Mitos Kecantikan: Produk Patriarki Mendiskriminasi

November 02, 2012


Pendahuluan

Pada mulanya adalah konstruksi sosial. Apa yang didefinisikan sebagai cantik, modern, dan beradab ditentukan lewat konstruksi sosial. Kepentingan bisnis tentu saja turut menumpang di dalamnya. Siapa yang tidak tahu tentang kecantikan? Semua orang pasti tahu, terutama para perempuan yang selalu diidentikan dengan kata cantik. Sejak zaman dahulu, perempuan sudah dikonstruksikan sebagai makhluk yang cantik, identik dengan keindahan. Meskipun kecantikan selalu dikaitkan dengan perempuan, namun laki-laki turut andil dalam merekonstruksi kecantikan. Konon, kecantikan dianggap sebagai anugerah terindah bagi perempuan. Karena, kecantikan seperti magnet yang mampu menarik perhatian banyak orang.
Selain itu, banyak kisah yang menuturkan kecantikan sebagai penghancur laki-laki, keagungan dan kekuasaan laki-laki dapat jatuh di bawah kakinya. Tidak heran jika dalam mitologi kuno dilukiskan pengaruh seorang perempuan cantik yang mampu membuat laki-laki bersedia berkorban dan melakukan apa saja demi mendapatkan perempuan cantik tersebut. Kisah Julius Cesar dan Cleopatra, Rama dan Shinta, perebutan perempuan cantik antara Qabil dan Habil, perselisihan antara Epimetheus dan Prometheus demi memperebutkan Pandora yang cantik, merupakan beberapa kisah yang berpartisipasi dalam pembentukan mitos kecantikan yang sampai saat ini masih diagung-agungkan. Mitos ini telah berlaku sepanjang sejarah perempuan, sehingga kecantikan dipandang sebagai sesuatu yang objektif dan universal.
Perempuan ingin memiliki kecantikan, dan laki-laki pasti ingin memiliki perempuan yang cantik. Tekanan yang muncul akibat anggapan ini dirasakan oleh perempaun. Perempuan merasa sakit, malu dan sedih karena mitos kecantikan. Hal ini memunculkan rasa cemburu atau iri. Akhirnya, mereka menderita karena persaingan antarsesama. Tidak mengherankan jika saat ini banyak perempuan yang berbondong-bondong menyulap dirinya menjadi “cantik”.
Kecantikan telah dipandang sebagai sesuatu yang sangat berharga, sehingga tak jarang perempuan sangat terobsesi untuk mendapatkan kecantikan. Tempat-tempat kebugaran, spa, salon kecantikan, toko kosmetik dan berbagai institusi kecantikan yang lain menjadi tempat-tempat yang diminati perempuan untuk mengubah dirinya menjadi cantik. Bahkan, mereka tidak segan untuk mengeluarkan biaya yang banyak. Inilah yang dimanfaatkan oleh kapitalis.
Saat ini identitas perempuan berada dalam konstruksi sosial yang diciptakan oleh kaum kapitalis. Bagi kapitalis, kecantikan merupakan salah satu wilayah strategis yang dapat dijadikan objek komoditas. Maka dari itu, mitos-mitos kecantikan benar-benar dikembangkan dan disosialisasikan untuk menumbuhkan keinginan dalam diri perempuan. Berbagai komoditi atau produk kecantikan diproduksi untuk memenuhi kebutuhan perempuan untuk menjadi cantik dan menarik. Ironisnya, majalah maupun iklan dalam dunia kecantikan menjadikan perempuan sebagai target atau sasaran utama pemasaran produknya. Media turut bertanggung jawab dalam hal ini. Nilai-nilai yang terkandung di dalam strategi kapitalisme menyosialisasikan para kaum perempuan agar memperlakukan tubuhnya lebih sebagai objek untuk diamati.

