Budaya Pop dan Prom Night

Oktober 10, 2012


Budaya Barat jelas mengesankan bagi masyarakat Indonesia, ini terbukti dari peniruan-peniruan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap gaya hidup, tata nilai, dan bahkan pemikiran-pemikiran Barat. Meski terjadi usaha resistensi dan perimbangan terhadap fenomena ini, namun imbalan-imbalan sesaat budaya kosmopolis Barat terlalu memesona untuk disingkirkan. Sebenarnya, pesona Barat sudah bergaung sejak zaman kolonialisme Belanda. Namun, objek keterpesonaan masyarakat tidak pada “fisik”, pesona Barat saat itu terletak pada kebebasan dan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini jelas terlihat perbedaan antara pesona Barat di zaman kolonial dengan pesona Barat kontemporer. Saat ini, hal-hal yang berbau Barat (makanan, fashion, arsitektur, musik, film dan sebagainya) telah menjadi kiblat. Sejalan dengan itu, media turut memperbesar gairah masyarakat untuk menjadi bagian dari pemuja Barat.
Dalam konteks Indonesia, sistem kapitalisme Orde Baru (Orba) dalam industri media secara umum tidak memberi peluang kepada masyarakat untuk mau menikmati budayanya sendiri ataupun merangsang kegiatan dan kreativitas kultural lokal masyarakat. Secara stuktural, negara tidak memberikan iklim bagi persoalan pembentukan identitas, negosiasi nilai, dan perlawanan terhadap budaya dominan. Pasalnya, Orba menjadi pintu masuk bagi modernisasi, industrialisasi, dan urbanisasi yang diiringi oleh munculnya kultur konsumtif dalam masyarakat.
Modernitas dan globalisasi membentuk masyarakat menjadi semakin seragam atau homogen dengan sistem standarisasi melalui teknologi, hal-hal yang bersifat komersial, dan sinkronisasi kultural terhadap budaya Barat. Modernitas dalam bidang budaya mengalihkan nilai-nilai tradisional dengan nilai-nilai modern. Realitas tersebut dibentuk pada masa Orba, di mana Soeharto memberi kelonggaran khusus pada orang-orang dekatnya menjadi agen-agen media untuk mengusai industri perfilman.
Vissia Ita Yulianto dalam bukunya menjelaskan bagaimana kekuasaan Orba dalam memonopoli media di Indonesia. Sebagai contoh, kebijakan dan kelonggaran yang diberikan Soeharto pada Sudwikatmono yang memperoleh akses khusus untuk mendapatkan kucuran dana dan investasi dari Amerika untuk menjadi pengusaha dalam industri perfilman Indonesia. Sudwikatmono memiliki hubungan khusus dengan Harmoko, terutama sejak 1970 telah menjadi importir film Mandarin dan film Barat terkemuka dan pemilik bioskop 21, yang memiliki outlet di seluruh kota besar di Indonesia. Selain menjadi pengimpor terbesar, pemilik grup bioskop 21 ini memiliki 283 layar dari keseluruhan sebanyak 2.850 yang ada di bawah 2.345 gedung bioskop.[1]
 Dalam hal ini, outlet-outlet tersebut menjadi ujung tombak transmisi budaya yang berpengaruh besar terhadap kesadaran persepsi dan gairah masyarakat luas terhadap modernitas dan globalisasi. Gaya hidup, ideologi kebebasan, prestise dan fashion adalah sebagian nilai-nilai Barat yang ditampilkan melalui media demi meraup keuntungan. Hal ini menandakan bahwa sebenarnya keberadaan budaya pop -yang dihasilkan melalui teknik-teknik industrial produksi massa dan dipasarkan untuk mendapatkan keuntungan dari khalayak konsumen massa- telah sejak lama berkembang di Indonesia.
Seakan telah mengakar, budaya pop merambah ke seluruh lapisan masyarakat, tidak terbatas kelas dan golongan atau status sosial tertentu. Maraknya industri media massa seiring dengan globalisasi menandakan bahwa kapitalisme telah bermain di arena budaya pop dengan memanfaatkan keberadaan remaja sebagai penikmat dan pengonsumsi. Prom Night merupakan ruang konsumsi paling nyata bagi para remaja.
