Abstrak
Dalam dunia
pendidikan, masalah terbesar di Indonesia yang harus menjadi prioritas
penyelesaian adalah kualitas dan mutu. Artinya, kualitas sistem dan metode
pendidikan, tenaga pendidik, kesejahteraan tenaga pendidik, metode mengajar,
dan infrastrukturnya harus ditingkatkan. Namun, ada satu hal yang perlu
dicermati, yakni peningkatan kualitas pendidikan adalah sebagai titik penentu
yang mempertinggi kesempatan orang-orang terdidik memperoleh pekerjaan. Hal
tersebut bertujuan supaya dapat mengurangi angka pengangguran terdidik di
Indonesia dan menekan laju pertumbuhan masyarakat tereksklusi.
Pengagguran
Pengangguran atau tuna karya adalah
istilah untuk orang yang tidak bekerja, sedang mencari kerja, bekerja kurang
dari dua hari selama seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan
pekerjaan yang layak. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam
perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat
akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan
dan masalah-masalah sosial
lainnya.[1]
Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran
konsumsinya yang menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran dan kesejahteraan.
Pengangguran yang berkepanjangan juga dapat menimbulkan efek psikologis yang
buruk terhadap penganggur dan orang-orang di sekitarnya.
Terdapat
beberapa jenis pengangguran. Pertama, pengangguran friksional, yakni pengangguran
yang sifatnya sementara. Pengangguran ini disebabkan karena adanya kendala
waktu, informasi dan kondisi geografis antara pelamar kerja dengan pembuka
lamaran pekerna penganggur yang mencari lapangan pekerjaan tidak mampu memenuhi
persyaratan yang ditentukan pembuka lapangan kerja. Semakin maju suatu
perekonomian suatu daerah akan meningkatkan kebutuhan akan sumber daya manusia
yang memiliki kualitas yang lebih baik dari sebelumnya.
Kedua, pengangguran
musiman, adalah keadaan menganggur karena adanya fluktuasi kegiaan
ekonomi jangka pendek yang menyebabkan seseorang harus menganggur. Contohnya
seperti petani yang menanti musim tanam, tukan jualan duren yang menanti musim
durian. Ketiga, pengangguran siklikal, pengangguran
yang menganggur akibat imbas naik turun siklus ekonomi sehingga permintaan
tenaga kerja lebih rendah daripada penawaran kerja.[2]
Namun, pada umumnya pengangguran disebabkan karena jumlah angkatan kerja tidak
sebanding dengan jumlah lapangan pekerjaan yang
mampu menyerapnya.
Pengangguran dan Pendidikan
Masalah kependidikan yang serius
dihadapi oleh negara berkembang seperti Indonesia, antara lain berkisar pada
masalah mutu pendidikan, kesiapan tenaga pendidik, fasilitas, dan lapangan
pekerjaan. Mengangkat masalah yang terakhir, menimbulkan pandangan lain.
Kekurangtersediaan lapangan pekerjaan akan berimbas pada kemapanan sosial dan
eksistensi pendidikan dalam perspektif masyarakat.
Saat ini, masyarakat memosisikan
pendidikan sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan melalui pemanfatan
kesempatan kerja yang ada. Artinya, tujuan akhir program pendidikan bagi
masyarakat pengguna jasa pendidikan, adalah supaya mampu mendapatkan lapangan
kerja yang diharapkan. Atau, setidaknya setelah lulus dapat bekerja di sektor
formal yang memiliki nilai ‘gengsi’ lebih tinggi dibanding sektor informal. Lapangan
pekerjaan merupakan indikator penting tingkat kesejahteraan masyarakat dan
sekaligus menjadi indikator keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Maka,
merembaknya isu pengangguran terdidik menjadi sinyal yang cukup mengganggu bagi
perencana pendidikan di negara-negara berkembang pada umumnya, khususnya juga
di Indonesia.