Pembahasan

Saat mendengarkan kata cantik, apa yang terbayang dalam imajinasi kita? Perempuan, itu pasti: putih atau hitam manis, tubuh dengan berat badan ideal, rambut lurus hitam atau ikal, bentuk tubuh tipis dengan hidung bangir, bibir tipis, ada lesung pipi, dan sebagainya. Hampir setiap tahun standar tentang kecantikan ini berubah-ubah. Lalu pertanyaannya, menurut siapakah standar kecantikan dibuat, dan untuk siapa?
Naomi Wolf menggambarkan keberhasilan gerakan feminisme pada awal 1970 yang mampu meraih hak-hak hukum dan reproduksi, di samping mendapatkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Akan tetapi, keberhasilan tersebut tidak diikuti dengan kebebasan kaum perempuan untuk merasa nyaman dan jujur dengan tubuhnya. Di sini kaum perempuan masih terbelenggu dengan citra kecantikan.
Sejak dahulu tubuh perempuan selalu dijadikan objek budaya patriarki yang makin direkonstruksi oleh kaum kapitalis yang mencari keuntungan dari tubuh perempuan. Objektivikasi terhadap tubuh perempuan juga perlu diwaspadai, karena tubuh perempuan dilepaskan dari pribadi, karakter, dan pikirannya hanya untuk menjadi seonggok tubuh.
Mitos-mitos yang diciptakan oleh budaya patriarki mulai bisa dilawan oleh perempuan, tapi seperti yang dikatakan oleh Naomi Wolf dalam bukunya The Beauty Mith, sampai sekarang ini perempuan belum bisa melepaskan diri mitos kecantikan. Kecantikan menjadi penindas baru bagi perempuan, mungkin nantinya bisa menggantikan posisi budaya patriarki.
Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Hal ini memiliki keterkaitan dengan feminisme marxis, di mana perempuan dianggap sebagai properti semata. Penafsiran tentang tubuh perempuan sering direalisasikan melalui iklan-iklan di media massa, baik itu televisi, ataupun majalah-majalah (majalah perempuan maupun laki-laki), bahkan merambah ke bacaan anak-anak. Dengan berbagai wacana bias gendernya, tubuh perempuan sering dikonotasikan dengan kecantikan, keindahan, dan penuh estetika.

Fakta Berbicara: Mitos Kecantikan yang Menindas

Banyak pengalaman-pengalaman pekerja perempuan yang mengalami diskriminasi hanya karena persoalan kecantikan. Dengan menggunakan standarisasi yang disebut PBQ (A Professional Beauty Qualification) atau Kualifikasi Kecantikan Professional, perusahaan-perusahaan membuat seolah-olah tidak terjadi diskriminasi terhadap perempuan, dengan alasan bahwa PBQ merupakan syarat untuk melakukan kerja yang mereka inginkan. Oleh standar tersebut kaum perempuan dipaksa untuk selalu memikirkan kecantikan mereka. Di luar standar tersebut, maka perempuan tidak dikategorikan cantik. Dari beberapa kasus pemutusan hubungan kerja yang dialami oleh kaum perempuan, sebagian besar disebabkan oleh tidak terpenuhinya syarat-syarat kecantikan yang telah ditentukan oleh perusahaan.
Pelecehan seksual terhadap perempuan di tempat kerja juga sering memanen kekalahan di meja hijau, karena paradigma hukum yang dipakai selama ini adalah paradigma hukum yang maskulin. Kecantikan atau seksualitas tubuh perempuan selalu dianggap sebagai provokasi terjadinya pelecehan seksual terhadap perempuan itu sendiri.
Mitos kecantikan sangat lekat dengan kebudayaan. Perempuan selama ini selalu diposisikan sebagai makhuk yang dilihat dan dinilai oleh pria. Stereotip-stereotip (pencitraan) tentang perempuan diciptakan untuk semakin dekat dengan mitos kecantikan, sehingga perempuan hanya mempunyai dua pilihan: memiliki pikiran atau memiliki kecantikan.
Mitos kecantikan juga disisipkan lewat religiusitas. Tatanan masyarakat menggunakan religiusitas untuk mengontrol tubuh perempuan dan tidak mendukung keterlibatan perempuan dalam dunia publik yang sekular. Di samping itu bahasa-bahasa religius sering digunakan dalam buku-buku tentang diet dan perempuan. Agama patriarkal telah berhasil mengontrol seksualitas kaum perempuan dengan berbagai macam mitos-mitos seputar seksualitas perempuan, seperti mengukuhkan pentingnya keperawanan bagi kaum perempuan. Jika keperawanan perempuan hilang, maka ia dikatakan reject, tidak cantik (dalam hal ini kemoralannya) dan kerap disingkirkan.
Hal tersebut mambuat para perempuan dihantui rasa takut, karena harus selalu menjaga keperawanannya yang diwujudkan dalam bentuk selaput dara. Seksualitas perempuan didefinisikan dan dikonstruksikan menjadi sesuatu yang negatif; moralitas pun kerap diukur dari tubuh dan seksualitas perempuan. Mitos kecantikan yang setiap hari disuguhkan kepada masyarakat -khususnya kaum perempuan- lewat berbagai macam media yang diperkuat dengan budaya patriarkhi, menyebabkan kaum perempuan terjebak pada keinginan untuk selalu tampil cantik dan menjadi sangat memuja berat badan ideal.



