourdieu: Arena Reproduksi Kultural

Oktober 09, 2012


Untuk memahami arena produksi kultural, peneliti merasa perlu untuk mengamati struktur arena, di mana letak posisi-posisi yang diduduki oleh para agen yaitu sekolah, siswa dan orang tua juga yang diduduki oleh kekuatan-kekuatan yang menentukan konsekrasi dan legitimasi yang membuat produk budaya itu sah menjadi suatu produk budaya, juga analisis posisi-posisi di dalam arena kekuasaan yang lebih luas. Secara menyeluruh merupakan kesatuan kondisi sosial yang meliputi produksi, sirkulasi dan konsumsi barang-barang simbolik.
Dalam upaya mencari relasi antara struktur obyektif yaitu kebudayaan[1] dan agen yaitu individu, Pierre Bourdieu memproposisikan sebuah teori bagi analisis dialektik kehidupan praksis.[2] Dua alat konseptual yang digunakan oleh Bourdieu adalah habitus dan arena yang ditopang oleh konsep tentang kekuatan simbolik, strategi dan perjuangan untuk mencapai kekuasaan simbolik dan material melalui beragam kapital yaitu ekonomi, budaya dan simbolik. Formula yang menurut Pierre Bourdieu non-linier menggantikan relasi yang sederhana antara individu dan struktur dengan relasi-relasi yang dikonstruksikan antara habitus dan arena hingga tercapai: (Habitus x Kapital) + Arena = Praksis.
Modal
Bourdieu mengumpamakan kehidupan bagaikan sebuah game, permainan yang menggunakan ‘modal’ sebagai ‘duit’ modalnya. Seorang agen atau pemain bisa memiliki dua modal, bisa juga hanya satu atau tidak sama sekali. Jalin-menjalin yang kompleks antara dua kekuatan modal -yang bisa berfluktuasi, berlebihan atau berubah arah- bisa menentukan kesempatan hidup agen tersebut. Bila Marxisme klasik melihat modal dari segi ekonomi semata, Bourdieu memperluas konsepnya untuk memasukkan unsur kebudayaan. Modal ekonomi memang masih menjadi kekuatan sosial sentral yang mampu mendorong perbedaan kelas, namun modal kultural juga memiliki peran besar dalam permainan hidup.
Bagi Bourdieu, definisi modal bisa memiliki cakupan yang luas, dari yang material dan memiliki nilai simbolik, hingga yang tak tersentuh namun secara budaya dianggap memiliki atribut-atribut signifikan seperti prestise, status dan otoritas, dianggap sebagai modal simbolik, sedang modal budaya didefinisikan sebagai pola-pola yang dilandasi selera dan konsumsi budaya. Karenanya, kapital merupakan relasi atau hubungan sosial dalam satu sistem pertukaran, dan ini berlaku untuk semua benda, material maupun simbolik, tanpa perbedaan, yang merepresentasikan diri sebagai sesuatu yang langka dan layak untuk dicari, dikejar dalam satu bentuk formasi sosial tertentu, antara lain kehormatan dan distingsi.
Sebagai energi sosial yang membuahkan hasil dalam arena produksi budaya, tempat produksi dan reproduksi, kapital simbolik merujuk pada tingkat akumulasi prestise, kesucian (consecration) dan kehormatan (honour) yang didasari oleh dialektika antara pengetahuan (connaissance) dan pengakuan (reconnaissance) sedang kapital budaya menyangkut segala bentuk pengetahuan tentang kebudayaan, kompetensi atau disposisi.
