Konsumsi untuk Mereproduksi

Oktober 10, 2012

Prom Night menjadi acara yang sangat penting bagi remaja, karena inilah malam terakhir mereka sebagai pelajar dan inilah terakhir kalinya mereka dapat berkumpul bersama dalam sebuah ruangan. Setelah menempuh beberapa tahun bersama tentunya akan menyedihkan jika berpisah tanpa adanya sebuah acara. Itulah satu dari banyak alasan bagi para remaja untuk menghadiri Prom Night. Sayangnya, acara perpisahan semacam ini lebih menonjolkan sisi konsumsi. Kegairahan konsumsi tidak begitu saja muncul, menurut pengamatan penulis, konsumsi muncul melalui proses adaptasi cara belajar menuju aktivitas konsumsi atau pengembangan suatu gaya hidup.
Proses Pembelajaran Konsumsi




Skema di atas menjelaskan bagaimana proses pembelajaran konsumsi berlangsung. Pembelajaran ini dilakukan melalui media (majalah, koran, buku, televisi dan radio) yang banyak menekankan peningkatan diri, pengembangan diri, transformasi personal, bagaimana mengelola kepemilikan, hubungan dan ambisi, serta bagaimana membangun gaya hidup sehingga menjadi ‘seolah-olah’ berbeda dengan yang lain. Berkat dukungan media, realitas-realitas diproduksi mengikuti model-model yang ditawarkan media.
Kegiatan konsumsi yang dilakukan dalam Prom Night mendefinisikan status sosial orang-orang yang ada di dalamnya. Konsumsi digunakan untuk tujuan pembedaan sosial. Menurut Bourdieu, budaya hidup (gaya hidup dan sebagainya) adalah suatu arena penting bagi pertarungan di antara berbagai kelompok dan kelas sosial.
Bagi Bourdieu, konsumsi budaya itu cenderung sadar dan disengaja atau tidak, mengisi suatu fungsi sosial berupa melegitimasi perbedaan-perbedaan sosial. Misalnya, budaya digunakan oleh kelas dominan, menurut Bourdieu, untuk memastikan reproduksinya sebagai kelas dominan. Tujuan Bourdieu bukanlah menyatakan atau membuktikan apa yang sudah jelas (bahwa kelas-kelas yang berbeda memiliki gaya hidup yang berbeda, selera-selera yang berbeda dalam budaya, dan sebagainya) melainkan meneliti proses yang dengannya pembentukan pembedaan-pembedaan budaya mengamankan dan melegitimasi bentuk-bentuk kekuasaan dan dominasi yang akhirnya berakhir pada ketidakstabilan ekonomi.[1]
“Sebagaimana semua selera, dia menyatu dan terpisah. Dengan menjadi produk pengondisian yang berhubungan dengan kategori syarat eksistensi tertentu, dia menyatukan semua orang menjadi produk kondisi serupa sambil membedakan diri mereka dari orang lain. Dan dia membedakan dengan cara yang esensial, karena selera adalah basis bagi semua yang dimiliki orang -orang dan benda-benda- dan semuanya diperuntukan bagi orang lain, sementara orang mengklasifikasikan dirinya, pada saat yang sama dia juga diklasifikasikan oleh orang lain.”[2]
Dalam hal ini Prom Night adalah sesuatu yang terbentuk dari kesamaan kelas, selera[3] dan gaya hidup, di mana kesamaan tersebut membentuk ruang yang dapat memperkuat status sosial mereka. Pada titik inilah perjuangan sosial dimulai, di mana orang berlomba-lomba mengejar kehormatan melalui apa yang mereka konsumsi (mobil apa yang mereka pakai, sepatu apa yang mereka pakai, aksesoris apa yang mereka pakai dan salon atau mall apa yang mereka kunjungi). Menurut Bourdieu, lingkungan seperti itu menawarkan peluang untuk mengejar kehormatan yang tak ada habis-habisnya.[4]
