Jendela Savana

November 18, 2012


Senja di Sebuah Kampung

Pagi, namun matahari belum tampak. Suasana dingin malam masih tertinggal. Angin berhembus lebut menyapu rambut seorang gadis yang berdiri di tengah savana, mengibas searah dengan rerumput yang bergoyang. Gadis itu tampak tenang, ia membuka jaketnya sebelum melepaskan alas kaki. Seperti tak merasa kedinginan, ia sama sekali tak bergeming ketika kakinya menginjak rumput yang basah karena embun. Ia mulai berjalan dengan langkah kecil, tetap tenang dan anggun. Perlahan direntangkan kedua tangannya seolah ingin memeluk sesuatu. Menghirup napas seperti menikmati aroma kopi yang baru diseduh. Ia terlihat sangat bahagia menjadi perempuan penyendiri yang suka menikmati pagi.

“Milka! Milka! Mil…….ka….!” suara seorang pria berhamburan di padang yang luas itu.

Ya, tentu saja si pria memanggil perempuan penyendiri itu. Milka mendengar, namun ia mengabaikan. Sampai akhirnya sesosok pria tinggi menarik tangannya yang sedang merentang.


“Lepas. Jangan ganggu aku!” ujar gadis putih itu dengan tegas.

Milka berusaha melepaskan tangannya dari cengkraman lelaki itu, namun ia tak kuasa karena tangan lelaki itu jelas lebih besar dibanding tangannya.

“Jangan berusaha memberontak. Pulanglah, kau harus ikut aku.”

Milka tak bergerak. Tanpa basa-basi pria itu menarik Milka, dan gadis itu tampak pasrah. Matanya tampak mendung, sebentar lagi hujan turun.

“Ayah, aku tak mau melakukannya lagi,” isak Milka.

Pria yang ia sebut sebagai ayah itu tampak tak peduli. “Masuk! Jika kau memberontak, aku tak segan untuk memaksamu dengan caraku!”
Milka masuk ke mobil, tentu saja tanpa alas kaki, kemudian disusul ayahnya. Mesin dinyalakan. Mobil sedan itu melaju dengan cepat. Di dalamnya tak ada percakapan kecuali tangis kecil Milka.

“Wanita itu sudah mati, aku tak mau kehilangan untuk kedua kali, jadi ikuti kata-kataku,” ucap Ayah Milka.

Milka, gadis tanpa ibu. Mungkin itulah yang membuatnya senang menyendiri. Anak tunggal, tanpa ibu, tak ada tempat berbagi. Teman? Ia tak pernah punya teman hingga usianya 22 tahun. Sejak kepergian ibunya 10 tahun yang lalu, Milka menjadi pemurung. Ia tak mau ke sekolah karena malu. Setiap pulang ke rumah ia membanting pintu dan menangis. Mengunci diri di kamar.

Melihat sikap Milka seperti itu, ayahnya tak pernah bertanya tentang penyebab kesedihan putrinya. Tak perlu bertanya, karena ia sudah tahu. Ia lebih memilih menjaga perasaannya sendiri daripada menenangkan anaknya. Dan akhirnya, ia memutuskan untuk tidak membiarkan Milka berhubungan dengan dunia luar. Tujuannya, supaya Milka tidak sakit. Namun, yang dilakukan pria itu justru membuat anaknya sakit.

Tangis Milka semakin dalam. Ia teringat peristiwa lalu saat ayahnya mengusir satu-satunya teman baik Milka. Teman yang tidak pernah tahu latar belakang keluarga Milka, mungkin kalau ia tahu maka si gadis hanya akan menjadi objek ejekan bagi temannya itu, dan saat itu ia tidak akan menyebutnya teman, juga merindukannya setiap saat, seperti saat ini. Tapi kenyataannya, yang Milka tahu, sampai saat ini si teman tidak tahu latar belakang keluarganya, bahkan ia pun tak tahu mengapa ayah Milka memisahkan mereka.

“Di mana dia? Aku ingin bertemu dengannya!” gumam Milka.

“Siapa? Wanita itu? Bukankah, kita sepakat bahwa dia telah mati.”

“Ayah, aku mau kembali ke tempat tinggal kita yang dulu, sebentar saja….”

“Untuk apa?”

“Aku rindu sekolah dan teman-temanku.”

“Teman-teman? Berapa banyak temanmu yang tidak kuketahui?”

“Tidak. Temanku. Hanya satu. Yang dulu pernah kauusir.”

