Pendidikan Berorientasi Nilai: Penyalahgunaan Lembar Kerja Siswa (LKS)

November 01, 2012

Pendidikan sering dikatakan sebagai aset yang sangat berharga. Karena, pendidikan diyakini sebagai tombak untuk memberantas kebodohan. Untuk itu, pendidikan tetap bertahan hingga saat ini. Namun, muncul pula anggapan yang sangat kontras, tak jarang masyarakat yang menyatakan pendidikan adalah barang mahal dan mewah, tak semua penduduk Indonesia bisa menikmati barang mewah tersebut. Anggapan negatif tersebut muncul karena pendidikan telah melenceng jauh dari cita-cita idealnya sebagai wahana pembebasan dan pemberdayaan.
Sekolah merupakan salah satu institusi pendidikan yang sangat berperan besar dalam pencapaian cita-cita pendidikan. Namun sayangnya, sekolah hanya dijadikan institusionalisasi nilai. Salah satu bukti nyata adalah dengan diberlakukannya penggunaan LKS di sekolah.
Lembar kerja siswa (LKS) adalah bagian pokok dari suatu modul yang berisi tujuan umum topik yang dibahas dan disertai soal latihan atau instruksi praktik bagi siswa. LKS digunakan untuk menuntun siswa belajar mandiri dan dapat menarik kesimpulan pokok bahasan yang diajarkan. Penyajian bahan pelajaran umumnya dapat mendorong siswa mengembangkan kreativitas dalam belajar. Dengan demikian, siswa diharapkan  mampu mendorong siswa secara aktif mengembangkan dan menerapkan kemampuannya.
LKS yang baik harus memenuhi persyaratan konstruksi dan didaktik. Persyaratan konstruksi tersebut meliputi syarat-syarat yang berkenaan dengan penggunaan bahasa, susunan kalimat, kosakata, tingkat kesukaran dan kejelasan yang pada hakekatnya haruslah dapat dimengerti oleh pihak pengguna LKS yaitu peserta didik, sedangkan syarat didaktif artinya bahwa LKS tersebut haruslah memenuhi asas-asas yang efektif.
Sejak adanya LKS di sekolah, efektifitas pengajaran guru semakin meningkat. Guru tinggal menerangkan pokok-pokok pembahasan yang ada dalam sebuah bahasan. Dengan adanya LKS, siswa dituntut untuk lebih sering berlatih, berlatih, dan berlatih, supaya siswa menjadi lebih terasah aspek kognitifnya.
Kini, LKS telah menjadi buku wajib bagi para siswa dari jejang SD sampai SMA. Biasanya, buku ini tipis dan dicetak dengan kertas murahan dan diterbitkan untuk setiap bidang studi. Isinya berupa ringkasan materi dan kumpulan soal-soal latihan. Di samping LKS, para siswa juga diwajibkan memiliki buku teks yang isinya lebih lengkap. LKS sesungguhnya ditujukan sebagai suplemen atau buku tambahan latihan untuk siswa, sedangkan buku pegangan utama adalah buku teks. Namun, dalam kenyataannya, banyak guru hanya menggunakan LKS dalam mengajar. Para siswa langsung disuruh mengerjakan soal kemudian dibahas, tanpa pendalaman materi sebelumnya.
LKS bagaikan sebuah “kitab suci” bagi semua jenjang pendidikan dewasa ini. Sebuah kitab suci yang setiap harinya selalu digunakan untuk sumber belajar bagi siswa dan sumber mengajar bagi guru. Sebuah kitab suci yang kedudukannya berada di atas buku pegangan atau buku pedoman lain.
Para guru yang seharusnya bertugas mengajar siswa, membuka dialog dengan siswa, menjadi pasif dan otoriter. Dengan dalih agar siswa belajar mandiri, guru menyuruh siswanya untuk membaca rangkuman LKS dilanjutkan mengerjakan soal-soal di dalamnya. Siswa sendiri yang seharusnya dalam kegiatan belajar bersikap aktif, kreatif, dan kritis juga menjadi robot yang menuruti perintah gurunya. Enteng bagi mereka untuk mengerjakan soal-soal LKS walaupun belum memahami materinya karena jawaban dari soal-soal itu dapat ditemukan dalam rangkuman materi di halaman sebelumnya. Siswa hanya tinggal menyalin kembali. Jika tidak dapat diselasaikan pada hari itu juga, guru akan menjadikannya sebagai PR. Masalah baru yang muncul kemudian adalah timbulnya budaya mencontek. Pada umumnya hanya ada satu dua siswa yang mengerjakan LKS, siswa yang lain beramai-ramai menyalin jawaban temannya sebelum pelajaran dimulai.
