DILEMA PENDIDIKAN DAN PENGANGGURAN: PENGANGGURAN TERDIDIK TEREKSKLUSI

November 20, 2012



Abstrak
Dalam dunia pendidikan, masalah terbesar di Indonesia yang harus menjadi prioritas penyelesaian adalah kualitas dan mutu. Artinya, kualitas sistem dan metode pendidikan, tenaga pendidik, kesejahteraan tenaga pendidik, metode mengajar, dan infrastrukturnya harus ditingkatkan. Namun, ada satu hal yang perlu dicermati, yakni peningkatan kualitas pendidikan adalah sebagai titik penentu yang mempertinggi kesempatan orang-orang terdidik memperoleh pekerjaan. Hal tersebut bertujuan supaya dapat mengurangi angka pengangguran terdidik di Indonesia dan menekan laju pertumbuhan masyarakat tereksklusi.

Pengagguran 
Pengangguran atau tuna karya adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya.[1] Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsinya yang menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran dan kesejahteraan. Pengangguran yang berkepanjangan juga dapat menimbulkan efek psikologis yang buruk terhadap penganggur dan orang-orang di sekitarnya.
Terdapat beberapa jenis pengangguran. Pertama, pengangguran friksional, yakni pengangguran yang sifatnya sementara. Pengangguran ini disebabkan karena adanya kendala waktu, informasi dan kondisi geografis antara pelamar kerja dengan pembuka lamaran pekerna penganggur yang mencari lapangan pekerjaan tidak mampu memenuhi persyaratan yang ditentukan pembuka lapangan kerja. Semakin maju suatu perekonomian suatu daerah akan meningkatkan kebutuhan akan sumber daya manusia yang memiliki kualitas yang lebih baik dari sebelumnya.
Kedua, pengangguran musiman, adalah keadaan menganggur karena adanya fluktuasi kegiaan ekonomi jangka pendek yang menyebabkan seseorang harus menganggur. Contohnya seperti petani yang menanti musim tanam, tukan jualan duren yang menanti musim durian. Ketiga, pengangguran siklikal, pengangguran yang menganggur akibat imbas naik turun siklus ekonomi sehingga permintaan tenaga kerja lebih rendah daripada penawaran kerja.[2] Namun, pada umumnya pengangguran disebabkan karena jumlah angkatan kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan pekerjaan yang mampu menyerapnya.
Pengangguran dan Pendidikan
Masalah kependidikan yang serius dihadapi oleh negara berkembang seperti Indonesia, antara lain berkisar pada masalah mutu pendidikan, kesiapan tenaga pendidik, fasilitas, dan lapangan pekerjaan. Mengangkat masalah yang terakhir, menimbulkan pandangan lain. Kekurangtersediaan lapangan pekerjaan akan berimbas pada kemapanan sosial dan eksistensi pendidikan dalam perspektif masyarakat.
Saat ini, masyarakat memosisikan pendidikan sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan melalui pemanfatan kesempatan kerja yang ada. Artinya, tujuan akhir program pendidikan bagi masyarakat pengguna jasa pendidikan, adalah supaya mampu mendapatkan lapangan kerja yang diharapkan. Atau, setidaknya setelah lulus dapat bekerja di sektor formal yang memiliki nilai ‘gengsi’ lebih tinggi dibanding sektor informal. Lapangan pekerjaan merupakan indikator penting tingkat kesejahteraan masyarakat dan sekaligus menjadi indikator keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Maka, merembaknya isu pengangguran terdidik menjadi sinyal yang cukup mengganggu bagi perencana pendidikan di negara-negara berkembang pada umumnya, khususnya juga di Indonesia.
Penyebab utama terjadinya pengangguran terdidik adalah kurang selarasnya perencanaan pembangunan pendidikan dan perkembangan lapangan kerja, sehingga lulusan institusi pendidikan tidak terserap ke lapangan kerja. Ada faktor-faktor lain pula yang menyebabkan besarnya angka pengangguran terdidik, antara lain preferensi atau pemilihan jenis pekerjaan yang diminati, dan kurang sesuainya kualifikasi angkatan kerja terdidik dengan kebutuhan penyedia lapangan pekerjaan. Semakin besarnya angka pengangguran terdidik secara potensial dapat menyebabkan dampak buruk, di antaranya timbulnya masalah sosial akibat pengangguran, pemborosan sumber daya pendidikan, menurunnya penghargaan dan kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan.
Pengangguran Terdidik dan Eksklusi Sosial
Masalah ketenagakerjaan di Indonesia kembali memunculkan satu problem yang signifikan, yaitu besarnya angka pengangguran terdidik. Yang dimaksud dengan pengangguran terdidik adalah mereka yang mempunyai kualifikasi lulusan pendidikan yang cukup, namun masih belum memiliki pekerjaan.
JUMLAH PENGANGGURAN TERDIDIK DI INDONESIA
TAHUN
Februari 2007
Februari 2008
Februari 2009
409.900 orang
626.200 orang
9,259.000 orang