“Di sana tak ada rumput,” lelaki berusia 50 tahun itu berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Aku suka Savana, rindu Savana, dia di sana.” Milka membuang pandangannya ke luar jendela mobil.

“Savana? Di Jakarta? Kau benar-benar sakit, Nak.”

***

Mobil berhenti. Terparkir di depan rumah megah. Mereka sampai di tempat tujuan. Si ayah turun lebih dulu dan membukakan pintu untuk anaknya. “Turunlah, Nak. Dia menunggumu.”

Mereka berjalan memasuki rumah megah yang sudah sering mereka datangi. Ya, sekali dalam sebulan Milka dan ayahnya datang ke tempat itu, tentu saja dengan sebuah tujuan. Mengobati Milka. Sudah 8 tahun Milka rutin menjalani pengobatan ini, padahal ia tidak benar-benar sakit.

“Hei, Milka, apa kabar?” sapa wanita berjas putih dengan nama ‘Sara Swendra’ yang terpatri di atas saku bagian kirinya.

“Masih seperti sebulan yang lalu.”

“Apa ada hal buruk yang kau alami dalam sebulan ini?”

“Ya, bukan dalam sebulan, tapi seumur hidupku. Dan kurasa, kau tau itu.”

“Baiklah. Apa kau masih rutin mengonsumsi obat yang kuberi?”

“Tidak. Aku tidak gila. Mungkin ayahku lebih membutuhkan.”

“Kau tak ada kemajuan. Kau akan semakin lama berhadapan denganku.”

“Bukankah itu yang kau mau? Aku tidak gila, tapi kau memaksaku untuk mengaku gila. Aku tidak sakit, tapi kau justru membuatku sakit. Katakan pada ayahku untuk menghentikan ini.”

“Milka, tenangkan dirimu. Aku mengerti posisimu dan apa yang kau rasakan. Kau masih menyimpan dendam pada ibumu.”

“Tidak.”

“Semakin kau menyangkal, semakin menunjukan bahwa kau merasakan hal itu.”

“Cukup. Aku ingin pulang.”

“Tunggu. Apa yang kau inginkan saat ini?”

“Ke Jakarta, melihat Savana.”

“Savana? Di Jakarta?”

Wanita berusia 45 tahun itu menggelengkan kepala. Ia berpikir bahwa Milka memang memiliki gangguan kejiwaan. Sebagai psikiater ia berusaha menolong Milka supaya gadis itu dapat menolong dirinya sendiri untuk lepas dari sesuatu yang disebut penyakit kejiwaan. Namun, seperti kebanyakan psikiater, Sara justru membuat pasiennya semakin merasa sakit. Dengan begitu ia memiliki “pelanggan” tetap. Orang-orang seperti Sara hanya punya satu tujuan, menghancurkan kehidupan pasiennya untuk membangun perekonomian pribadi. Maka, berurusan dengan orang sakit bukan lagi sebagai bukti rasa kemanusiaan, melainkan bisnis semata.

“Kau pasti menganggapku gila, kan?”

“Baiklah, kita sudahi saja untuk hari ini. Tampaknya kau tidak lebih baik dari pertemuan sebelumnya. Aku akan bicara dengan ayahmu. Silakan keluar, panggil ayahmu. Semoga kau sehat selalu. Terima kasih.”

“Aku tidak sakit!” Milka beranjak dari kursinya dan meninggalkan psikiter itu di ruangannya.
Milka mengepalkan tangannya seolah ia siap untuk menghantam apapun yang dilihatnya. Namun, ia tak melakukan itu, karena ia bukan gadis kasar. Ketika kesal ia lebih memilih untuk menangis dan menyendiri.

“Masuklah. Aku sudah selesai. Dia ingin bicara denganmu, mungkin soal ke-GILA-anku.”

“Berhentilah bersikap kekanak-kanakan!” ucap si ayah sambil berjalan menuju ruangan konsultasi.

Gadis itu duduk menunggu. Ia tak memikirkan apa yang dibicarakan mereka. Yang memenuhi kepalanya saat ini hanyalah Savana. Tak ada yang tahu tentang Savana di Jakarta selain dirinya. Bahkan, ayahnya pun -yang merasa sangat mengenal putrinya- tidak sedikitpun tahu hal itu. Milka ingin sekali membenturkan kepalanya ke dinding supaya Savana dapat keluar dari kepalanya, namun ia tak bisa melakukannya. Ia takut sakit, dan semakin sulit untuk melihat Savana. Ia berusaha tampak ‘normal’ seperti yang diinginkan ayahnya. Ia berpikir, mungkin dengan cara seperti itu Savana di Jakarta bukan hal yang mustahil.