Penyebab utama terjadinya pengangguran
terdidik adalah kurang selarasnya perencanaan pembangunan pendidikan dan
perkembangan lapangan kerja, sehingga lulusan institusi pendidikan tidak
terserap ke lapangan kerja. Ada faktor-faktor lain pula yang menyebabkan
besarnya angka pengangguran terdidik, antara lain preferensi atau pemilihan
jenis pekerjaan yang diminati, dan kurang sesuainya kualifikasi angkatan kerja
terdidik dengan kebutuhan penyedia lapangan pekerjaan. Semakin besarnya angka
pengangguran terdidik secara potensial dapat menyebabkan dampak buruk, di
antaranya timbulnya masalah sosial akibat pengangguran, pemborosan sumber daya
pendidikan, menurunnya penghargaan dan kepercayaan masyarakat terhadap
pendidikan.
Pengangguran Terdidik dan Eksklusi Sosial
Masalah ketenagakerjaan di Indonesia
kembali memunculkan satu problem yang signifikan, yaitu besarnya angka
pengangguran terdidik. Yang dimaksud dengan pengangguran terdidik adalah mereka
yang mempunyai kualifikasi lulusan pendidikan yang cukup, namun masih belum
memiliki pekerjaan.
JUMLAH
PENGANGGURAN TERDIDIK DI INDONESIA
|
||
TAHUN
|
||
Februari
2007
|
Februari
2008
|
Februari
2009
|
409.900
orang
|
626.200
orang
|
9,259.000
orang
|
Dari tabel di atas dapat dilihat
peningkatan jumlah pangangguran dari tahun 2007-2009. Pada Februari 2007 jumlah
penganggur mencapai 409.900 orang, dan meningkat lagi pada Februari 2008
menjadi 626.200 orang. Sedangkan pada Februari 2009, BPS mencatat jumlah
pengangguran di Indonesia mencapai 9,259.000 orang. Dari jumlah itu, jumlah pengangguran
dengan pendidikan Universitas mencapai 626.600 orang, Diploma sebesar 486.400
orang, SMA 1.337.600 orang, SMA umum 2.133.600 orang.[3]
Para penganggur ini
sebenarnya memiliki latar belakang pendidikan yang cukup, namun tidak terserap
oleh pasar kerja. Yang memrihatinkan, jumlah pengangguran terdidik meningkat
dari tahun ke tahun. Sebagian besar Sarjana yang menganggur berasal dari jurusan
sosial nonkependidikan, agama, dan sebagian lagi jurusan eksak (MIPA). Dari
jurusan eksak dan teknik hanya sedikit menyumbang jumlah pengangguran. Itu
karena sebagian besar jurusan eksak dan teknik sudah terserap di berbagai
industri dan perusahaan BUMN. Fenomena meningkatnya jumlah pengangguran
terdidik menimbulkan keprihatinan. Selain menunjukkan adanya ketimpangan, hal
tersebut juga memperlihatkan kegagalan pemerintah dalam menciptakan sistem
pendidikan bagi rakyatnya.
Hal tersebut dapat
dilihat dari sudut pandang eksklusi sosial. Eksklusi sosial adalah keadaan di
mana individu tidak dapat mengakses sumber daya yang merupakan hak-haknya.
Dalam pengertian yang diberikan oleh Robin Peace eksklusi sosial merupakan
permasalahan multidimensional, mengenai keterbatasan terhadap sumber daya atau
pengingkaran terhadap hak sosial, maka dari itu eksklusi sosial dapat dikatakan
sebuah proses yang dimamis.[4]
Konsepsi mengenai
eksklusi sosial muncul pertama kali di Prancis pada tahun 1974 untuk menyebut
beberapa kategori kelompok individu yang pada saat itu tidak diproteksi oleh
jaminan sosial, tetapi dilabelkan permasalahan sosial. Banyak definisi yang
menghubungkan eksklusi sosial dengan kemiskinan, dengan alasan bahwa yang
menyebabkan individu tidak memiliki akses terhadap sumber daya berasal dari
kemiskinan yang dialaminya.
