Gaya Hidup

Oktober 09, 2012


Bila membahas mengenai masyarakat perkotaan tidak bisa terlepas dari media massa, teknologi, dan segala sesuatu yang kebarat-baratan, yang menjadi tren gaya hidup modern. Masyarakat perkotaan adalah masyarakat yang pluralistik, sehingga penduduknya dapat dikelompokkan dalam berbagai strata. Setiap strata, hingga batas tertentu, terdiri dari sejumlah individu yang memiliki sikap, pola tindakan dan gaya hidup yang sama. A.B. Susanto menyatakan bahwa “media massa berpengaruh besar terhadap gaya hidup masyarakat perkotaan masa kini, karena media massa turut menentukan tren, dengan menampilkan trend setters maupun menampilkan unsur-unsur gaya hidup yang sedang ngetren.[1]
Pada umumnya gaya hidup diartikan sebagai karakteristik seseorang yang berkaitan dengan pola penggunaan waktu, uang, ruang, dan objek-objek yang berkaitan dengan semuanya. Misalnya cara berbicara, cara makan, cara berpakaian, kebiasaan di kantor, kebiasaan berbelanja, kebiasaan di rumah, pilihan teman, hiburan, tata rambut, restoran dan sebagainya.
“Gaya hidup dapat dipahami sebagai sebuah karakteristik seseorang secara kasat mata, yang menandai sistem nilai, serta sikap terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Gaya hidup merupakan kombinasi dan totalitas cara, tata, kebiasaan, pilihan, serta objek-objek yang mendukungnya, dalam pelaksanaannya dilandasi oleh sistem nilai atau sistem kepercayaan tertentu.[2]
Gaya hidup merupakan sesuatu yang memiliki karakteristik, kekhususan dan tata cara dalam kehidupan suatu masyarakat tertentu. Gaya hidup menunjukkan bagaimana orang mengatur kehidupan pribadinya, kehidupan masyarakat, perilaku di depan umum, dan upaya membedakan statusnya dari orang lain melalui lambang-lambang sosial. Gaya hidup juga dapat dilihat dalam dua konteks. Konteks pertama berkaitan dengan identitas.
“Gaya hidup mungkin ditambahkan daftar identitas yang tercakup dalam politik afinitas, sebagai penanda perbedaan: kelas, ras, etnisitas, orientasi seksual, usia, gaya hidup, dan sebagainya. Gaya hidup ini memiliki kaitan dengan subkultur urban atau penggemar, musik, olahraga, dan kesukaan. [3]
            Konteks kedua terkait dengan industri konten. Dalam hal ini, John Hartley menegaskan bahwa “gaya hidup mengacu pada genre pemrograman TV dan majalah yang kepentingan umumnya lebih terpusat pada jurnalisme non-berita yang berkisar mengenai hal-hal rumah tangga, perawatan tubuh, dan konsumerisme.[4] Selain itu, gaya hidup merujuk pada kepekaan konsumen baru yang diidentifikasi sebagai karakter konsumsi modern. Melalui gaya hidup, para konsumen dianggap membawa kesadaran atau kepekaan lebih tinggi terhadap proses konsumsi. Sebagai sebuah mode konsumsi atau sikap konsumsi, hal itu merujuk pada cara orang-orang berusaha menampilkan individualitas mereka dan cita rasa mereka melalui pemilihan barang-barang tertentu dan disusul dengan pembiasaan atau personalisasi barang-barang tertentu, individu secara aktif menggunakan barang-barang konsumsi dengan cara menunjukkan selera atau cita rasa kelompoknya. Gaya hidup dengan demikian merupakan contoh kecenderungan kelompok-kelompok dalam menggunakan barang-barang untuk membedakan diri mereka dengan kelompok lainnya.
Gaya hidup juga dihubungkan dengan status kelas sosial ekonomi. Hal tersebut karena pola-pola konsumsi dalam gaya hidup seseorang melibatkan dimensi simbolik, tidak hanya berkenaan dengan kebutuhan hidup yang mendasar secara biologis. Simbolisasi dalam konsumsi masyarakat modern saat ini mengonstruksi identitasnya, sehingga gaya hidup bisa mencitrakan keberadaan seseorang pada suatu status sosial tertentu.


[1] A.B. Susanto, Potret-potret Gaya Hidup Metropolis, (Jakarta: Kompas, 2001), hlm. 19.
[2] Agus Sachari, Budaya Visual Indonesia: Membaca Makna Perkembangan Gaya Visual Karya Desain di Indonesia Abad Ke-20, (Jakarta: Erlangga, 2007), hlm. 73.
[3] John Hartley, Communication, Cultural, and Media Studies: Konsep Kunci, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), hlm. 95.
[4] John Hartley, Ibid.
 
Design by Pocket