“Apa yang kau pikirkan? Ayo pulang.”

“Ayah…. A….”

“Kau mau tahu apa yang kami bicarakan di dalam? Nanti kuceritakan di mobil,” potong ayah Milka sambil menuju parkiran dan putrinya mengikuti di belakang seperti ekor.

***

Mobil melaju tenang di sepanjang jalan yang mulus. Tapi Milka tidak tenang. Ia melemparkan pandangannya ke jendela, sorot matanya tidak fokus. Si ayah mulai curiga dengan sikap anaknya. Ia melirik gadis berambut panjang itu.


“Kau sedang tidak baik hari ini, begitu katanya,” ucap ayah memecah kesunyian.

“Aku tak peduli dengan pendapatnya,” ketus Milka tanpa melepas pandangannya.

“Kau seharusnya….”

“Ayah, aku mau ke Jakarta, seminggu saja,” potong Milka dengan sigap.

“Untuk melihat Savana? Kau ini….”

“Gila? Itu yang ingin ayah katakan? Aku bisa melihat Savana di sana. Aku berjanji, hanya seminggu.”

“Baiklah. Kau tinggal di rumah lama, setelah seminggu aku akan menjemputmu. Lusa, kuantar kau ke Jakarta. Aku akan menyuruh orang untuk membersihkan rumah itu dulu.”

Milka hanya tersenyum, ada sedikit kebahagiaan yang tak dapat ia ungkapkan dengan kalimat, bahkan hanya untuk sepatah katapun tak bisa terlontar dari bibir kecilnya.

“Seminggu. Tidak lebih,” tambah ayahnya.

***

Jakarta, desa raksasa yang rumit. Orang-orang yang datang ke tempat itu adalah orang-orang yang memiliki kerumitan hidup yang tinggi, sehingga mereka butuh sesuatu yang lebih rumit untuk meminimalisir kerumitan dalam dirinya. Jakarta, tempat yang cocok bagi mereka, termasuk Milka.


“Jaga dirimu baik-baik. Aku akan kembali seminggu lagi.”

“Terimakasih, Ayah.”

Milka menginjakan kaki di teras rumah usang itu. Ia kembali ke rumah, bersama itu pula kenangan masa lalunya kembali. Ia membuka pintu rumah masa kecilnya, dan tanpa ijin perasaan lain datang, mengganggu, mendorong airmatanya keluar. Milka menangis, teringat segalanya. Kenangan indah bersama ayah dan ibu. Kenangan pahit saat berpisah dengan ibu yang memilih meninggalkan ia dan ayahnya demi pria lain, rekan kerjanya. Itulah yang membuat ayah Milka tak mau mengingatnya lagi, dan memilih meninggalkan kenangan masa lalu, termasuk rumah, lingkungan dan orang-orang yang sering menggunjing tentang kehancuran keluarganya seolah penjara tanpa dinding. Milka berusaha menepis kenangan buruk itu.

“Aku kembali bukan untuk mengenang ibu. Ibu sudah mati. Aku kembali untuk mencari Savana,” kata Milka pada dirinya sendiri.

Milka menjatuhkan barang-barang yang sudah ia jinjing sejak turun dari mobil. Kaki kecilnya dengan gesit menyusuri anak tangga. Ia berlari dengan cepat, menuju lantai 2, lantai teratas rumahnya. Matanya tertuju pada satu jendela, jendela Savana. Ia menyibak tirai dan mengedarkan matanya ke seberang. Ya, tepat di seberang rumahnya, dulu, ada Savana. Savana tumbuh di sana. Milka melihatnya dan jatuh cinta. Sejak saat itulah muncul Jendela Savana.

“Savana tak tampak. Ke mana dia…,” gumam Milka.

Milka tidak putus asa, dia menunggu seharian di tepi jendela. Di jendela itulah ia mengenal Savana. Savana tempat berbagi segalanya, kecuali masalah keluarga Milka. Mereka hanya berbagi kesenangan. Mandi sinar matahari bersama, menikmati hujan dan piknik seperti sepasang orang dewasa yang sedang jatuh cinta.

“Savana, aku menunggumu. Hari sudah gelap, kuharap saat mentari terbit esok hari kau membangunkanku dengan wewangianmu,” doa Milka dalam hati.

***

Matahari menjalankan tugasnya pagi ini, sinarnya menerobos tirai dan jatuh di wajah Milka, sehingga gadis itu terbangun dari tidur lelapnya. Tanpa berpikir panjang, Milka kembali ke jendela, masih berharap hal yang sama.