Jelaslah bahwa LKS yang sekarang banyak digunakan sangat berbeda secara konseptual dari LKS yang sesungguhnya. LKS yang sekarang tak lebih hanya "kumpulan latihan soal", dan jika guru memperlakukan LKS sebagai sumber belajar utama dalam proses pembelajaran, pemahaman dan pengetahuan yang terbentuk dalam diri siswa pun akan sangat dangkal.
LKS diharapkan mampu menjadi salah satu alternatif pembelajaran yang tepat bagi peserta didik karena LKS membantu peserta didik untuk menambah informasi tentang konsep yang dipelajari melalui kegiatan belajar secara sistematis. Tetapi, pada kenyataannya LKS yang telah dimiliki oleh peserta didik selama ini belum mampu membantu dalam menemukan konsep, karena hanya berisi materi dan soal-soal. Selain itu ditinjau dari segi  penyajiannya pun kurang menarik.
Sebagian besar waktu belajar siswa sekolah dasar dan menengah dipergunakan untuk mengerjakan LKS. Namun, keberadaan LKS cetak atau biasa disebut pula dengan istilah Buku Kerja Siswa hingga saat ini masih sangat minimalis dan belum efektif sebagai sarana pembelajaran. Baik dari segi tampilan, isi maupun kepraktisannya. Akibatnya, siswa mengerjakan LKS cetak dengan perasaan yang terpaksa dan kurang bersemangat.
Ada beberapa hal yang menyebabkan siswa dilanda kesengsaraan menghadapi LKS. Pertama, LKS didistribusikan hampir setiap guru mata pelajaran dengan harga bervariasi. Kedua, LKS didistorsikan sebagai bahan ajar atau rujukan pembelajaran. Ketiga, bila dibuat tim musyawarah guru mata pelajaran (MGMP), LKS berkemungkinan menjadi rujukan saat tes bersama, sehingga siswa yang tak memanfaatkannya mengalami kesulitan mengerjakan evaluasi itu.
Berdampingan dengan LKS, beredar pula di ruang kelas buku-buku pelajaran, yang dicetak dalam satu semester, dan pada semester berikutnya siswa kembali membelinya. Telah berkembang pula suatu tradisi, siswa dipersuasi untuk membeli buku dari guru yang bersangkutan. Pada tingkat pendidikan dasar, persuasi guru itu lebih dipatuhi siswa daripada pendidikan menengah. Ini disebabkan patronase guru pada tingkat pendidikan dasar lebih kuat.
Pada siswa SD, LKS yang mesti dikerjakan siswa secara mandiri di rumah, telah menjadi beban orang tua untuk turut serta mengerjakannya. Pada siswa SMP dan SMA, tugas-tugas LKS telah mengembangkan budaya menyontek. Hanya satu-dua siswa yang mengerjakan soal LKS, dan siswa lain beramai-ramai menyalinnya pada pagi hari sebelum mata pelajaran dimulai.
Bahkan, tak jarang siswa dipaksa menghafal materi di LKS, bahkan jika perlu menghafal soal dan jawabannya. Karena, biasanya guru-guru akan membuat soal ulangan dan ujian yang materinya atau pun tipe soalnya sama dengan yang ada di LKS. Tak heran jika terjadi seorang siswa yang sama sekali tidak paham suatu materi, tetapi ketika ujian nilainya bagus. Hal tersebut membuat kemampuan anak untuk menganalisis, membedakan, mempertanyakan dan mengevaluasi suatu materi tidak berkembang.
