Gerakan Keagamaan

November 02, 2012


Agama lahir untuk manciptakan manusia beradab. Agama sebagai sistem nilai tersebut memberi kejelasan kepada manusia tentang apa yang baik dan buruk, yang mendasari seluruh kegiatannya dalam menciptakan peradaban. Namun, perlu diperhatikan bahwa agama yang ada di bumi tidak hanya satu melainkan terdiri dari berbagai agama yang masing-masing mengklaim ajarannya paling benar. Pengklaiman semacam itu sebenarnya wajar dan menjadi hak penganutnya, akan tetapi jika tidak diletakan pada posisi yang proposional akan menimbulkan konflik. Apalagi jika sampai menafikan eksistensi agama lain.
Agama sebagai pedoman dasar kehidupan umat manusia, maka seharusnya agama dapat menjadi tempat yang jauh dari persoalaan-persoalan rumit duniawi dan menjadi penyelamat bagi umatnya. Namun pada kenyataannya, banyak persoalan yang menyangkut keagamaan yang sebenarnya muncul bukan karena agama itu sendiri, melainkan muncul dari penganutnya. Penganut agama saat ini bukan lagi menjadi pengikut Tuhan mereka, melainkan menjadi penghancur agama itu sendiri.
Peristiwa tersebut merupakan persoalan krusial yang dihadapi komunitas beragama kontemporer. Di Indonesia, kemunculan lembaga-lembaga agama yang anarkis kerap memicu konflik internal antarpenganut agama. Peristiwa konflik organisasi keagamaan dilataribelakangi oleh kemunculan sekte, mazhab, atau aliran agama.
Pudarnya rezim Orde Baru membuka simpul kekuasaan yang selama ini mengontrol kehidupan masyarakat. Euforia kebebasan ini dirayakan masyarakat dengan aneka ekspresi politik seperti lahirnya kebijakan multipartai. Sementara di wilayah agama, ekspresi tersebut ditandai dengan menjamurnya organisasi keagamaan. Lembaga-lembaga tersebut bisa jadi merupakan revisi, kritik, atau bahkan titik balik terhadap ajaran-ajaran sebelumnya.
Kemunculan organisasi keagamaan bermuara pada cara beragama (ekspresi) dalam merespon berbagai persoalan kontemporer untuk memperlakukan khazanah tradisi warisan para ulama klasik, bahkan terhadap ajaran pokok seperti kitab suci dan sunah. Perbedaan cara beragama ini termanifestasikan dalam hubungan sosial serta tata cara interaksi dengan sesama yang termanifestasi dalam gagasan, ide, bahkan busana.
Kemunculan organisasi keagamaan juga diakselerasi oleh semakin derasnya arus modernisasi-industrialisasi yang masuk dalam kehidupan masyarakat, dan merespon modernisasi secara berbeda-beda. Ada model sikap organisasi keagamaan, yaitu kelompok yang resisten terhadap modernisme. Model ini melahirkan gerakan-gerakan keagamaan revivalis, fundamentalis, islamisme, dan Islam adat.
Di samping itu, lembaga sosial, termasuk organisasi agama, biasanya mengalami empat tahap siklus muncul dan memudar. Pertama, periode pengorganisasian awal, yaitu periode munculnya aliran keagamaan sebagai jawaban terhadap kebutuhan jemaahnya. Pada tahap ini kebutuhan akan lembaga mulai muncul. Oleh karena itu, masyarakat mulai mengorganisasi dirinya dengan memilih pemimpin, membuat aturan, membagi peran, dan fungsi. Kedua, tahap efisiensi di mana lembaga mulai dikenal dan diterima masyarakat karena fungsi-fungsi dan karyanya di tengah masyarakat. Ketiga, tahap formalisme yang terjadi ketika berbagai aturan dan ideologi organisasi telah merasuk ke dalam struktur lembaga. Keempat, tahap disorganisasi. Gejala ini muncul akibat formalisme. Pada tahap ini lembaga mengalami krisis karena kehilangan fleksibilitas dan menjadi kurang vital dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Pada tahap terakhir ini, organisasi sosial, termasuk organisasi agama sering tersandung pada repetisi (pengulangan) dan nostalgia gerakannya sendiri yang semula merupakan inovasi.
Sejarah mencatat dari tubuh organisasi-organisasi keagamaan yang mengalami formalisme muncul kebangkitan kelompok-kelompok dinamik yang mengklaim sebagai bentuk murni etika keagamaan tradisional yang telah diabaikan organisasi induknya. Dengan teori siklus lembaga, kemunculan kelompok aliran agama menjadi sebuah keniscayaan sosiologis yang wajar dalam masyarakat modern yang semakin plural.
Emile Durkheim dalam buku The Elementary Forms of Religious Life (1912) mensinyalir bahwa organisasi keagamaan lahir sebagai asal-usul sosial, bukan merupakan asal-usul supranatural. Lembaga-lembaga keagamaan terbentuk secara historis dan sosiologis, karena itu sebuah kelompok agama (religious groups) hanya dapat bertahan sejauh bisa berkomunikasi dengan kebutuhan masyarakat bersangkutan.