Waktu terus berjalan. Jarum jam tanpa ampun terus bergerak. Tapi, Savana tak kunjung terlihat. Milka gusar. Ia melirik jam dinding.

“Jam 11, sudah siang, ke mana Savana? Apakah aku harus mencarinya? Mendatangi rumahnya?” pikir Milka.

Gadis itu berjalan bolak-balik, ia sangat tampak kebingungan. Kemudian ia berlari menuruni tangga. Ia lupa bahwa sejak bangun tidur ia tidak melakukan apapun selain menunggu di jendela. Gadis itu masih terperangkap pakaian tidur, tapi ia tak ragu untuk melangkah dan mencari Savana di seberang sana.

“Ini, kah? Ini tempatnya. Di mana dia….” Milka semakin gusar.

Sekarang, ia berada tepat di depan pintu pagar rumah Savana. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia ingin masuk tapi ia membayangkan hal buruk. Orangtua Savana sangat tahu apa yang terjadi dengan keluarganya. Ia takut tak diterima. Dan hal yang lebih buruk, Savana tak lagi tinggal di sini. Tapi, untuk memastikannya Milka harus masuk. Gadis itu mendaratkan telunjuknya pada bel yang ada di samping pintu pagar. Sekali, dua kali, tiga kali, tak ada yang menjawab. Sekali lagi Milka mencoba, masih sama, hening. Milka beranjak dari tempat itu dengan keputusasaan.

“Maaf….”

Suara asing menerobos telinga Milka. Gadis itu membalikkan badannya, dan matanya menangkap sesosok wanita cantik.

“Saya…,” Milka gemetar.

“Anda mencari siapa?” tanya wanita cantik itu.

“Sa…. Sav…. Savana…, saya ingin bertemu Savana.”

“Oh, saat ini Savana sedang tidak di rumah. Nanti malam dia kembali dari luar kota. Maaf, Anda siapa?”

“Saya Milka, temannya. Saya tinggal di seberang.”

“Owh, saya baru melihat Anda. Silahkan masuk….”

“Tidak, terimakasih. Tolong sampaikan pada Savana, saya ingin bertemu dengannya di jendela.”

“Maaf, di mana?” wanita itu memastikan bahwa ia tidak salah dengar.

“Di jendela Savana.”

Wanita cantik itu mengernyitkan dahi. Menunjukan suatu keanehan dari ucapan Milka.

“Saya permisi. Terimakasih.”

“Baik,” wanita cantik itu menutup pintu masih dengan rasa penasaran.

***

Bulan tampak keruh di balik awan mendung malam itu. Angin pun tak berdesir. Bau tanah menyeruak, menandakan bahwa di bagian wilayah lainnya sudah diguyur hujan. Milka gelisah, ia takut Savana datang telat karena hujan. Ia ingin sekali melihat Savana malam ini. Harus malam ini.

Milka terus berdoa semoga perjalanan Savana lancar, tanpa hujan atau dengan hujan. Milka mulai mencium bau Savana, itu membuatnya semakin tak menentu. Ia merasakan bahwa Savana tidak jauh darinya. Ia mematri matanya ke arah seberang. Sesekali wanita itu menoleh ke jam dinding. Waktu menunjukan pukul 23.45 WIB, namun Savana tak kunjung terlihat.

“Mungkinkah Savana terlalu lelah sehingga sesampainya di rumah ia langsung terlelap? Atau, ia belum sampai di rumah? Bisa jadi ia ingin memberi kejutan padaku esok hari. Atau, ia sudah lupa denganku. Tidak. Tidak mungkin. Ia menyayangiku, ia tak mungkin lupa,” pikir Milka.

Gadis itu mulai kelelahan menunggu. Memang, hal paling melelahkan dalam hidup ini adalah menunggu. Jika yang ditunggu tak kunjung tiba, rasanya segala waktu dan tenaga yang telah dicurahkan menjadi sia-sia. Dan, kelelahan semakin terasa ketika ada perasaan sia-sia yang meraja. Milka tertidur.

***

Kendaraan berlalu lalang, membangunkan Milka dari tidurnya. Di sini, di Jakarta, suara ayam berkokok digantikan degan suara “kuda-kuda besi”. Milka segera melirik jam dinding, jam 08.00 WIB.

“Aku kesiangan!!!” Teriak Milka sambil berlari menuju jendela. Dan, tak ia temukan apapun di sana.

“Aku harus ke rumahnya. Harus. Harus ke rumahnya…!”