Jadi, konsumsi tidak hanya berputar pada sesuatu yang berwujud. Lebih dari itu, kini konsumsi juga dilakukan untuk sesuatu yang tidak berwujud, yakni konsumsi barang-barang simbolik. Konsumsi barang-barang simbolik ini berkenaan dengan status dan prestise. Orang yang memiliki status dan prestise tinggi tentu memiliki selera yang tinggi terhadap sesuatu. Selera itu membedakan mereka dengan yang lainnya dan memberitahu di mana kedudukan mereka dalam suatu masyarakat. Dari sana muncullah keinginan untuk mempertahankan kedudukan. Salah satu cara yang digunakan adalah mengonsumsi barang-barang simbolik. Berangkat dari hal itu, Prom Night dapat dilihat sebagai ruang sosial yang memungkinkan individu di dalamnya dapat menjadi berbeda agar lebih menonjol dalam ruang tersebut.
Meski demikian, sesungguhnya Prom Night memiliki nilai-nilai edukasi. Prom Night menjadi wadah bagi siswa untuk mengasah kreativitas. Hal itu jelas terlihat dalam konsep yang mereka buat khusus untuk acara tersebut. Untuk Prom Night yang berbeda dari yang lain, mereka berlomba-lomba untuk menghadirkan ide-ide kreatif, yang nantinya dapat meninggalkan kesan tersendiri bagi mereka.
Kreativitas mereka tidak begitu saja muncul. Kreativitas muncul karena adanya pembiasaan yang didapat dari pendidikan. Di sekolah para siswa dididik untuk menjadi individu yang kreatif dan mandiri. Dalam Prom Night mereka dapat mengimplementasikan kedua hal itu, karena Prom Night merupakan ruang yang mereka ciptakan dalam rangka upaya perwujudan imaji-imaji mereka yang selama ini terpendam karena kerasnya sistem persekolahan. Selain itu acara tersebut menjadi wadah berorganisasi bagi mereka. Namun, Prom Night bukanlah satu-satunya wadah pembelajaran bagi siswa.
Di sekolah siswa sudah mendapatkan pelajaran di kelas selama lebih dari tujuh jam. Selain di dalam kelas, mereka juga memperoleh pembelajaran melalui kegiatan organisasi. Namun, ruang pembelajaran yang diberikan sekolah dirasa belum cukup untuk memenuhi perkembangan siswa. Pasalnya, ruang pembelajaran yang diselenggarakan sekolah terkesan kaku. Contohnya, setelah siswa mengikuti pembelajaran, siswa masih diwajibkan untuk ikut kegiatan organisasi.
Kegiatan organisasi selayaknya mampu memberikan ruang bernapas bagi siswa, namun pada kenyataannya dalam berorganisasi pun siswa dituntut oleh nilai. Hal tersebut menjadi beban tersendiri bagi siswa, dan membuat siswa mengikuti kegiatan organisasi hanya karena terpaksa. Lebih dari itu, setelah lima hari berada di sekolah dan dituntut untuk ikut kegiatan organisasi, tidak sedikit siswa yang diwajibkan oleh orang tua mereka untuk mengikuti bimbingan belajar dan kursus. Hal ini membuat siswa tidak memiliki kebebasan untuk mengeksplor apa yang mereka inginkan. Dunia mereka seolah dibentuk oleh orang-orang dewasa yang berada di sekitar mereka.
Dalam hal ini, sekolah dan keluarga tampaknya telah gagal menciptakan kondisi yang baik bagi siswa. Maka tak heran jika siswa menciptakan ruangnya sendiri, yakni Prom Night. Alih-alih mengadakan pesta perpisahan, Prom Night menjelma menjadi ruang di mana para siswa dapat menunjukkan eksistensi mereka. Prom Night menjadi semacam acara pelepasan, bukan pelepasan siswa yang telah lulus, tapi pelepasan beban siswa selama di sekolah.



[1] John Storey, Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), hlm. 146.
[2] Pierre Bourdieu dalam Richard Jenkins, Membaca Pikiran Pierre Bourdieu, trj. Nurhadi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004), hlm. 213.
[3] Selera merupakan praktek yang antara lain membantu memberikan seorang individu maupun orang lain pemahaman mengenai posisinya di dalam tatanan sosial. Selera membantu menyatakan orang lain yang memiliki prefensi serupa dan membantu membedakan mereka dari orang lain yang memiliki selera berlainan.
[4] George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, (Jilid 6; Yogyakarta: Kencana, 2007), hlm. 529.
 
Design by Pocket