Mata Hari*

November 02, 2012



Pernahkah kau bertemu dengan seseorang yang begitu mudah untuk dicintai? Pada hari-hariku yang lalu, aku bertemu seorang gadis. Mungkin bila aku menceritakan bagaimana dia telah memesona, kau takkan mempercayaiku. Tapi tak apa, memang sulit mempercayai bagaimana sebuah keindahan surgawi bisa menyentuh bumi yang kian renta ini.

Aku, Mahameru, seorang pecinta keindahan. Semua keindahan di muka bumi ini takkan luput dari kekagumanku. Semuanya, sebutlah kanvas tua Monalisa, syair-syair romantis Shakespeare, renungan cinta Khalil Gibran, ataupun tarian kata ekstase-nya Rumi. Dan ratusan malam yang kuhabiskan bersimpuh dibalik gaun para gadis secantik Cleopatra ataupun seindah Aphrodite, yang menemaniku di atas peraduan.

Namun entah sejak kapan, aku mulai membuang jauh kekagumanku itu. Aku tak lagi mampu merasakan yang dulu pernah kurasakan. Aku melihat keindahan seperti sebuah topeng yang menutupi sebuah wajah yang menakutkan. Aku melihat keindahan seperti sehelai sutera yang menutupi sekujur tubuh penuh luka dan nanah. Aku tak lagi bisa menengadahkan wajahku menatap matahari, karena sengatan sinarnya telah menghanguskan kulitku dan mengeringkan bola mataku.

Aku menjadi pemuja keindahan yang memalingkan wajah setiap berpapasan dengan senja yang begitu indah. Yang menutup telinga setiap mendengar alunan merdu dari biola sang maestro. Yang memejamkan mata setiap kali gadis-gadis cantik dengan busana yang indah melambaikan tangan padaku.


Aku merindukan keindahan, sangat merindukan…, tapi aku pun tersiksa bila berjumpa dengannya. Semua yang kurindukan hanya akan menyiksaku, membuat mataku perih, hidungku bagai tertusuk, telingaku berdengung dan lidahku terasa panas. Sampai aku akhirnya merasa ditakdirkan untuk menghindari keindahan.

Kulitku yang  hangus terbakar karena sengatan sinar Matahari berangsur mengelupas, berganti dengan kulit yang lebih halus. Bola mataku tak lagi mongering karena aku tak lagi pernah menatap Matahari. Begitupula dengan telingaku, lidahku, hidungku, semua kembali seperti semula.

Satu-satunya keindahan yang masih bisa kuterima adalah diriku sendiri.

Lorong-lorong gelap yang dulu selalu kujauhi karena menyurutkan pandanganku, kini menjadi tempat aku berjalan menghindari cahaya. Melangkah tanpa suara, seakan tak ingin seorang pun menyadari keberadaanku. Busana-busana pudar yang dulu enggan kudekati kini membalut tubuhku dengan pastinya. Menyamarkan ku dari onggokan kantung-kantung bekas kentang di sudut keramaian pasar.

Aku, Mahameru, mulai menerima takdirku. Aku memilih untuk terus bersembunyi di balik kegelapan daripada harus bersentuhan dengan keindahan yang menyakitkan. Aku telah menerima takdirku.

Sampai suatu hari, aku melihat Dia. Dengan segera aku memejamkan mata, aku takut mataku akan kembali perih. Dia bersenandung merdu. Lalu kututup telingaku, aku takut telingaku akan bergengung. Saat dia berpapasan denganku, harum jeruk segar bercampur aroma bunga mawar merayap pelan menuju syaraf hidungku. Aku pun dengan cepat menahan nafasku. Saat itu aku merasa akan segera sekarat dan mati.

Lama kutunggu penderitaan itu berlalu, mataku terus terpejam, kedua tanganku menutup telinga sambil menahan nafas. Detik demi detik yang senyap berlalu, kuberanikan diri membuka mata, akhirnya aku bisa lega karena sosok indah itu telah berlalu entah kemana. Disela-sela kecemasanku, ada sepercik kesenangan dari kerinduanku yang terus kupendam. Tak mau larut dengan kesenangan yang semu itu, Aku segera pergi menuju tempat sahabat-sahabatku berkumpul.

Sebuah rumah kayu yang berada di pusat kota. Rumah besar tempat berkumpulnya manusia seperti aku, manusia diantara ada dan tiada. Manusia yang menjadikan keindahan sebagai mimpi buruk. Keindahan bagai penyakit yang bisa menggerogoti organ tubuh, sampai suatu hari keindahan mengambil alih tubuh ini dan mengundang malaikat maut untuk ikut berpesta di atas penderitaan kami.

Aku datang saat makan siang. Di atas meja makan yang sederhana terdapat makanan seadanya, namun kami merasa gembira. Makanan yang kami makan hari ini bukan bagian dari keindahan, karena itu kami percaya akan memperoleh kesehatan dan umur yang panjang.
“Sudah dengar cerita tentang gadis bernama Mata Hari?”

Sebuah pertanyaan meluncur mulut Raga, pertanyaan itu seakan ditujukan pada seluruh yang ada saat itu dan disambut dengan gelengan kepala sebagian besar orang yang ada di meja makan.

“Siapa dia? Apa yang menarik untuk dibicarakan?” Tanya seorang teman sambil meneguk segelas air putih.

“Kau pasti belum bertemu dengan Dia makanya kau bisa bertanya seperti itu. Mata Hari, gadis yang sangat cantik! Tunggu dulu, jangan ada yang komentar! Mata Hari bukan seperti banyak gadis kebanyakan, selain cantik, dia juga baik, ramah dan pandai, pokoknya sempurna!” Ujar Raga penuh keyakinan.

Semua mata mengarah pada teman ku tersebut. Kami menemukan kekaguman yang luar biasa dimatanya. Kami terdiam, kami takut Ia tergerogoti oleh penyakit kemudian mati. Tapi ketakutan kami yang paling besar, kami takut suatu hari nanti juga menyetujui ucapan teman ku tersebut dan sekarat kemudian mati.