Selain itu, masih ada lagi kerugian yang dialami dunia pendidikan kita, yakni LKS telah mematikan kreativitas siswa. Kehadiran LKS yang sering ''menggantikan'' guru yang kebetulan berhalangan hadir, telah menggersangkan ruang kelas dari pembelajaran yang hangat dengan pijar-pijar perenungan dan kegembiraan. Ruang kelas dipenuhi kegiatan kognitif dengan cara menjawab dalam lembaran ''terbatas'', tak memungkinkan tumbuhnya cara berpikir lateral, apalagi kreatif.
Model soal yang dikembangkan dalam LKS sebatas tataran kognitif membuat siswa tidak kreatif. Karena, belajar suatu ilmu hanya kulit luarnya saja, tanpa ada pendalaman. Akibatnya, yang berkembang hanya kemampuan otak kirinya saja. Dalam model pembelajaran semacam ini, siswa tak ubahnya mesin penghafal.
Model pembelajaran seperti ini persis seperti yang diterapkan di lembaga bimbingan. Substansi pendidikan menjadi kabur karena proses belajar direduksi sebatas latihan soal dengan orientasi Ujian Nasional (UN). Para guru mestinya paham, LKS yang sesungguhnya adalah lembaran kerja siswa yang dirancang oleh guru yang bersangkutan. Bukan buku yang berlabel LKS.
Namun, ditengarai banyak guru-guru yang menggunakan LKS karena memudahkan mereka dalam membuat soal. Kasarnya, mereka malas atau enggan membuat soal sendiri untuk keperluan siswanya. Padahal itu adalah kewajiban mereka sebagai guru. Keberadaan LKS juga semakin memperjelas posisi siswa sebagai pasar di dunia pendidikan. Karena, biaya pembelian LKS dibebankan kepada siswa. Artinya, ada sebagian kewajiban guru (membuat soal untuk siswanya) yang dialihkan kepada pihak lain (pembuat atau penerbit LKS), dan biaya pengalihan itu menjadi beban siswa (karena harus membeli LKS).
Dengan asumsi bahwa penyalahgunaan LKS yang tidak terlepas dari keterbatasan pendidik dan peserta didik. Keterbatasan yang dimiliki menciptakan standar yang berlaku bagi institusi tempat mereka bernaung. Standarisasi tersebut bersifat penyeragaman, yakni dengan pemakaian LKS. Padahal, pendidikan bersifat perorangan atau individu.
Isu tentang penggunaan LKS yang hanya mendidik siswa untuk menjawab soal bukan mengerti materi menjadikan pendidikan hanya berorientasi pada hasil. Padahal, belajar di institusi formal seperti sekolah merupakan proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, pendewasaan diri, pematangan pribadi, berkomunikasi, dan membangun relasi dengan sesama agar menjadi pribadi yang dewasa dan berwawasan luas. Sebagai peroses, ukuran keberhasilan bukan hanya produk akhir saja, tetapi juga terlaksananya produk itu sendiri. Karena, pembelajaran yang mengabaikan proses sebenarnya telah mereduksi makna pembelajaran itu sendiri.
Oleh karena itu, proses menjadi sangat penting dalam sebuah institusi pendidikan yang benama sekolah guna mengidentifikasi terjadinya penyalahgunaan LKS di dalam lembaga pendidikan. Adapun kondisi-kondisi yang memperburuk keadaan ini, yakni ketidakefektifan LKS sebagai sebuah sarana yang meningkatkan kecerdasan, LKS tidak membantu perkembangan intelegensi pendidik maupun peserta didik, dan rendahnya mutu LKS.
Daftar Pustaka
Buku:
Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan, Yogyakarta: Lkis, 2005.
Pora, Yusran, Selamat Tinggal Sekolah, Yogyakarta: MedPress, 2007.
Tilaar, HAR, Manifesto Pendidikan Nasional, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2005.
Artikel:
Lembar Kerja Siswa Interaktif”, Kompas, Jawa Barat, 17 Juli 2007.
”Lembar Kerja Siswa”, Solopos, Kamis, 12 Juni 2008.
”Adakah Buku yang Memperbodoh dan Memiskinkan Masyarakat?”, MATABACA, Vol. 2/No.2/Oktober 2003.
 
Design by Pocket