Dinamika Kebijakan Program KB

November 27, 2012


Ada banyak persepsi masyarakat mengenai program Keluarga Berencana (KB) yang mulai disosialisasikan sejak era kepemimpinan Soeharto. Berbagai pandangan ini tidak dapat digeneralisir memiliki persamaan berdasarkan latar belakang kelas sosial maupun status generasi. Misalnya, masyarakat kelas sosial menengah ke bawah dari generasi tua relatif tidak menggunakan KB karena memiliki pola pikir “banyak anak, banyak rezeki”. Sedangkan masyarakat kelas menengah ke atas dari generasi muda sangat menjunjung tinggi program catur keluarga ini.

Ada pula persepsi yang muncul berdasarkan penafsiran agama tertentu serta perbedaan pola pikir masyarakat desa yang tradisional dan masyarakat kota yang relatif  modern. Golongan muslim tertentu meyakini bahwa KB melanggar nilai-nilai agama, sedangkan masyarakat desa yang tradisional masih dianggap memiliki pandangan bahwa anak akan membawa berkah yang melimpah, sebabnya dengan memiliki banyak anak maka rezeki pun akan membanjiri mereka, tanpa melihat kondisi sosial-ekonomi yang dialami.

Sebenarnya, program KB tidak hanya seputar persepsi masyarakat. Pada awal masa sosialisasi, penyosialisasian baru dilakukan pada  masyarakat yang telah memiliki keluarga dalam jumlah besar. Lalu ada masyarakat yang tidak menggunakan KB karena memiliki banyak resiko dan biayanya yang mahal. Selain itu, penggunaan KB juga membicarakan kecocokan dengan kualitas tubuh. Beberapa orang tidak cocok menggunakan KB karena tidak memenuhi sejumlah syarat tertentu. Seperti penderita parises yang tidak dapat menggunakan KB. Dan tanpa penjelasan signifikan, beberapa orang tetap melahirkan banyak keturunan sekalipun telah menggunakan KB. Ada juga masyarakat yang memilih tidak menggunakan KB karena ingin punya banyak anak, tanpa berdasarkan alasan religius maupun dari latar belakang kelas sosial atas dan generasi muda.

Lalu apa yang menjadi perbincangan istimewa dalam program KB. KB atau Keluarga Berencana adalah sebuah program pemerintah untuk membatasi jumlah anak dalam suatu keluarga yang senantiasa dapat berkorelasi langsung dengan kesejahteraan keluarga tersebut. Dari sudut pandang pemerintah, Boediono mengatakan pembatasan jumlah keluarga melalui program KB akan berhubungan langsung dengan kesejahteraan suatu daerah terkait penyediaan akses publik. Sedangkan, masyarakat sendiri memiliki pola pandangan yang relatif.

Hanya saja, melihat fakta bahwa jumlah penduduk Indonesia semakin padat, sementara penyediaan akses publik semakin sempit, program KB pun menjadi sangat penting. Sebuah pendidikan KB diperlukan bagi masyarakat Indonesia untuk memaksimalkan kesejahteraan hidup. Dan dalam program KB sendiri memang terdapat unsur-unsur pendidikan yang membimbing masyarakat pada kesejahteraan, sebagaimana tujuan umum pendidikan.

Pendidikan KB diberikan pada individu untuk dapat lebih memahami dirinya memperoleh kesejateraan. Tanpa melihat persepsi, ada sebuah keluarga miskin di suatu desa memiliki banyak anak. Penghasilan orangtua untuk sebatas bertahan hidup, tidak mampu menyekolahkan semua anak, mungkin hanya Si Sulung yang dipaksakan sekolah. Sementara anak yang lainnya harus ikhlas untuk tidak menikmati pendidikan dan berharap sang kakak sukses dalam sekolahnya hingga membawa perubahan bagi keluarga. Dan itu mungkin hanya sekilas kisah keluarga yang tidak mengenyam pendidikan KB. Dengan KB, keluarga miskin tersebut dapat dididik untuk lebih bisa mengendalikan situasi dengan tidak melahirkan anak tiap dua tahun sekali. Dengan tidak memiliki anak yang terlalu banyak, maka tanggungan keluarga pun relatif berkurang. Upaya menyejahterakan semua anggota keluarga untuk mampu mengakses berbagai kebutuhan dapat lebih memungkinkan untuk dicapai.

Sebagaimana masyarakat di Bayah, Banten. Bayah diketahui telah menjadi desa yang maju. Masyarakat di sana telah mengenyam rata pendidikan, dan tidak sedikit sekolah di Bayah yang telah berstandar nasional.  Lalu, apakah ada ditengah kemajuan Bayah terdapat keluarga-keluarga yang belum mengenyam pendidikan KB. Kemajuan Bayah hanya kamuflase dari sektor pariwisatanya yang menguntungkan. Sementara, kondisi masyarakatnya masih banyak yang tertinggal karena latar belakang keluarga yang tidak mampu sejahtera karena kebanyakan anak. Bahkan, anak-anak di sana masih ada yang perlu bekerja pada usia di bawah umur hanya untuk membantu pendapatan keluarga. Selain itu, usut punya usut, teknologi internet yang menyentuh Bayah sejak tahun 2005 telah meningkatkan taraf kenakalan remaja di Bayah. Mungkinkah hal tersebut bisa dikaitkan dengan kondisi keluarga yang tidak mengenyam program KB. Pendidikan KB juga memberikan wawasan agar tidak memiliki anak di bawah usia stabil, sementara diketahui banyak kasus remaja di Bayah yang hamil di luar nikah.

Dengan demikian, pendidikan KB masih perlu diberikan pada masyarakat desa yang sedang mengalami masa transisi. Dalam hal ini, kemajuan di Bayah telah memberikan kondisi masyarakat yang labil. Tidak hanya bagi generasi tua di Bayah, tetapi juga bagi para remaja yang memang membutuhkan pendidikan KB. Seperti tidak memiliki anak pada usia yang terlalu muda, maupun terlalu tua. Memiliki anak dalam kapasitas dan kualitas tertentu yang diajarkan pada pendidikan KB bisa memberikan kesejateraan tidak hanya dalam lingkup keluarga, tetapi juga suatu wilayah, bahkan negara.
 
Design by Pocket