Sebenarnya mati bukanlah hal terburuk yang kami takuti, kami tahu setiap orang akan mati, hanya caranya saja, kami tidak ingin tergerogoti oleh penyakit itu.

“Ya, ya, aku pernah dengar nama itu, Mata Hari, puteri negeri Sembilan, yang sedang bersekolah di sini. Kabarnya, dia memang sangat cantik dan pandai,” ujar Ramallah, seorang pria kurus yang kuanggap cukup bijak diantara kami.

Tiba-tiba aku teringat dengan gadis berambut hitam pekat panjang terurai yang berpapasan denganku tadi. Kepalaku tiba-tiba dipenuhi oleh bayangan gadis itu, matanya yang bundar memamerkan bulu mata yang panjang dan lentik. Kulitnya yang halus merona kemerahan pada bagian pipi. Hidungnya, aku tidak pernah melihat bentuk hidung yang begitu sempurna. Begitu pula bibirnya, tidak terlalu tipis juga tidak terlalu tebal. Sedikit saja di atasnya bertahta sebuah titik hitam pemanis wajah. 

“Oh Tuhan, apa yang sedang memenuhi pikiranku ini?” seruku membatin.

Padahal aku hanya melihatnya sepintas, aku segera memejamkan mata, menutup telinga dan menahan nafas, namun mengapa bayangannya begitu kuat mencengkram dalam benakku.

“Apa yang sedang merasuki?” tanyaku dalam hati.

Seisi ruangan riuh membicarakan gadis yang bernama Mata Hari itu, sedangkan aku tenggelam dalam perang dalam benakku sendiri. Sekuat tenaga aku berusaha menghapus bayangan itu, bayangan gadis yang belum pernah kuketahui, yang belum pernah kusaksikan kecantikan yang sedemikian sempurna sebelumnya.

“Diakah Mata hari?” bisikku dalam hati.

“Hei, Indie, kau kan tadi juga ada disana, bagaimana pendapatmu?”

Julukan Indie itu sebenarnya sangat menggangguku, tapi lelah aku menyangkalnya tetap saja mereka menjuluki begitu. Kata mereka sejak aku masuk ke dalam dunia mereka, aku telah terlahir kembali menjadi manusia baru, mereka menamai aku, Indie.

“Rofino, cukup panggil aku Mahameru, terima kasih!”

Temanku yang bernama Rofino itu tersenyum geli, dia sendiri punya julukan, Guci.

“Aku tidak tahu apakah yang sempat kulihat tadi gadis bernama Mata Hari itu, aku tidak begitu memperhatikannya,” jawabku singkat.

Jawabanku itu sepertinya sudah bisa diperkirakan oleh orang yang benar-benar mengenalku, Ramallah salah satunya, karena hanya orang-orang yang dekat denganku yang tahu kesakitan yang kurasakan saat keindahan itu hadir. Hanya sedikit orang yang tahu, betapa aku tersiksa karena menyaksikan keindahan itu lewat di depanku. Mereka tahu, aku takkan sanggup melawan rasa sakit itu.

Tapi yang tidak mereka tahu, ingatanku yang begitu kuat tentang kesan tadi. Aku mungkin terhindar dari kesakitan, tapi kepalaku sekarang dipenuhi bayangan gadis itu.

Makan siang hari itu, telah dihabiskan dengan perbincangan tentang puteri negeri Sembilan, sedemikian hangatnya pembahasannya hingga Mata Hari pun terus dibincangkan di hari-hari selanjutnya. Sedangkan aku, aku berusaha untuk mengalihkan pikiranku pada hal lain, hal yang kuanggap lebih bermanfaat. Hal yang bisa mengalihkan konsentrasiku dari berlama-lama membayangkan sosoknya yang masih nanar di mataku.

***

Film pendek yang aku garap bersama teman-teman komunitas film akhirnya dinominasikan menjadi film pendek terbaik tahun ini oleh sebuah Yayasan Keluarga Besar Film Beda. Semua insan film berkumpul dalam pesta itu. Mulai dari artis, sutradara sampai para pembuat cerita. Sedangkan aku tersiksa di sudut ruangan. Aku menyesal telah berhasil dibujuk oleh Bonsai dan Hatta untuk datang. Akhirnya, ketika menerima penghargaan sebagai sutradara pendatang baru terbaik, aku minta Bonsai untuk menerima trophy mewakiliku. Setelah itu, aku meminta ia untuk segera datang ke tempatku.

Lima menit berlalu, Bonsai tak juga muncul. Aku berusaha mencari sosok tinggi kurus dengan sweather coklat dan jeans belel. Saking asiknya aku mencari-cari Bonsai, tak sadar aku menabrak seseorang.

Bruk....

“Maaf” ujarku cepat.

Seorang gadis bergaun keemasan dengan aroma paduan rempah dan buah-buahan itu menggeleng sambil tersenyum. “It’s okay!”

Aku tertegun melihat sosok di depanku. Rambutnya yang hitam, matanya, hidungnya, bibirnya dan suaranya, mengingatkanku pada sosok yang telah memenuhi kepalaku beberapa hari lalu. Masih aku tertegun menatapnya, untunglah Bonsai datang sambil menyerahkan Trophy ke tanganku.

“Maaf, aku tertahan karena para wartawan yang sebenarnya ingin mewawancarai kamu. Nih, selamat ya!” genggaman Bonsai terasa erat dan hangat.

“Makasih,” ucapku. Pandanganku telah beralih pada Bonsai yang mulai berceloteh tentang pertanyaan-pertanyaam wartawan yang menghujaninya tadi. Kegembiraan Bonsai yang gegap gempita, membuatku lupa pada sosok yang membuatku tadi sempat tertegun.

“Hei, ternyata sang sutradara, Mahameru, datang. Selamat ya. Kenapa tadi diwakilkan?” Tanya sebuah suara lembut disampingku.

Aku tak menoleh, aku tahu kalau aku menoleh pastilah siksaan itu akan segera menyerangku tanpa kompromi. Aku merasa ajalku telah dekat.