Obsesi untuk selalu ingin cantik mendorong kaum perempuan merelakan tubuhnya terbaring di atas meja-meja operasi plastik dan bedah komestik serta membiarkan para dokter berkreasi atas tubuh mereka. Perhatikan gambar di atas, gambar tersebut merupakan bukti nyata kerugian yang dialami perempuan. Dengan malakukan operasi plastik mereka berusaha memenuhi tuntutan standar kecantikan yang berlaku di masyarakat. Serangan kecantikan yang bertubi-tubi terhadap kaum perempuan telah membiarkan terjadinya kekerasan hak asasi terhadap tubuh perempuan. Mengutip tulisan Naomi Wolf, “Setelah melampaui mitos kecantikan, perempuan tetap akan disalahkan karena penampilan mereka. Perempuan akan disalahkan oleh siapa saja yang merasa perlu untuk menyalahkan mereka. Perempuan “cantik” tidak menang di atas mitos kecantikan.”
Dari sudut pandang multikultural, relasi antara kepentingan pasar dan budaya patriarki, sepenuhnya telah memasukkan sosok perempuan dalam mitos kecantikan. Mitos sering digunakan untuk dapat mengontrol sepenuhnya tubuh perempuan. Sejak kecil seorang anak perempuan dibesarkan dengan mitos tentang ibu, kepatuhan dan kecantikan. Persepsi kecantikan dengan detail meresap dalam relung kesadaran perempuan, melalui mekanisme sosialisasi.

Kecantikan: Dari Mitos Hingga Ideologi

Ideologi kecantikan membawa elemen konstruksi perempuan cantik. Pun secara definitif, pesan ‘kecantikan’ telah mengafirmasi sosok perempuan cantik dengan imajinasi laki-laki. Mitos kecantikan secara telak menyerang perempuan dengan segenap kompleksitas kultural. Definisi ”cantik” lantas dipuja dan diamini seluruh perempuan sejagat. Di negeri ini, dalam kondisi masyarakat kita yang menyukai hal-hal serba visual, gelombang iklan kecantikan yang memonopoli makna cantik hadir sebagai media untuk melegitimasi bahwa seorang perempuan harus langsing atau sintal, berkulit mulus, serta rambut indah.
Dari iklan-iklan dan gebyar sinetron di televisi itulah para perempuan ”mengukur” dirinya dengan prototipe ”cantik” yang diciptakan oleh iklan dan berbagai acara itu. Ironisnya, mayoritas perempuan relatif merasakan adanya kesenjangan antara citra tubuh ideal dan tubuh ”nyata” dirinya. Karena merasa ”tak puas” dengan apa yang dimilikinya, baik itu rambut, wajah, tinggi badan, maupun bentuk tubuh, kerap kali sang perempuan akhirnya menjadi tidak percaya diri, sedih, kecewa, dan marah. Perasaan negatif itu muncul karena merasa dirinya tidak seideal dengan apa yang dicitrakan di televisi, iklan, dan medium lainnya.
Problema makna cantik ini memang bukan persoalan sepele, karena menghujam langsung ke arah pemahaman atau persepsi seseorang, yang muaranya akan memengaruhi kepercayaan diri orang tersebut. Jika kepercayaan diri terpengaruh, akibatnya sangat mengkhawatirkan, sebab bisa jadi seumur hidupnya perempuan tersebut selalu merasa minder dan tidak bisa mengaktualisasikan bakat serta kemampuannya.
Namun, ada apa sebenarnya yang terjadi hingga “cantik” menjadi semacam “kewajiban” bagi perempuan? Dalam kajian feminisme, pandangan semacam itu muncul karena konstruksi budaya masyarakat yang masih sangat kapitalis-patriakis. Budaya masyarakat yang semacam itu selalu memandang tubuh perempuan sebagai objek. Jerat kapitalis-patriarkis ini memang mengkonstruksi body image (citra tubuh) sebagai “legitimasi eksistensi”, sehingga perempuan harus terus mengidealkan tubuhnya untuk bisa diakui eksistensinya.
Kita melihat bagaimana sinetron, iklan, dan film terus mengampanyekan dan memperkuat makna cantik yang monopolistik tersebut. Prototipe perempuan cantik begitu kental terasa. Tidak ada satu pun bintang sinetron perempuan yang sosok dirinya berada di luar klasifikasi “cantik”. Kalau pun ada, perempuan yang tidak memenuhi syarat “cantik” itu pasti diberi peran-peran remeh, semisal pembantu.
Kampanye luar biasa tentang monopoli definisi atau makna cantik tersebut tidak lain adalah untuk kepentingan ekspansi produk-produk kecantikan. Sekali lagi, kepentingan bisnis bermain di sini. Dengan gencarnya produksi definisi “cantik” tersebut, kaum perempuan akan selalu merasa kurang ideal sesuai dengan citra cantik yang diproduksi lewat iklan produk kecantikan yang setiap saat menyergap kita. Dengan merasa kurang ideal itulah, para perempuan lantas berduyun-duyun membeli produk kecantikan, tidak peduli berapapun harganya.
Dari sini jelas dinyatakan bahwa reproduksi definisi ”cantik” secara terus-menerus telah menempatkan perempuan sebagai obyek yang tidak otonom terhadap tubuhnya sendiri, karena citra ideal tentang tubuh ditentukan oleh kekuatan luar, yaitu iklan, sinetron, dan medium sejenisnya.