Milka menuruni anak tangga dengan gesit. Ia tak takut terjatuh, yang ia takutkan hanya kegagalan bertemu Savana hari ini, sekalipun ia belum membuat janji dengan pria itu. Dengan mantap ia menekan bel. Sekali, dua kali, tiga kali, pintu terbuka.

“Cari siapa ya?”

“Sa…. Sa…. Savanna?”

“Iya, itu saya. Maaf, Anda siapa?”

“Aaa…. Aku…. Aku…. Kau lupa aku? Aku Milka!” jawab gadis itu dengan semangat.

“Milka? Milka?” Savana bingung, setengah tidak percaya.

“Jendela…. Jendela. Jendela Savana…. Kau ingat?” tegas Milka, ia tidak percaya Savana melupakannya.

 “Ya, aku ingat! Milka, ke mana saja kau selama ini?”

“Savana, bisakah kita bertemu di taman nanti sore?”

“Hmmm…, sudah tidak ada taman di sini. Taman kita sudah dijadikan pemukiman penduduk,” ujar Savana sedikit kecewa.

“Harusnya hal itu kupikirkan. Waktu berjalan, tak mungkin tak ada perubahan.”

“Masuklah, kita mengobrol di dalam saja.”

“Tidak, penampilanku seperti ini. Aku masih menggunakan pakaian tidur, dan aku belum mandi,” Milka tertunduk malu.

“Baiklah, ini kartu namaku. Hubungi aku nanti.”

“Terimakasih. Aku rindu padamu, Savana.”

“Aku juga.”

Milka meninggalkan rumah Savana dengan senyum sumringah. Ia merasa hidup kembali. Gadis itu berlari menuju rumahnya, segera mengambil ponsel dan mengirim pesan untuk Savana.

***

Di sebuah taman yang jauh dari rumah….
Sepasang orang muda duduk berdua di taman. Mereka duduk berjauhan, seperti orang yang baru kenal.

“Ke mana saja kau selama ini?” tanya Savana mencoba mencairkan keadaan.

“Aku dibawa ayahku ke Jawa Timur.”

“Mengapa baru kembali?”

“Aku suka di sana, di Semeru. Aku dapat menikmati savana kapanpun aku mau. Dan itu mengingatkanku padamu. Aku sangat merindukanmu,”

“Aku menunggumu bertahun-tahun,” tanya Savana dengan getir.

“Maaf…,” gadis kurus itu merasa bersalah.

“Sekarang untuk apa kau kembali?”

“Untukmu. Aku masih mencintaimu.”

“Jangan. Jangan katakan itu. Aku sudah menikah.”

“Kau pasti bercanda. Ini pasti lelucon. Kau masih suka bercanda seperti dulu, kan? Iya, kan?” Milka mulai gemetar.

Bayangan wanita cantik itu muncul. “Mungkin, kah? Wanita itu isterinya?” batin Milka.

“Itu benar.”

“Bagaimana dengan kita? Dengan jendela? Jendela Savana?”

Savana tak bergeming. Milka menangis.

***

Tak terasa sudah seminggu Milka di Jakarta. Dan, sejak pertemuannya dengan Savana, Milka hanya melamun di jendela. Ayahnya yang datang menjemputnya khawatir melihat kondisi anaknya. Dengan penuh inisiatif, ia memapah putrinya menuju mobil. Milka tak bergeming ketika mobil yang dinaikinya berjalan meninggalkan Jakarta. Selama dalam perjalanan ayahnya terus berpikir apa yang menyebabkan putrinya seperti ini. Sampai akhirnya ia menyimpulkan, Milka menjadi seperti ini karena ibunya. Ia yakin ketika di rumah itu Milka selalu teringat tentang wanita itu, sehingga membuat Milka sakit. Bener-benar sakit.

“Aku sakit, Ayah. Ayah pun sakit. Sakit karena Ibu. Dan aku sakit karena Savana. Kembalikan jendelaku, Ayah…. Karena hanya dari sana aku dapat melihatnya, merasa memiliki Savana,” ucap Milka setengah tidak sadar.

“Sayang, Ayah tidak sakit.”

Airmata mengalir dari pria egois itu. Ia masih menyangkal bahwa ia masih sakit, sakit karena ibu Milka. Ia hanya berusaha tetap berada di posisi aman, tanpa memedulikan anaknya. Ia menutupi kesakitan, bukan menyembuhkannya, sehingga kesakitan itu turut menjangkiti Milka.

*selesai*

 
Design by Pocket