Ada letupan-letupan keras di dalam kepalaku, kepalaku terasa panas, seperti roda dinamo yang berputar seharian, sekali-kali mengeluarkan bunga api. Aku bukanlah seorang kejam, yang tega mengabaikan kebaikan orang lain. Mungkin sebisa mungkin aku selalu menghindar. Namun bagaimana nasib uluran tangan dihadapanku ini. Sakit seperti apa yang nantinya akan kutanggung. Akhirnya, aku tak tega membuat tangannya terulur lama, aku menjabat tangannya sambil berterima kasih dan melepaskannya dengan segera. Ku pikir dia tersenyum, tapi aku tidak berani menatapnya.

“Maaf, saya harus pergi!” kataku segera. Tanpa menunggu jawaban darinya, aku berbalik menuju lorong gelap yang akan menjauhkan aku dari tempat itu. Saat itu pula Bonsai meninggalkanku kembali ke tempat duduknya.

“Tunggu! Kenapa kamu terlalu tergesa? Perkenalkan, nama saya Mata hari, saya juga sangat tertarik dalam bidang sinema. Mungkin kita bisa mengobrol sejenak sekedar bertukar pikiran. Saya sudah menonton film kamu, Mimpi Hitam Putih, pendapat saya, kamu sangat jenius!”

Suaranya mengalir, jernih bagai air telaga yang menuju anak sungai. Tapi tetap saja terasa seperti lava panas yang berasal dari kawah gunung yang kemudian mengendap di telingaku menjadi magma, panas sekali. Ku tahan langkahku, tapi aku tetap menjaga jarak padanya. Aku berusaha berkonsentrasi untuk menahan sakit itu. Ramallah pernah mengatakan agar aku lebih rileks bila terpaksa berhadapan dengan keindahan. Aku hanya harus mengatur pernafasanku agar tetap tenang, itu akan meredakan rasa sakit yang kurasakan.

“Terimakasih, saya membuat film itu bersama teman-teman, film itu merupakan rekaman dari kegelisahan kami saat ini. Kamu sekolah sinematografi?” Tanyaku agak canggung, sudah lama sekali aku tidak berbicara dengan makhluk seindah di hadapanku itu. Malah tadinya kupikir sudah lupa caranya untuk bersopan santun di depan mereka.

“Bukan, saya mengambil jurusan akting. Film kamu membuat saya bersemangat dalam belajar akting, saya ingin suatu saat bermain dalam filmmu…Yah, tentu kalau kamu sudah merasa kemampuan akting saya memadai,” ucap gadis bermata indah itu merendah.

Aku terdiam. Bagaimana seorang pria seperti aku bisa menolak permintaan gadis secantik dia? Mungkin suatu saat aku akan bertaruh pada siapa saja yang mau berada diposisiku saat itu, pasti akan mengiyakan permintaan tersebut. Dia bukan sedang merayuku, tapi sedang menantangku untuk menguji kemampuannya, juga kemampuanku.

Tapi, keinginan untuk membuktikan kemampuan itu sudah lama hilang dalam diriku. Jadi tantangannya tak berlaku untukku. Keindahan yang dia tawarkan pun hanya membuatku kesakitan. Tapi tetap saja aku tak tega mengecewakannya, aku akhirnya tersenyum walau tak sanggup menatapnya.

“Ya, kamu pastilah bintang yang berbakat dan akan banyak sutradara yang ingin filmnya kamu bintangi. Sekali lagi, terimakasih atas apresiasi positif kamu terhadap filmku yang sederhana,” ucapku ramah, aku benar-benar tak ingin membuatnya kecewa.

Wajah gadis itu berubah. Kalimatku tersebut ternyata cukup membuatnya terguncang. Namun cepat dia mengubah ekspresinya, dengan sedikit senyum dibibirnya yang mungil.

“Kalau begitu, ajari saya! Ajari saya berakting agar bisa bermain sesuai dengan tuntutan film kamu!” ujarnya mantap.

Aku terpaku mendengar perkataannya. Walaupun penolakanku tadi sudah sangat halus, tapi reaksinya barusan merupakan tantangan yang sangat halus pula, benar-benar diluar perkiraanku. Dia kembali menguji kesabaranku, dengan kalimat yang tegas dan aku merasa dia menatapku dengan tajam. Sekali lagi aku bertaruh pada semua pria yang mau berada pada posisiku saat itu, kalian pastilah takkan sanggup menolaknya. Sedangkan aku, aku terus bertanya dalam hati, apa yang membuatnya begitu ingin bermain dalam filmku.

“Aku bukan guru yang baik. Kalau kamu menyukai hasil arahan dalam filmku, bukan berarti aku mampu mengajari kamu.”

“Bukankah ilmu itu harus disebarkan, agar bermanfaat bagi orang lain?” ujar Mata Hari agak keras.

Aku tersentak, kalimatnya barusan seakan menamparku. Lama aku baru berucap yang kemudian membuat wajah di sampingku menjadi sedikit lega.

“Baiklah, kita akan membuat film bersama. Datanglah, kalau kamu sudah bisa menanggalkan semua keindahan itu,” ujarku, aku berbalik walau tak yakin dia memahami permintaanku.

Aku tak berniat melihat reaksi wajahnya, karena aku sebenarnya juga tak berniat dengan kesepakatan yang barusan kukatakan. Aku hanya ingin cepat berlalu dari tempat itu. Aku merasa tatapan matanya lekat menghantar kepergianku hingga hilang dibalik kegelapan.

***

Sudah seminggu lebih aku merasa aneh dengan kelakuan Bonsai. Setiap aku bertemu dengannya di studio, dia tampak sangat ingin tahu dengan apa yang sedang kukerjakan. Sekali-sekali aku meliriknya, dia berusaha membuatku tidak mencurigai gerak-geriknya yang sangat ingin tahu. Aku jadi merasa benar-benar tidak nyaman, tapi terus kutahan. Sampai hari ketujuh, aku sudah tidak bisa lagi menahan rasa penasaranku.