Eksklusi sosial
bisa dikategorikan menjadi dua, yaitu eksklusi pasif dan aktif. Eksklusif aktif
disebabkan oleh adanya kebijakan baik dari pemerintah maupun agen lainnya yang
dengan sengaja mangeksklusi sekelompok orang dari sebuah kesempatan. Misalnya,
sistem pendidikan yang dibuat pemerintah sengaja dilakukan “setengah hati” agar
lulusan yang dihasilkan tidak memiliki kompetensi yang cukup untuk bersaing di
dunia kerja, sehingga saat pelamar mengajukan diri pada sebuah perusahaan ia
ditolak. Selain itu, karena minimnya kualitas SDM yang dihasilkan sistem
pendidikan mangakibatkan sejumlah perusahaan mengeruk keuntungan dengan meminta
uang pada para pelamar sebagai jaminan supaya mendapatkan pekerjaan. Sedangkan
eksklusi pasif terjadi karena akses dari sebuah keadaan tanpa disengaja,
misalnya sekelompok orang yang tidak memiliki pekerjaan karena terpinggirkan
dari proses pendidikan.
Adit, Potret Pengangguran
Tereksklusi
Namanya Adityo,
orang-orang kerap memanggilnya Adit. Lelaki berparas lugu ini sudah lebih dari
setahun tinggal di Jakarta, tepatnya di Penggilingan, Jakarta Timur. Ia datang
ke Jakarta untuk mangadu nasib. Tujuan utamanya adalah mendapatkan pekerjaan
yang layak.
Lalaki berusia 32
tahun ini adalah seorang lulusan sebuah universitas swasta di Semarang. Dengan modal
ijazah dan IPK 3, 36 ternyata tidak cukup untuk memperoleh pekerjaan. Pasalnya,
saat ini yang dibutuhkan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak adalah uang.
Setiap kali melamar pekerjaan ia diminta untuk membayar sekian juta supaya
dapat diterima.
“Saya di Jakarta
udah hampir dua tahun. Selama tinggal di sini, saya pernah kerja di pabrik.
Penghasilannya lumayan untuk saya sendiri. Yaaah…, untungnya saya belum
berkeluarga, jadi gak repot-repot banget. Tapi sebenernya saya miris juga kalo
ibu bapak di kampung sampai tau di Jakarta saya bekerja sebagai buruh konveksi,
malah sekarang jadi pengangguran. Saya udah dua bulan nganggur. Selama dua
bulan saya bergantung sama temen satu kontrakan. Dia yang bayar kontrakannya,
dia juga yang nanggung biaya hidup saya,” tutur Adit.
Adit
menyatakan bahwa ia malu jika orang lain tahu ternyata ia adalah seorang
sarjana. Menurutnya, menjadi pengangguran terdidik bukan hal yang bisa
dibanggakan. Apalagi saat ini dirinya hanya menjadi beban bagi orang lain.
Selama dua bulan menganggur ia tidak hanya berdiam diri, ia bagaikan kutu
loncat, ke perusahaan ini dan itu untuk menawarkan diri menjadi pegawai. Namun,
tidak ada satu pun perusahaan yang menerimanya, kecuali pabrik mebel.
“Dua
minggu lagi saya bekerja di pabrik mebel. Rencananya saya bekerja di sana hanya
sampai kontrak habis. Itu pun karena saya ingin mengganti biaya hidup saya
selama menganggur yang ditanggung temen saya. Setelah berhenti kerja di sana,
saya mau pulang kampung. Lebih baik saya jadi petani di kampung, daripada jadi
pengangguran di Jakarta.[5]
Pengagguran: Korban Politik dan
Budaya
Persoalan pengangguran, manurut Paulo Freire, selain disebabkan
persoalan budaya dan sistem pendidikan, juga kental dengan nuansa politis.
Sebagaimana persoalan buta huruf dan kemiskinan, pengangguran adalah isu
sensitif. Isu itu akan terus digulirkan para caleg, politisi parpol, capres dan
cawapres, guna meningkatkan popularitas mereka. Problem
pengangguran hanya selalu dijadikan "kuda troya" elite dalam meraih
kedudukan dan kekuasaan.