Dari tabel di atas dapat dilihat peningkatan jumlah pangangguran dari tahun 2007-2009. Pada Februari 2007 jumlah penganggur mencapai 409.900 orang, dan meningkat lagi pada Februari 2008 menjadi 626.200 orang. Sedangkan pada Februari 2009, BPS mencatat jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 9,259.000 orang. Dari jumlah itu, jumlah pengangguran dengan pendidikan Universitas mencapai 626.600 orang, Diploma sebesar 486.400 orang, SMA 1.337.600 orang, SMA umum 2.133.600 orang.[3]
Para penganggur ini sebenarnya memiliki latar belakang pendidikan yang cukup, namun tidak terserap oleh pasar kerja. Yang memrihatinkan, jumlah pengangguran terdidik meningkat dari tahun ke tahun. Sebagian besar Sarjana yang menganggur berasal dari jurusan sosial nonkependidikan, agama, dan sebagian lagi jurusan eksak (MIPA). Dari jurusan eksak dan teknik hanya sedikit menyumbang jumlah pengangguran. Itu karena sebagian besar jurusan eksak dan teknik sudah terserap di berbagai industri dan perusahaan BUMN. Fenomena meningkatnya jumlah pengangguran terdidik menimbulkan keprihatinan. Selain menunjukkan adanya ketimpangan, hal tersebut juga memperlihatkan kegagalan pemerintah dalam menciptakan sistem pendidikan bagi rakyatnya.
Hal tersebut dapat dilihat dari sudut pandang eksklusi sosial. Eksklusi sosial adalah keadaan di mana individu tidak dapat mengakses sumber daya yang merupakan hak-haknya. Dalam pengertian yang diberikan oleh Robin Peace eksklusi sosial merupakan permasalahan multidimensional, mengenai keterbatasan terhadap sumber daya atau pengingkaran terhadap hak sosial, maka dari itu eksklusi sosial dapat dikatakan sebuah proses yang dimamis.[4]
Konsepsi mengenai eksklusi sosial muncul pertama kali di Prancis pada tahun 1974 untuk menyebut beberapa kategori kelompok individu yang pada saat itu tidak diproteksi oleh jaminan sosial, tetapi dilabelkan permasalahan sosial. Banyak definisi yang menghubungkan eksklusi sosial dengan kemiskinan, dengan alasan bahwa yang menyebabkan individu tidak memiliki akses terhadap sumber daya berasal dari kemiskinan yang dialaminya.
Eksklusi sosial bisa dikategorikan menjadi dua, yaitu eksklusi pasif dan aktif. Eksklusif aktif disebabkan oleh adanya kebijakan baik dari pemerintah maupun agen lainnya yang dengan sengaja mangeksklusi sekelompok orang dari sebuah kesempatan. Misalnya, sistem pendidikan yang dibuat pemerintah sengaja dilakukan “setengah hati” agar lulusan yang dihasilkan tidak memiliki kompetensi yang cukup untuk bersaing di dunia kerja, sehingga saat pelamar mengajukan diri pada sebuah perusahaan ia ditolak. Selain itu, karena minimnya kualitas SDM yang dihasilkan sistem pendidikan mangakibatkan sejumlah perusahaan mengeruk keuntungan dengan meminta uang pada para pelamar sebagai jaminan supaya mendapatkan pekerjaan. Sedangkan eksklusi pasif terjadi karena akses dari sebuah keadaan tanpa disengaja, misalnya sekelompok orang yang tidak memiliki pekerjaan karena terpinggirkan dari proses pendidikan.
Adit, Potret Pengangguran Tereksklusi
Namanya Adityo, orang-orang kerap memanggilnya Adit. Lelaki berparas lugu ini sudah lebih dari setahun tinggal di Jakarta, tepatnya di Penggilingan, Jakarta Timur. Ia datang ke Jakarta untuk mangadu nasib. Tujuan utamanya adalah mendapatkan pekerjaan yang layak.
Lalaki berusia 32 tahun ini adalah seorang lulusan sebuah universitas swasta di Semarang. Dengan modal ijazah dan IPK 3, 36 ternyata tidak cukup untuk memperoleh pekerjaan. Pasalnya, saat ini yang dibutuhkan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak adalah uang. Setiap kali melamar pekerjaan ia diminta untuk membayar sekian juta supaya dapat diterima.
“Saya di Jakarta udah hampir dua tahun. Selama tinggal di sini, saya pernah kerja di pabrik. Penghasilannya lumayan untuk saya sendiri. Yaaah…, untungnya saya belum berkeluarga, jadi gak repot-repot banget. Tapi sebenernya saya miris juga kalo ibu bapak di kampung sampai tau di Jakarta saya bekerja sebagai buruh konveksi, malah sekarang jadi pengangguran. Saya udah dua bulan nganggur. Selama dua bulan saya bergantung sama temen satu kontrakan. Dia yang bayar kontrakannya, dia juga yang nanggung biaya hidup saya,” tutur Adit.
            Adit menyatakan bahwa ia malu jika orang lain tahu ternyata ia adalah seorang sarjana. Menurutnya, menjadi pengangguran terdidik bukan hal yang bisa dibanggakan. Apalagi saat ini dirinya hanya menjadi beban bagi orang lain. Selama dua bulan menganggur ia tidak hanya berdiam diri, ia bagaikan kutu loncat, ke perusahaan ini dan itu untuk menawarkan diri menjadi pegawai. Namun, tidak ada satu pun perusahaan yang menerimanya, kecuali pabrik mebel.