“Hei Bonsai, ada apa denganmu?” ujarku datar.

“Eh, tidak apa-apa. Aku hanya memperhatikan pekerjaanmu, itu saja…” jawab Bonsai agak terbata.

“Pekerjaan apa? Dari tadi kau lihat sendiri, aku hanya sedang membersihkan kamera, tidak ada yang menarik!”

“Ehm, sebenarnya, aku hanya ingin tahu film yang akan kau buat nanti. Kenapa kau tak juga memberitahuku, cobalah beri aku sedikit petunjuk?” ujar Bonsai dengan nada memohon.

Aku tertegun sejenak. Aku heran bagaimana Bonsai bisa mengetahui kesepakatan pada malam itu. Mungkin dia belum benar-benar kembali ke kursinya saat gadis itu menantangku. Aku tersenyum geli, aku tak menyangka Bonsai benar-benar berharap atas film itu. Sambil terus membersihkan lensa kamera aku berusaha memberi pengertian padanya.

“Bonsai, kau kan tahu sendiri tahu karakter film-film buatanku..” Belum selesai aku berkata tiba-tiba sebuah suara menyela datang dari arah pintu masuk studio.

“Film yang suram! Yah, saya tahu, semua orang yang membaca headline majalah [i] Film pun tahu kesuraman yang kental dalam film kamu,” sela suara jernih yang segera mengalihkan perhatianku.

Aku tak langsung menoleh, sudah menjadi kebiasaanku untuk memalingkah wajah. Sedangkan Bonsai malah sengaja pergi meninggalkan ruangan saat tamu tak di undang itu melangkah masuk.
“Maaf sudah menyela, tapi Saya pikir kamu tidak akan mengingkari kesepakatan yang telah kita buat bukan. Saya datang untuk mengambil kesempatan yang telah kamu berikan,” ucap Mata Hari yang hari itu berpakaian dengan potongan yang sangat sederhana dengan pilihan warna khaki.

Aku terkejut dengan kehadirannya yang cukup meneduhkan hari itu.

“Tapi kenapa aku tidak merasa sakit? Kenapa mataku tidak terasa perih, telingaku tidak berdengung dan hidungku pun baik-baik saja?” tanyaku dalam hati. Setelah sekian lama aku tersiksa oleh keindahan yang ada dihadapanku, kini keindahan yang sangat nyata ini tidak membawa rasa sakit sedikitpun. Aku mulai merasa aku sedang bermimpi. Karena kerinduanku yang menggila terhadap keindahan hingga aku bermimpi seperti itu.

Tapi tidak, aku lagi terjaga! Aku merasakan sepatu kets yang kupakai agak kesempitan, membuat kelingkingku kesakitan. Tapi bukankah seharusnya saat ini aku lagi menderita kesakitan.

Baru kali ini aku bisa melihat jelas wajahnya. Hanya satu kata, sempurna!

“Saya tahu kamu meragukan kemampuan saya. Pastilah dalam pikiran kamu, saya hanyalah anak manja berparas cantik dengan bakat tak jelas yang merengek-rengek ingin menjadi bintang. Tapi perhatikan baik-baik, sebentar lagi mungkin kamu akan kecewa,” ucapnya sambil menghilang dibalik layar hitam yang biasa kubuat menjadi background.

Aku memang meragukannya, tapi dia salah kalau menganggapku telah meremehkannya, karena aku sama sekali tidak menganggapnya tidak memiliki bakat. Aku tahu pasti dia memiliki bakat yang besar, hanya saja aku merasa tak mampu untuk menggalinya, jika yang diinginkannya agar aku menuntunnya, aku benar-benar tak bisa.

Layar hitam tadi bergerak-gerak, membentuk lekuk tubuh yang berada di baliknya. Aku memperhatikannya dengan berusaha untuk lebih berkompromi.

Berlahan sosok dari balik layar itu tersingkap. Saat itu aku tidak yakin sedang berhadapan dengan siapa? Sosok yang berdiri tiga meter dari tempat dudukku itu begitu lusuh dan matanya begitu redup, berlahan sosok itu bergerak dan berhenti disamping sebuah kotak kayu tua di sudut ruangan tempat aku biasa menyimpan barang-barang yang belum tega untuk kubuang. Tubuh lusuh itu pun meringkuk dekat kotak kayu itu dan berdiam disitu. Lima menit telah berlalu, tanpa suara, tanpa gerakan, tanpa mimik yang berarti.

Tiba-tiba seorang cameraman yang biasa bekerja bersamaku datang. Sambil menenteng kamera dia memasuki ruangan. Hatta tampak kelelahan.

“Yang lain kemana? Bukankah kita akan hunting lokasi syuting nanti sore, kok belum ada yang datang?” Tanya Hatta sambil matanya menyapu seluruh ruangan.

“Mungkin sebentar lagi,” jawabku masih terus mengelap lensa kameraku.

“Wah, studio kok berantakan banget nih? Mana Bonsai?”

Aku menunjuk ke ruang sebelah.

“Sai, bukannya hari ini giliran kamu beres-beres?” ujar Hatta, tangannya masih menenteng kamera yang segera ingin diletakkannya.

Bonsai tak menjawab, padahal dia berada di ruang sebelah yang hanya dibatasi sekat kayu. Akhirnya, Hatta meletakkan kameranya yang besar itu di atas kotak kayuku, karena meja studio telah penuh dengan barang-barang yang sedang aku bersihkan. Aku mengawasi Hatta saat meletakkan kamera di atas kotak kayu. Entah mengapa, aku merasa lega ketika Hatta menghampiriku sambil meminta sebatang rokok.

Hatta menuju ruang sebelah. Langkahnya agak terburu karena penasaran dengan Bonsai yang tidak menjawab seruannya.

“Hallo Mahameru!” suara ngebass yang berasal dari pintu membuatku sedikit tersentak. Tapi aku tak perlu menoleh, karena aku sudah tahu siapa pemilik suara itu.