Dalam Distinction (1984), tempat Bourdieu mengelaborasi konsep modalnya, modal kultural dijabarkan sebagai sebuah bentuk pengetahuan, sebuah kode yang di’internalisasi’ atau perolehan kognitif yang melengkapi agen sosial dengan rasa empati, apresiasi atau kompetensi menguraikan (dalam artian memahami) relasi-relasi budaya berikut artefak-artefak budaya. Kapasitas untuk melihat (voir) adalah satu bentuk fungsi dari pengetahuan (savoir), konsep kata-kata yang mampu menamai apa yang terlihat, yaitu persepsi.[3]
Untuk memasuki arena dan mampu ‘bermain’ dalam pertarungan kekuatan di dalamnya, seseorang harus memiliki habitus yang mengarahkannya untuk bisa berjaga-jaga atau beradaptasi sebelum ia memasuki arena tersebut dan bukan yang lainnya. Ia harus memiliki paling tidak pengetahuan minimum dan ketrampilan serta talent, talenta untuk bisa diterima sebagai seorang pemain yang memiliki legitimasi. Berarti ia harus berupaya menggunakan seluruh pengetahuan, ketrampilan dan talentanya dengan cara yang semenguntungkan mungkin. Untuk berhasil, ia harus menginvestasikan seluruh kapital yang dimilikinya agar bisa memperoleh manfaat yang paling besar atau keuntungan dari upayanya berpartisipasi dalam arena. Kapital karenanya harus berada di dalam arena untuk memaknainya.
Arena Reproduksi
Agen-agen tidak bergerak dalam kehampaan, namun dalam situasi-situasi sosial nyata yang ditata dan dikuasai oleh relasi-relasi sosial obyektif. Untuk menjelaskannya, Bourdieu mengembangkan konsep arena (Perancis: champ; Inggris: field). Konsep arena merupakan metafora yang digunakan oleh Bourdieu untuk menggambarkan field of forces, arena kekuatan-kekuatan yang dinamis tempat beragam potensi dimungkinkan hadir di dalamnya.[4]
Strategi dan trayektori[5] adalah dua konsep utama yang digunakan Bourdieu dalam teorinya tentang arena. Strategi bisa dipahami sebagai praksis dengan orientasi spesifik tertentu. Sebagai produk dari habitus, strategi merupakan disposisi yang berada di bawah kesadaran dan bergantung pada posisi yang ditempati oleh agen dalam arena, juga bergantung pada permasalahan apa yang mendasari konfrontasi. Itulah yang ‘membangun’ bentuk pertarungan dan orientasi arah penyelesaiannya. Sedang trayektori bisa dilihat sebagai sesuatu yang merupakan hasil dari pergulatan dan perjuangan untuk mencapai kapital simbolik dalam arena pertarungan, dan bisa diamati melalui jaringan relasi ekonomi, budaya dan sosial.[6]
Trayektori digunakan Bourdieu saat membicarakan posisi para parvenus (orang-orang kaya baru) dan orang-orang déclassé (yang tersingkirkan dari lingkungannya terdahulu). Orang-orang ini berasal dari origin sosial yang berbeda dari kelompok di arena tempat mereka kini berada. Para parvenus dan déclassé dipastikan tiba melalui rute atau trayektori yang berbeda dari yang lain.[7]
Setiap arena, baik budaya, politik, ekonomi dan lainnya merupakan arena yang relatif otonom namun homologus (memiliki kesamaan struktur). Struktur arena untuk setiap saat tertentu ditentukan oleh relasi-relasi antara posisi-posisi para agen yang berada di dalam arena, karenanya arena adalah sebuah konsep yang dinamis, setiap perubahan dalam posisi agen akan membuahkan perubahan struktur arena.[8]
Distingsi[9] dan Selera Kelas
Habitus menghasilkan sebuah sistem klasifikasi yang memungkinkannya untuk mengidentifikasi pilihan-pilihan gaya hidup yang spesifik dan hubungannya dengan posisi kelas, dan kemampuan ini membuatnya memiliki kapasitas untuk membeda-bedakan dan mengapresiasi praktek-praktek dan produk yang disebut taste atau selera yang sesungguhnya merepresentasikan dunia sosial, tempat ruang gaya hidup terbentuk.
Selera adalah suatu disposisi yang mampu membedakan sekaligus mengapresiasi, dengan kata lain suatu bentuk kemampuan untuk menentukan dan memberi ‘tanda batas keberbedaan’ melalui sebuah proses distingsi. Selera merupakan kemampuan praktis untuk meraba atau naluri tentang apa yang akan terjadi, yang akan menimpa individu yang menduduki suatu posisi tertentu dalam ruang sosial.