            “Dua minggu lagi saya bekerja di pabrik mebel. Rencananya saya bekerja di sana hanya sampai kontrak habis. Itu pun karena saya ingin mengganti biaya hidup saya selama menganggur yang ditanggung temen saya. Setelah berhenti kerja di sana, saya mau pulang kampung. Lebih baik saya jadi petani di kampung, daripada jadi pengangguran di Jakarta.[5]
Pengagguran: Korban Politik dan Budaya
Persoalan pengangguran, manurut Paulo Freire, selain disebabkan persoalan budaya dan sistem pendidikan, juga kental dengan nuansa politis. Sebagaimana persoalan buta huruf dan kemiskinan, pengangguran adalah isu sensitif. Isu itu akan terus digulirkan para caleg, politisi parpol, capres dan cawapres, guna meningkatkan popularitas mereka. Problem pengangguran hanya selalu dijadikan "kuda troya" elite dalam meraih kedudukan dan kekuasaan.
Bagi pemerintah, isu pengangguran adalah ancaman. Sebab, isu itu secara langsung menjadi indikator berhasil-tidaknya pembangunan. Semakin tinggi angka pengangguran, semakin mudah bagi oposisi menjatuhkan kredibilitas pemerintah. Karena terlampau sibuk mengurusi oposisi, pemerintah sering lupa pada tugasnya menekan laju pengangguran.
Aspek politik dan pemerintahan yang selalu kontras dengan pengangguran, masih diperparah dengan budaya gengsi, dan rendahnya etos kerja kaum muda terdidik. Para sarjana itu, merasa gengsi bila tidak bekerja di perkantoran, atau menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Akibatnya, mereka tidak mampu melihat potensi diri dan kompetensi yang dimiliki.
Pada aspek pendidikan, pengangguran disebabkan tidak adanya relevansi dan kesejajaran kurikulum pendidikan dengan dunia kerja. Kurikulum yang dibuat, belum mampu menciptakan dan mengembangkan kemandirian SDM, yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Begitu lulus, mereka kebingungan karena ilmu yang dimilikinya tidak dapat digunakan untuk mendapatkan pekerjaan.
Kesimpulan
Jika dikaji dari perspektif sosiologi, meningkatnya pengangguran terdidik jelas membahayakan. Para penganggur itu sangat rentan melakukan tindak kriminalitas. Bahkan dengan kemampuan intelektual yang dimiliki, para sarjana pengangguran itu bisa menciptakan kejahatan baik di dunia nyata maupun dunia maya (internet). Seperti pembobolan bank melalui situsnya, menyebar virus komputer yang mematikan, sampai mengacak-acak data kependudukan. Intinya, pengagguran menciptakan masyarakat yang tereksklusi.
Ada 3 hambatan yang berdampak pada peningkatan angka pengangguran, yaitu hambatan kultural, mutu dan relevansi kurikulum pendidikan, dan pasar kerja. Hambatan kultural menyangkut budaya dan etos kerja. Sementara masalah kurikulum pendidikan adalah belum adanya mutu dan relevansi kurikulum pengajaran di lembaga pendidikan yang mampu menciptakan dan mengembangkan kemandirian sumber daya manusia (SDM) supaya sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.
Sedangkan hambatan pasar kerja lebih disebabkan rendahnya kualitas SDM untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja. Namun fakta cenderung menunjukkan, sistem pendidikan Indonesia jauh lebih produktif dalam mencetak lulusan ketimbang lapangan kerja yang tersedia. Hal inilah yang menyebabkan terciptanya masyarakat tereksklusi, pengangguran terdidik.
Daftar Pustaka
Buku:
Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan, Yogyakarta: Lkis, 2005.
Freire, Paulo, Pendidikan Mayarakat Kota, Yogyakarta: Lkis, 2003.
Nagip, Laila, Pengembangan Sumber Daya Manusia: di antara peluang dan tantangan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.
Pora, Yusran, Selamat Tinggal Sekolah, Yogyakarta: MedPress, 2007.
Tilaar, HAR, Manifesto Pendidikan Nasional, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2005.
Internet:                          
http://garuda.dikti.go.id/jurnal

[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Pengangguran. Diakses pada 30 Mei 2010. Pukul 20:55 WIB.
[2] http://organisasi.org. Diakses pada 30 Mei 2010. Pukul 21:23 WIB.
[4] Putri Agista. Eksklusi Sosial Pada Pekerja Sistem Outsourcing dalam Industri Perbankan (Studi Kasus Divisi Penagihan Kembali Bank X), FISIP, UI, 2008. Diakses dari http://garuda.dikti.go.id/jurnal. Pada tanggal 31 Mei 2010. Pukul 22:35 WIB.
[5] Wawancara dilakukan pada 31 Juni 2010.

 
Design by Pocket