Sosok kurus tinggi dengan potongan rambut panjang lurus terurai itu menghampiriku dan langsung duduk dihadapanku. Tanpa basa-basi Kunir mengambil sebatang rokok dan menghisap kemudian mengeluarkan asapnya.

“Darimana?” Tanya ku.

“Gudang. Ambil peralatan. Yang lain mana?”

“Ada, Hatta dan Bonsai di kamar,” jawabku sekenanya.

Diam-diam aku kagum dengan akting gadis itu, Hatta sampai tidak menyadari keberadaannya, begitupula Kunir yang sebenarnya memiliki penglihatan yang sangat tajam.

“Gerah nih, aku mandi dulu ya? Jam berapa kita berangkat?” Tanya Kunir sambil berdiri.

“Satu jam lagi. Ya udah mandi sana,” jawabku.

Kunir masuk ke dalam kamar. 

Pandanganku segera beralih ke sudut ruangan. Berlahan sosok yang teronggok di samping kotak kayu itu bergerak. Aku terus memperhatikannya dengan seksama, seperti kepompong yang bergerak-gerak sebelum menjelma menjadi kupu-kupu dengan sayapnya yang indah.

“Bagaimana?” Tanya Mata Hari sambil mengikat rambutnya yang agak acak-acakan. Senyumnya tampak tertahan menunggu jawabanku.

Akhirnya aku mengangguk. Senyumnya langsung merekah, bagai bunga matahari yang mekar di pagi hari.

Aku berjanji pada Mata Hari, kami akan membuat film bersama dengan dia sebagai bintangnya. Tapi aku minta waktu untuk menyiapkan sebuah cerita yang pas buat karakternya, dan itu membutuhkan waktu yang cukup panjang.

Entah mengapa, berhari-hari sudah lewat aku tak juga menemukan cerita yang menarik. Semua terasa hambar, tidak ada yang menarik untuk ku jadikan film yang sesuai dengan karakternya. Sementara itu, aku sudah menemukan sebuah cerita lain yang ingin kubuat  lebih dahulu. Berjudul Malam Semakin Malam, bercerita tentang seorang psycopat yang berprofesi sebagai perawat di sebuah rumah sakit. Aku bersama teman-teman mencurahkan seluruh konsentrasi pada film ini, sehingga janjiku pada Mata Hari pun terpaksa tertunda.

Tapi dia dengan setia datang ke lokasi syuting, melihat kami bekerja. Namun dia tidak pernah berbicara dengan para kru, mungkin karena tak ingin mengganggu dia hanya memperhatikanku dari jauh. Sekali-sekali aku melirik ke arahnya, saat itu hampir pasti dia sedang memperhatikanku. Selalu begitu. Untunglah konsentrasi para kru tidak terganggu karena kehadirannya. Sedangkan konsentrasiku?

“Hei Mahameru, aku lihat sepanjang pembuatan film ini kau tampak sangat bersemangat. Aku kok jadi curiga nih, hehe…” ujar Kunir di sela-sela syuting.

Aku jadi sedikit salah tingkah karena perkataan Kunir tadi. Aku merasa mereka sering membahas kehadiran Mata Hari di belakangku. Yah, seharusnya aku sudah menyadari, kehadiran seorang gadis cantik di lokasi syuting hanya akan menimbulkan gosip. Tapi aku berusaha untuk tidak terlihat reaksioner, karena itu hanya akan menghangatkan gosip yang sudah bergulir.

“Mahameru, Genta belum kembali sejak break makan siang.”

Lamunanku segera terusik dengan sapaan Suci yang datar. Gadis berwajah dingin dihadapanku ini, sempat menjadi kontroversi dalam tim produksi kami. Aku memang bersikeras memilih Suci sebagai pemeran utama perempuan untuk film ku kali ini. Dalam diri Suci terdapat semua karakter yang kuinginkan, dibalik sikapnya yang dingin, dia menyimpan bakat yang sangat potensial. Sayangnya, Kunir dan Bonsai tidak menyetujui pendapatku tersebut. Untunglah Hatta mendukung keputusanku, walhasil kami seri. Dan akhirnya, karena tidak ada kandidat pemeran perempuan lainnya, kami sepakat memilih Suci berperan mendampingi Genta.

“Mungkin sebentar lagi, kau sudah makan? Kalau belum sebaiknya cepat makan karena setengah jam lagi kita akan mulai syuting,” jawabku sambil melambaikan tangan pada Kunir.

“Nir, tolong cariin Genta, dia menghilang lagi!” teriakku.

“Ah, palingan tuh anak lagi nge-bullshit sama cewek. Genta, genta…” jawab Kunir sambil berjalan mengitari lokasi syuting.

“Meru, adegan pas di rumah sakit, waktu aku ketemu sama Genta terus kami lari bareng karena dikejar-kejar, terus kan akhirnya kami berhasil lolos, nah, yang aku nggak ngerti, bagaimana reaksiku waktu sadar ternyata psycopat yang selama ini dicari-cari itu, Genta. Apakah aku harus kelihatan takut, atau marah atau kasihan?” Tanya Suci sambil menenteng scenario di tangannya.

“Kamu awalnya kelihatan kaget, terus..” Tiba-tiba konsentrasiku buyar karena pandanganku menemukan sosok Genta di kejauhan. Sebenarnya aku tidak akan terlalu memperhatikan kalau saja tidak menyadari seseorang yang sedang berdiri disampingnya itu, Mata Hari. Kemudian kulihat Kunir juga menemukan mereka, Kunir berteriak meminta Genta kembali karena syuting akan di mulai.

“Terus?” Tanya Suci menunggu kelanjutan kalimatku. Aku merasa konyol karena kejadian barusan, tapi sebelum meneruskan kalimatku, aku kembali menegaskan pandanganku. Kulihat Genta telah berlari ke arah kami, dan Mata Hari melangkah pergi entah kemana.

“Terus baru kamu kelihatan marah, tapi karena Genta berubah sangar, kamu jadi ketakutan dan berlari menjauhinya,” lanjutku.