Penutup

Gencarnya serangan kecantikan semakin memojokkan kaum perempuan dalam ruang publik dan politik. Setiap hari kaum perempuan diyakinkankan dengan mitos-mitos kecantikan yang semakin menjerumuskan kaum perempuan dalam jurang pemujaan terhadap kecantikan. Mitos kecantikan digunakan sebagai senjata politik untuk menghambat kemajuan kaum perempuan, yang kemudian lebih sering disebut sebagai citra kecantikan perempuan. Mitos kecantikan telah ada sebelum Revolusi Industri sama tuanya dengan patriarki.
Dampak mitos kecantikan yang luar biasa harus dipikul perempuan. Berbagai tuntutan ini telah menghancurkan perempuan, baik secara psikis maupun fisik. Waktu, usaha, dan uang harus dikeluarkan perempuan untuk mempercantik penampilannya. Sedangkan untuk laki-laki tidak ada tuntutan seperti itu.
Seharusnya para perempuan menyadari bahwa standar kecantikan tidak mungkin dicapai karena selalu berubah. Perempuan akan bebas dari mitos kecantikan ketika dapat memilih untuk menggunakan wajah, tubuh, dan pakaian sebagai salah satu bentuk yang paling sederhana dari ekspresi diri. Setiap perempuan itu unik. Tak peduli warna kulit, bentuk hidung, bibir, mata dan rambut, pendek atau tinggi, kurus atau gemuk, mitos kecantikan yang selama ini menjadi bumerang, tidak akan berarti apa-apa. Karena, pada dasarnya setiap perempuan itu cantik. Jangan membandingakn diri sendiri dengan perempuan lain agar tidak merusak kurikulum Tuhan.
Selain itu, perempuan harus dibiasakan dan membiasakan diri untuk menjadi diri sendiri. Dengan menjadi diri sendiri, seorang perempuan akan merasa istimewa dan nyaman dengan tubuhnya. Yang jelas, jika perempuan mampu berdamai dengan dirinya, maka ia akan merasa cantik. Dalam hal ini, sosialisasi sejak dini sangat dibutuhkan supaya dapat memupuskan mitos kecantikan yang merupakan produk dari budaya patriarki.

Daftar Pustaka

Buku:
Melliana, Anastasia. 2006. Menjelajah Tubuh: Perempuan dan Mitos Kecantikan. Yogyakarta: Lkis.
Wolf, Naomi. 2004. Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan. Niagara.

Jurnal:
Misiyah. 2006. Pengalaman Perempuan: Sumber Pengetahuan yang Membebaskan. Jurnal Perempuan (48): 39-49.
Swastika, Alia. 2009. Seksualitas, Tubuh, dan Citra Baru Perempuan. Jurnal Perempuan (62): 53-73.

Internet:
http://blog.rawins.com/2010/02/perempuan-dan-kebertubuhan.html. Diakses pada 12 Juni 2010, pukul 22.53.
 
Design by Pocket