Budaya pop yang erat kaitannya dengan budaya komersil sebagai dampak dari produksi massal turut membangun Prom Night menjadi ikon penting bagi remaja. Sebuah ikon di mana para remaja dapat mengendarai mobil mewah, memakai gaun mahal, pergi ke salon berjam-jam hanya untuk hadir dalam acara tersebut. Hal ini membuat Prom Night dekat dengan kegiatan konsumsi. [2]
Kegiatan konsumsi yang dilakukan banyak remaja demi sebuah Prom Night memang tampak berlebihan. Namun, bagi mereka semua itu tak sebanding dengan kepuasan yang mereka dapatkan dari acara tersebut. Prom Night dan budaya pop merupakan dua hal tidak dapat dipisahkan. Di satu sisi budaya pop menghidupkan Prom Night di kalangan remaja, di lain sisi Prom Night menjadi wadah bagi budaya pop untuk menyebarkan produknya dalam lingkungan remaja melalui kegiatan konsumsi. Konsumsi di sini tidak hanya dipahami sebagai konsumsi nilai, manfaat dan suatu keperluan material, tetapi konsumsi di sini juga dipahami sebagai tanda. Hal itu ditegaskan oleh Mike Featherstone, menurutnya “dalam banyak hal, orang (khususnya remaja) dipandang sedang terlibat dalam permainan tanda yang kompleks, yang menirukan atau menggemakan kejenuhan tanda dalam lingkungan yang terbentuk.[3]
Prom Night merupakan budaya yang berasal dari Amerika. Di negara asalnya acara ini sudah mendarah daging dalam kehidupan remaja. Acara ini dihidupkan melalui budaya pop. Budaya pop seringkali disamakan dengan budaya yang remeh temeh, tidak mendidik, merusak dan kontroversial. Maka tak heran, jika Prom Night menjadi kontroversial karena di dalamnya hidup budaya pop.
Budaya pop (fashion, dansa, musik, film) dipandang didominasi oleh media. Berbagai pilihan muncul berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diambil dari sisi kehidupan lain, yang terdapat dalam film, fashion, periklanan, serta anjuran yang tidak terbatas dari ikonografi perkotaan. Hal inilah yang mengundang daya tarik masyarakat, khususnya remaja.
Remaja dapat didefinisikan sebagai kelompok yang semakin dibentuk oleh pasar. Remaja berada pada masa terjadinya kontradiksi antara nilai-nilai tradisional dan nilai-nilai baru seperti konsumsi. Remaja dibentuk oleh kemunculan budaya konsumen.
Remaja dipandang sebagai kalangan yang menjadi motor utama terbentuknya budaya global. Remaja wajib diperhitungkan sebagai generasi muda, sebagian karena mereka menjadi pasar konsumen yang penting. Kebangkitan generasi muda sebagai sebuah pasar seiring dengan semakin meningkatnya cengkraman budaya pop.
Dibuat dan dikemas secara menarik, serta memiliki sasaran wilayah dalam penyebarannya membuat budaya pop terus hidup dan berkembang, bahkan di sekolah sekalipun. Maka tak heran jika sekolah tak luput dari kehadiran Prom Night. Pasalnya, acara tersebut dihidupkan oleh budaya pop yang kian mendominasi dalam kehidupan sehari-hari. Inilah potret dominasi budaya Barat di institusi pendidikan.



[1] Vissia Ita Yulianto, Pesona Barat: Analisa Kritis-Historis tentang Kesadaran Warna Kulit di Indonesia, (Yogyakarta: Jalasutra 2007), hlm. 109.
[2] Konsumsi lebih dari sekedar aktivitas ekonomi (mengonsumsi produk atau menggunakan komoditas untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan material). Lebih dari itu, konsumsi juga berhubungan dengan mimpi, hasrat, identitas dan komunikasi.
[3] Mike Featherstone, Postmoderinisme dan Budaya Konsumen, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 239.
 
Design by Pocket