“Ok, udah bisa dilanjutin bos?” goda Kunir dengan makna yang lebih dalam. Kurasa tatapannya agak aneh, apakah dia tahu aku memergoki Genta dan Mata Hari dari kejauhan? Ah, cepat kuhapus prasangka yang merasukiku, syuting akan dimulai dan aku harus konsentrasi. Untuk terakhir kali aku memalingkan wajahku, mencari Mata Hari di sekitarku, tapi tak ku temukan.

Kehadiran Mata Hari ternyata sampai juga pada teman-temanku di rumah kayu.

“Indie, aku dengar-dengar kau tampak bersemangat sekali dalam proses produksi filmmu kali ini?” goda Rofino saat makan siang.

Semua mata langsung mengarah padaku, rasanya ingin sekali aku memelester mulut anak besar mulut itu agar tidak sembarangan bicara di depan umum. Tapi sudah terlanjur, sepertinya semua menunggu cerita dariku. Lama aku terdiam, aku berusaha menyusun kata demi kata.

“Ah tidak ada yang istimewa, hanya sebuah film, sama saja seperti film-film sebelumnya, mungkin yang kau dengar aku lebih bersemangat karena aku bekerja dengan orang-orang yang berbakat, jadi aku optimis film ini akan menarik nantinya,” jawabku berusaha untuk menjawab rasa penasaran yang lainnya.

Aku tidak peduli apakah mereka mempercayai perkataanku tersebut. Yang aku tahu aku tidak akan membiarkan kehidupan pribadiku menjadi konsumsi umum.

Selesai makan, Ramallah mengajakku mengobrol lagi, tapi kali ini hanya kami berdua.

“Kau tidak merasakan sakit yang biasa kau rasakan?” Tanya Ramallah, wajahnya yang tirus membuatnya tampak sangat kurus.

Aku terdiam, sebenarnya pertanyaan itu juga sering kutanyakan pada diriku sendiri.

“Tidak. Aku juga sangat bingung mengapa itu bisa terjadi,”

“Mungkin kau sudah sembuh?” ujar Ramallah.

Kemungkinan yang sama sekali tidak masuk dalam perhitunganku. Memang aku belum berani mencoba mengujinya dengan bertemu keindahan lainnya.

Tentu saja aku tidak memasukkan Suci ke dalam daftar keindahan, karena bagiku dia sudah sangat jelas, aku melihat dia seperti patung porselen penari Jepang berbaju kimono putih yang biasa ku lihat pada etalase pertokoan, pucat, kaku, tak bernyawa.

Keindahan yang mampu menyakitiku itu haruslah bernyawa. Hingga kurasakan desiran darah yang dipompa dari jantung menuju segenap pembuluh darah ini menyempit, menipis hingga bagai sebilah pisau tajam, mengiris-iris nadiku.

“Mungkin seiring berjalannya waktu aku akan mengetahui jawabannya. Aku masih akan bekerja sama dengannya dalam pembuatan film selanjutnya,” jawabku.

Aku melihat kekhawatiran di wajah tirus itu. Entah sejak kapan dia memperlakukanku istimewa. Dia memperhatikanku lebih dari yang lainnya. Itu membuatku merasa bertanggung jawab atas tugas-tugas sosial yang dia percayakan padaku. Dan aku pun tak mampu untuk mengkhianati pandangan hidup yang dianutnya, yang ditularkannya padaku, bahwa keindahan itu bukanlah sahabat yang baik. Yah, aku harus tetap mengingatnya sampai kapan pun.

Seharian aku tidak melihat Mata Hari, aneh juga rasanya, setelah setiap hari ditunggui walau tanpa obrolan yang berarti sekalipun, namun terasa ada yang hilang. Untungnya, tidak ada yang menyadari kegundahan yang aku rasakan. Syuting berjalan lancar, walau aku sempat memarahi Genta berkali-kali. Mungkin kalau diperhatikan, muncul sepasang tanduk di kepalaku setiap emosiku naik karena tingkahnya yang mengesalkan.

“Kenapa jadi marah-marah? Biasanya kau yang paling sabar menghadapi kelakuan Genta,” Tanya Kunir saat membereskan semua peralatan.

“Ah tidak apa-apa, kesabaran itu ada batasnya, mungkin aku sudah sampai pada batas kesabaranku,” jawabku sekenanya, karena aku sendiri tidak mengerti kenapa Genta jadi tampak sangat mengesalkan di mataku akhir-akhir ini.

“Atau mungkin karena masalah pribadi? Kunasehati kau, memang Genta itu playboy nomor satu, tapi untuk kasusmu, jelas kamu pemenangnya bung! Haha…” ujar Kunir  sampai tertawa keras.
Aku berusaha tenang agar dia tidak tambah kencang tertawa. Aku memang tidak berniat mengatakan sesuatu pun untuk membela diri, aku hanya berharap Kunir cepat melupakan pembicaraan kami tadi.

Tapi, ingat Mahameru kau harus tetap profesional, jangan campur adukkan antara kesenangan pribadi dengan pekerjaan, ok!” ucap Kunir dengan nada yang dibuat serius.

Aku merasa harus segera pergi dari hadapan Kunir, karena kalau tidak sepertinya dia akan semakin banyak berbicara lagi, dan itu gawat!

Ku putuskan ke taman belakang untuk menghindari gurauannya yang semakin keterlaluan.

Sampai disana aku terkejut melihat sosok yang dari tadi kucari. Mata Hari sedang duduk di salah satu bangku di sudut taman. Bangku yang biasa kududuki saat ingin menikmati senja hari. Aku menghampirinya, dan duduk disampingnya. Lama kami saling berdiam diri.

Tadi sempat kulihat sekilas ada kesedihan di wajahnya, tapi cepat dia ubah ekspresi wajahnya menjadi teduh seperti biasanya.

“Maaf telah membuatmu lama menunggu, aku benar-benar mengalami kesulitan untuk menemukan ide yang sesuai dengan dirimu…” akhirnya aku mulai membuka pembicaran.

“Benarkah? Saya pikir peran yang dimainkan Suci juga bisa saya mainkan. Apakah kamu merasa saya tidak mampu?” Tanya Mata Hari dengan nada tak senang.