Bagi pemerintah, isu pengangguran adalah ancaman. Sebab, isu itu
secara langsung menjadi indikator berhasil-tidaknya pembangunan. Semakin tinggi
angka pengangguran, semakin mudah bagi oposisi menjatuhkan kredibilitas
pemerintah. Karena terlampau sibuk mengurusi oposisi, pemerintah sering lupa
pada tugasnya menekan laju pengangguran.
Aspek politik dan pemerintahan yang selalu kontras dengan
pengangguran, masih diperparah dengan budaya gengsi, dan rendahnya etos kerja
kaum muda terdidik. Para sarjana itu, merasa gengsi bila tidak bekerja di
perkantoran, atau menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Akibatnya, mereka tidak
mampu melihat potensi diri dan kompetensi yang dimiliki.
Pada aspek pendidikan, pengangguran disebabkan tidak adanya
relevansi dan kesejajaran kurikulum pendidikan dengan dunia kerja. Kurikulum
yang dibuat, belum mampu menciptakan dan mengembangkan kemandirian SDM, yang
sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Begitu lulus, mereka kebingungan karena
ilmu yang dimilikinya tidak dapat digunakan untuk mendapatkan pekerjaan.
Kesimpulan
Jika dikaji dari
perspektif sosiologi, meningkatnya pengangguran terdidik jelas membahayakan.
Para penganggur itu sangat rentan melakukan tindak kriminalitas. Bahkan dengan
kemampuan intelektual yang dimiliki, para sarjana pengangguran itu bisa
menciptakan kejahatan baik di dunia nyata maupun dunia maya (internet). Seperti
pembobolan bank melalui situsnya, menyebar virus komputer yang mematikan,
sampai mengacak-acak data kependudukan. Intinya, pengagguran menciptakan
masyarakat yang tereksklusi.
Ada 3 hambatan yang
berdampak pada peningkatan angka pengangguran, yaitu hambatan kultural, mutu
dan relevansi kurikulum pendidikan, dan pasar kerja. Hambatan kultural
menyangkut budaya dan etos kerja. Sementara masalah kurikulum pendidikan adalah
belum adanya mutu dan relevansi kurikulum pengajaran di lembaga pendidikan yang
mampu menciptakan dan mengembangkan kemandirian sumber daya manusia (SDM)
supaya sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.
Sedangkan hambatan
pasar kerja lebih disebabkan rendahnya kualitas SDM untuk memenuhi kebutuhan
pasar kerja. Namun fakta cenderung menunjukkan, sistem pendidikan Indonesia jauh
lebih produktif dalam mencetak lulusan ketimbang lapangan kerja yang tersedia.
Hal inilah yang menyebabkan terciptanya masyarakat tereksklusi, pengangguran
terdidik.
Daftar Pustaka
Buku:
Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan, Yogyakarta: Lkis, 2005.
Freire, Paulo, Pendidikan Mayarakat Kota, Yogyakarta: Lkis, 2003.
Nagip, Laila, Pengembangan
Sumber Daya Manusia: di antara peluang dan tantangan, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2008.
Pora, Yusran, Selamat Tinggal Sekolah, Yogyakarta: MedPress, 2007.
Tilaar, HAR, Manifesto Pendidikan Nasional, Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, 2005.
Internet:
http://garuda.dikti.go.id/jurnal
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Pengangguran.
Diakses pada 30 Mei 2010. Pukul 20:55 WIB.
[2] http://organisasi.org.
Diakses pada 30 Mei 2010. Pukul 21:23 WIB.
[3]http://news.id.finroll.com/news/78-rilis-press/119875-bps--jumlah-penganggur-terdidik-melonjak.html.Diakses
pada 30 Mei 2010. Pukul 23:42 WIB.
[4] Putri
Agista. Eksklusi Sosial Pada Pekerja Sistem Outsourcing dalam Industri
Perbankan (Studi Kasus Divisi Penagihan Kembali Bank X), FISIP, UI, 2008.
Diakses dari http://garuda.dikti.go.id/jurnal.
Pada tanggal 31 Mei 2010. Pukul 22:35 WIB.
[5]
Wawancara dilakukan pada 31 Juni 2010.