Selera berfungsi sebagai semacam orientasi sosial, ‘a sense of one’s place’, yang menunjukkan di mana seharusnya seseorang berada. Karena itu agen-agen sosial selain menjadi produsen tindakan-tindakan yang bisa diklasifikasi, mereka juga memproduksi klasifikasi yang mereka sendiri juga terklasifikasi di dalamnya.
Bila arena produksi budaya adalah field of forces, arena kekuatan-kekuatan yang dinamis di mana beragam potensi dimungkinkan hadir di dalamnya dan pertarungan tersebut dilihat dapat mentransformasi atau mempertahankan arena kekuatan, maka selera berada di jantung pertarungan simbolik tersebut yang berdasar pada gaya hidup para agen.
Hal tersebut diperjelas Bourdieu dalam Distinction,1984, Bab III: Class Tastes and Lifestyles yang menyatakan bahwa para borjuis baru adalah inisiator perubahan etika ekonomi baru demi kelangsungan hidupnya. Logika baru ekonomi telah membuang jauh etika asketisme seperti abstinence, puasa menghindari keduniawian dengan berhemat, menabung dengan penuh perhitungan, dan sebaliknya justru merangkul moralitas hedonistik dari konsumsi yang didasari oleh credit, spending and enjoyment, hutang, belanja dan penikmatan.[10]
Juru bicara untuk gaya hidup semacam itu adalah para penjaja benda-benda dan jasa simbolik seperti para jurnalis, dunia penerbitan dan sinema, dunia fashion dan iklan, dunia desain dan pengembangan properti. Melalui anjuran-anjuran yang terus menerus mengiklankan gaya hidup sebagai model atau panutan, para penentu selera baru memunculkan moralitas seni pengonsumsian, pembelanjaan dan penikmatan. Mereka inilah the new cultural intermediaries, para perantara kebudayaan baru, karena melalui merekalah batas-batas area kebudayaan yang semula tertutup dapat diakses dan menjadi milik publik.



[1] Kumpulan pengetahuan yang membangun relasi-relasi sosial obyektif -yang terinternalisasi dan disosialisasikan sejak dini-, seperti kemampuan bahasa atau ekonomi yang bisa membentuk (menstruktur) praksis dan representasinya yaitu pengetahuan primer, baik praktis maupun tasit (yang tak terucapkan) dari dunia sehari-hari yang kita kenal.
[2] Peneliti menggunakan kata praksis dan bukan praktek (yang bisa bermakna tindakan saja) sebagai terjemahan dari pratique, karena konsep praksis bila dikaitkan dengan konsep habitus, modal dan ranah mengandung keberagaman dimensi yang tidak linier, selalu dinamis dan fluktuatif tergantung dari kepentingan dan kekuasaan pelaku.
[3] Pierre Bourdieu, Ibid., hlm. 2.
[4] Istilah arena lebih tepat dari lapangan karena juga merupakan sebuah arena pertarungan merebut kekuasaan di antara kekuatan-kekuatan tersebut. Pertarungan tersebut dilihat sebagai bisa mentransformasi atau mempertahankan arena kekuatan. Posisi ditentukan oleh alokasi atas capital tertentu bagi aktor yang berada di dalam arena tersebut. Posisi-posisi yang dicapai dapat berinteraksi dengan habitus untuk membentuk beragam postur (prises de position) yang memiliki efek independen pada ‘position taking’ di dalam arena tersebut. Dinamika arena didasari pada pertarungan perebutan posisi dalam arena.
[5] Bourdieu memperkenalkan istilah trajectory -jalur melengkung dari sebuah proyektil- saat membicarakan posisi para parvenus (orang kaya baru) dan para déclassé (yang tersingkirkan dari lingkungannya terdahulu).
[6] Pierre Bourdieu, Ibid., hlm. 109.
[7] Pierre Bourdieu, Ibid.
[8] Pierre Bourdieu, Ibid.
[9] Peneliti memilih penggunaan kata ‘distingsi’ sebagai terjemahan dari distinction yang bermakna lebih dari sekedar keberbedaan atau yang menonjol karena ada unsur keunggulan yang hanya bisa dimiliki oleh mereka yang memenangkan suatu pertarungan.
[10] Pierre Bourdieu, Ibid., hlm. 260.
 
Design by Pocket