Aku tak bisa menjawabnya. Aku tak pernah berfikir seperti itu. Aku mempersiapkan peran Suci bukan untuk Mata Hari, karena itu aku tidak akan memberikannya pada Mata Hari. Aku tidak menyangka hal tersebut telah menyakitinya, membuat wajah indahnya tersaput mendung kelam.

Aku tak berani menatap wajahnya, aku tahu dia sedang menatapku lekat, tapi aku memilih untuk memalingkan wajah, melihat ke arah semburat senja di ufuk barat.

“Mata Hari, aku sudah berjanji, maka aku akan tepati, aku hanya butuh waktu. Ku harap kau mau bersabar, karena sesuatu yang dilakukan tergesa-gesa biasanya tidak bisa maksimal. Dan aku tahu, kau inginkan hasil yang maksimal kan?” ujarku berusaha menghiburnya dan membenarkan perbuatanku mengulur-ulur waktu.

“Saya tahu kamu akan menepati janjimu, tapi saya juga tahu kamu  sebenarnya tidak bersungguh-sungguh ingin mempersiapkan yang terbaik buat film kita. Sudahlah Mahameru, kenapa tidak kau segera lunasi janjimu agar saya cepat hilang dari pandanganmu, begitukan?” Ucap Mata Hari lantang.

Kalimatnya yang tajam membuatku kehilangan kata-kata sekedar untuk membela diri atau memberikan pembenaran lainnya. Baru kusadari, aku telah menyakitinya. Aku jadi ingat beberapa wajah yang juga pernah kubuat sedih. Sepertinya, aku sedang menjalani sebuah karma masa lalu yang belum juga terbayar.

Lambat aku beranjak dari bangku itu dan melangkah pergi. Sebelum menghilang di lorong gelap, aku menoleh ke belakang.

“Datanglah dua minggu lagi, aku akan memberikan ceritanya pada hari itu. Aku janji, cerita yang bagus buat film kita,” kataku.

Ternyata hari itu, akan menjadi hari terakhir aku melihat indah wajahnya.

Seminggu ini padat sekali dengan jadwal syuting yang harus segera kami selesaikan. Tepat hari Minggu depan, semua kaset harus sudah masuk proses editing, aku benar-benar memforsir seluruh tenaga dan fikiranku pada film ini. Baru setelah itu aku bisa memikirkan film lain, film yang kujanjikan pada Mata Hari.

“Sedang apa? Syuting sudah selesai, kenapa kau masih saja sibuk dengan kertas-kertas itu?” Tanya Suci saat memergokiku sedang duduk di bangku taman belakang sambil asik menulis di kertas.

“Eh, sebuah puisi?” ujar Suci ketika menemukan selembar yang terlepas dari gengamanku. Dia langsung bergaya bak seorang penyair yang sedang melantunkan puisinya di atas panggung.

“Seandainya aku diberi kesempatan, untuk berada disampingmu, sampai tiba waktuku atau waktumu… Seandainya aku diperbolehkan memberikan rasa di hati ini padamu, sampai tiba waktuku atau waktumu. Karena aku bukanlah pemuja keabadian, aku meyakini yang kurasakan sampai saat ini. Aku tak pernah bisa berjanji. Semua yang kukatakan dan kurasakan padamu sampai detik ini adalah sebuah keindahan tanpa akhir.” Suci menatapku selesai membaca puisi yang terlepas itu.

“Indah, sangat indah,” ujarnya.

Sedangkan aku merasa puisiku menjadi indah karena Suci membawakannya dengan sangat dramatik.

“Kau yang membuatnya menjadi terdengar indah,” kataku jujur, tapi perkataanku itu ternyata membuat pipinya merona merah. Aku tertegun, aku menjadi takut.

“Plok, plok, plok,” bunyi tepuk tangan.

“Sebuah drama romantis yang menggugah, haha…” seru Bonsai, ternyata sudah beberapa saat dia memperhatikan kami berdua sambil bersandar di samping pilar.

Suci kelihatan kesal dan langsung pergi menerabas ke lorong gelap. Sedangkan aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Bonsai yang memang suka iseng menggodaku. Aku sudah siap-siap beranjak pergi saat Bonsai menahanku sejenak.

“Hei, kenapa langsung pergi? Baiklah, aku tak menggodamu lagi. Tapi aku lihat kau sudah mempersiapkan ide cerita film berikutnya. So…” ujar Bonsai menunggu tanggapanku.

So? So What?” tanyaku panik.

So…? Aduh Mahameru, jangan berikan aku deadline yang sempit, sebagai produser, kamu harus memberitahu aku, paling tidak gambaran film yang akan kita buat. Biar aku dan Kunir bisa mempersiapkan semuanya,” ujar Bonsai mencoba memberi pengertian padaku.

Aku sempat tersenyum geli mengingat betapa paniknya mereka saat mempersiapkan produksi film Malam Semakin Malam, karena pemberitahuanku yang sangat dadakan. Untunglah, Bonsai dan Kunir memang cukup handal jadi aku tinggal tahu beresnya saja.

“Ok Bonsai dengarkan, Aku akan membuat film tentang seorang perempuan yang memiliki tiga kepribadian. Seorang guru perempuan yang bersahaja, seorang striper sekaligus seorang mahasiswa jenius namun seorang laki-laki,” ujarku mantap.

Bonsai tampak penasaran dengan cerita yang baru kuucapkan.

“Maksudmu, satu orang memainkan tiga peran sekaligus? Kalau ya, siapa yang akan memerankannya?”

Aku tersenyum kecil, aku pikir Bonsai mulai mempermainkan aku dengan menanyakan pemerannya.

“Pemerannya, siapa lagi kalau bukan puteri negeri Sembilan, Mata Hari! Dan judulnya, Tiga Sisi Mata Hari,” jawabku  tenang.

Aku melihat perubahan pada wajah Bonsai, sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu tapi kemudian diurungkannya. Aku menangkap mimik khawatir di wajahnya.