Organisasi-organisasi keagamaan kini lebih sibuk dengan agenda-agenda besar dan pragmatis seperti pilpres, pilkada, dan isu demokrasi. Padahal, jauh di akar rumput ada puluhan atau bahkan jutaan jemaah yang masih bergelut dengan persoalan ajaran yang tak kunjung dipahami dan menuai ambiguitas di tengah perubahan sosial budaya, politik, dan teknologi yang kian dinamik. Oleh karena itu, bukan hal aneh lagi jika di Indonesia sering terjadi kericuhan yang disebabkan oleh suatu lembaga keagamaan. Ataukah mungkin sikap anarkis orang-orang yang ada di dalam beberapa lembaga keagamaan hanya sebagai pelampiasan rasa ketidakpastian dan kebingungan dalam menafsirkan suatu ajaran. Semua ini terjadi karena kurangnya interasksi sosial, sehingga tidak terwujud sebuah hubungan timbal balik yang menimbulkan benturan-benturan yang melahirkan konflik. Interaksi yang tidak sempurna membuat ketidakseimbangan. Penafsiran ajaran yang satu dengan yang lain dihasilkan dari sosialisasi yang tidak sempurna.
Hal ini tampaknya dapat dijadikan salah satu referensi untuk belajar merefleksikan dan membangun wajah organisasi keagamaan yang lebih manusiawi, lebih santun, lebih menghargai hak hidup manusia-manusia yang lain walaupun memiliki banyak perbedaan, tanpa harus menyingkir-nyingkirkannya dengan alasan bahwa yang lain itu tidak lebih benar daripada yang dianutnya, serta lebih memusatkan perhatian kepada upaya-upaya untuk menjalin kerjasama menghadapi problem-problem sosial yang konkret.
Dalam mempelajari serta memahami konsep keagamaan tidak selalu sama dan mengahasilkan titik temu untuk menjawab segala persoalan yang bersangkutan dengan hal tersebut. Oleh karena itu, setiap orang boleh memberikan pengertian atau tafsiran menurut pendapatnya sendiri-sendiri selama tidak terlepas dari ajaran-ajaran keagamaan. Ajaran agama sangat multi tafsir. Apalagi jika agama sudah dilembagakan. Setiap penganut agama yang ada di dalamnya dapat secara bebas menafsirkan ajaran agama yang dianutnya. Agama bukan lagi dilahirkan sebagai sesuatu yang bersifat murni, tapi kini agama dilahirkan untuk dilembagakan, maka agama dapat dicampurtangankan.
Teori struktural-fungsional yang merupakan embrio dari teori konflik, kendati dianggap mempunyai pendangan yang berbeda, akan tetapi pada hakekatnya keduanya saling mengisi. Artinya pada kondisi yang dimaksud dalam teori struktural-fungsional akan dimonitor dan dikoreksi oleh teori konflik dan begitu juga sebaliknya, sehingga dalam merespon masalah sosial keduanya saling memberi dan menerima.[1] Seharusnya organisasi keagamaan yang ada, memiliki landasan penghargaan terhadap lembaga lainnya supaya mampu memberikan pedoman bagi tingkah laku sehari-hari manusia yang penuh damai, toleran, bekerjasama, anti perang, dan mengedepankan pertumbuhan pribadi. Fenomena agama-agama yang telah melahirkan penderitaan manusia: perang, pertikaian, pertentangan, saling jegal, apalagi kematian akibat saling bunuh, adalah agama-agama yang kehilangan akal.
Dalam buku Teori Sosial Kritis, (2003) Ben Agger menyatakan bahwa tidak seharusnya melalaikan konsep yang telah diajarkan oleh agama mengenai dasar pemahaman tentang pembangunan (kosmos) yang tetap memegang etika transcendental-religius di samping moral kesusilaan dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat. Untuk merealisasikan keinginan terwujudnya negara modern (maju) yang akan mendatangkan kehidupan yang lebih sejahtera lahir maupun batin, maka mengaplikasikan ajaran agama adalah sebuah keharusan yang tak dapat diganggu gugat, di samping harus mampu melahirkan manusia-manusia yang bercirikan dengan wataknya masing-masing. Pada dasarnya manusia selalu membutuhkan bantuan dan uluran tangan orang lain. Dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut, mereka senantiasa mengadakan interasksi sosial, sehingga akan terwujud sebuah hubungan timbal balik, interaksi ini suatu ketika akan menimbulkan benturan-benturan yang tidak menutup kemungkinan justru menjadi konflik.
Di Indonesia, agama memiliki peran penting dalam lembaga, baik lembaga agama, politik, pendidikan, maupun ekonomi. Agama telah membaur ke dalam organnisasi-organisasi. Semuanya mempunyai kesamaan kepentingan untuk menyeimbangkan, karena apabila dibiarkan tanpa ada penyatuan dari pihak pemerintah bisa menimbulkan terjadinya konflik yang berkepanjangan, yang menyebabkan rusaknya sendi-sendi tatanan sosial bangsa Indonesia. Untuk itu, diperlukan organisasi keagamaan untuk memberikan pemahaman secara komprehensif bagi umatnya, sehingga tidak menyebabkan terjadinya multitafsir dalam meganut suatu paham. Sebagaimana pada Konstitusi negara kita, bahwa setiap individu diberikan kebebasan dalam memeluk agama yang diyakini.




[1]  Dahrendorf, Teori Konflik
 
Design by Pocket