“Oho, jadi begitu, ternyata demam Mata Hari sampai juga kesini?” sela sebuah suara. Aku dan Bonsai menoleh bersama ke arah datangnya suara itu, seorang pria tengah baya berperawakan besar yang sudah sangat familiar tersenyum mendengar obrolanku dengan Bonsai.

“Baiklah, aku baru saja ingin memberi kabar baik pada kalian bahwa film Mimpi Hitam Putih dinominasikan dalam Festival Film Asia Pasifik. Ternyata kalian juga punya kabar baik untukku, sebuah film yang akan dibintangi oleh murid kesayanganku, Mata Hari,” ujar pria yang biasa kami panggil Dewa.

Mulutku tiba-tiba terasa kaku tak mampu mengucapkan sekalimat pun. Aku hanya bisa menatap Dewa sambil berharap semoga dia tidak terlalu senang dahulu.

“Ini undangan buat kalian dari Festival Film Asia Pasifik. Dan tentang Mata Hari, aku akan segera mempersiapkannya Mahameru, kau tak perlu meragukan kemampuan aktingnya!” kata Dewa sambil berbalik meninggalkan kami yang masih tercengang.

“Wah selamat Meru, kita masuk nominasi lagi, Yippie....!” seru Bonsai kegirangan. Kami saling berjabat tangan memberi selamat, Bonsai pun berlari menghampiri Kunir dan Hatta yang berada di halaman depan dengan membawa undangan yang diberikan Dewa tadi.

Aku bersyukur, film yang kugarap dengan sangat sederhana itu bisa diapresiasi dengan baik oleh orang banyak. Seandainya saja ada yang tahu, ide cerita film itu berdasarkan pengalaman pribadiku, berasal dari mimpi-mimpi yang menghantuiku sekian lama. Yang menyiksaku, sampai pada suatu pagi aku terbangun dan menyadari aku tak lagi bisa menikmati keindahan seperti layaknya.

Malam itu kami berpesta kecil-kecilan sekedar merayakan keberhasilan yang kami raih. Makanan ringan dan buah-buahan kesukaanku, ada anggur, pir, apel dan nanas. Suci datang membawa sekerat minuman kaleng yang dibelinya di supermarket, malam itu kami benar-benar bersenang-senang. Aku sadar ada yang berubah dengan sikap Suci, tapi cepat kutepis segala prasangka agar tidak merusak kegembiraan kami pada malam.

Tiga hari kemudian. Aku berada di studio dengan menggenggam sebuah skenario. Di sampul depannya tertulis, Film Tiga Sisi Matahari. Tiga hari terakhir ini terasa sangat lama, walau aku berkutat dengan komputer demi menyelesaikan skenario ini, tapi ketidakhadiran Mata Hari telah menjadi kebiasaan yang aneh buatku. Ternyata tanpa melihatnya, aku telah merasa ada sesuatu yang hilang.

Tapi, hari ini sesuatu yang hilang itu akan kembali. Sesuai janjiku, dua minggu yang lalu, Mata Hari akan datang menagih cerita buat film kami. Apalagi Dewa sudah mengetahui bahwa muridnya akan menjadi peran utama dalam filmku, pasti kabar ini pun sudah sampai ke negeri Sembilan. Ada perasaan was-was yang merayap dalam diriku, tapi cepat kutepis agar tidak larut.
“Hai Mahameru, apakabar? Coba lihat siapa yang aku bawa, Mata Hari!” sebuah suara yang kukenali sebagai suara Dewa memecah lamunanku. Aku hanya tersenyum kecil dan menunggu Mata Hari menampakkan dirinya. Ada kerinduan yang coba kuingkari dalam hatiku, tapi kini kubiarkan melebur dalam tatapanku yang nanar.

Seorang gadis berambut hitam pekat dengan senyuman yang anggun muncul dihadapanku.

Rasa apa ini? Berlahan namun pasti, mataku terasa perih sekali, aku tak sanggup membuka mataku, aku segera memalingkan wajahku. Bukan itu saja, hidungku yang menangkap aroma harum jeruk berpadu dengan rempah-rempah, sakit sekali, seperti menusuk-nusuk. Telingaku, aku cepat menutup telingaku. Aku sekarat, aku merasa ajalku telah tiba.

Oh Tuhan, kau kenapa Meru?” teriak Dewa yang mengundang kehadiran Bonsai, Kunir dan Hatta dari kamar sebelah yang berlari menghampiri.

“Kenapa Meru?” Tanya Bonsai.

Aku tidak tahu harus mengatakan apa, aku hanya bisa berbisik pelan  di telinga Bonsai.

“Tolong bawa aku ke kamar,” kataku pelan, seakan nyawaku sudah sampai di tenggorokanku.

Bonsai dengan sigap membopongku masuk ke dalam kamar dan membaringkanku di sofa tempat kami biasa nonton tv. Dia memeriksa mataku, lidahku dan meraba dahiku, mencoba melihat gejala yang sedang kualami. Bagi teman-temanku, serangan aneh ini bukanlah hal yang asing, aku sudah beberapa kali sekarat di depan mereka.
***

Mungkin kalian tidak akan mempercayaiku, tapi Aku telah menemukan keindahan surgawi yang telah menyentuh bumi ini. Aku telah menyaksikan ketiga sisinya, melewati hari-hari bersamanya, dan melihat yang mungkin belum pernah dilihat orang lain sebelumnya. Sayangnya, aku melepaskannya. Aku memilih melepaskannya, karena sakit yang kurasakan takkan mampu lagi kutahan.

Lagipula, seperti kata Ramallah, keindahan itu bukanlah sahabat yang baik! Ia hanya akan menjadi seperti penyakit yang menggerogoti tubuh dan mengundang malaikat maut untuk menjemput nyawaku.

Sedangkan aku, akulah  Mahameru yang telah menerima takdirku, walau sepanjang hidup aku harus bersembunyi dibalik kegelapan dan berlari menghindari Matahari.

******
*Dibuat untuk seseorang yang pernah dicintainya
 
Design by Pocket