Oleh: Sekar Anindyaputri*
Maraknya
tingkah laku agresif para pelajar merupakan sebuah masalah yang menarik untuk dibahas. Seorang
pelajar kerap melampiaskan kekesalannya
karena tidak mempunyai sesuatu
dengan mencuri atau merampas hak orang
lain. Adanya keinginan yang tidak terpenuhi membuat beberapa pelajar cenderung bertindak
anarkis. Biasanya, mereka melakukan
tawuran karena alasan sepele, seperti saling
mengejek, rebutan suatu barang, rebutan pacar dan sebagainya.
Tawuran bisa terjadi kapan saja, apalagi melihat
kondisi emosi remaja yang mudah tersinggung. Tawuran biasanya terjadi saat pertandingan
bola antarsekolah. Adanya ketidakpuasan terhadap hasil pertandingan
menyebabkan konflik, yang nantinya akan berujung pada tawuran. Hal
ini tentunya merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan. Generasi yang
diharapkan mampu membawa perubahan bangsa ke arah
yang lebih baik ternyata jauh dari harapan. Kondisi ini juga
dapat membawa dampak buruk bagi masa depan bangsa.
Setiap perilaku
merupakan interaksi antara kecenderungan di
dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan
kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian
pelajar. Faktor yang
menyebabkan seorang pelajar terlibat tawuran, antara lain faktor internal atau kurang mampunya seseorang melakukan
adaptasi pada situasi lingkungan
yang kompleks. Situasi
ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap
orang.
Faktor keluarga
juga menjadi penyebab seorang
pelajar terlibat tawuran. Biasanya,
pelajar yang terlibat tawuran karena kurangnya perhatian dari orangtua. Selain
itu, adanya pembiasaan cara mendidik yang keras di dalam keluarga akan berdampak pada
anak. Sebab, ia belajar
bahwa kekerasan sudah
menjadi bagian dari dirinya, sehingga
ia akan melakukan
kekerasan pula.
Sekolah pun menjadi faktor penting yang menyebabkan seorang
pelajar terlibat tawuran. Sekolah
yang tidak mampu menyediakan kenyamanan bagi peserta
didiknya, akan menimbulkan kejenuhan dalam kegiatan belajar-mengajar. Kejenuhan
tersebut memunculkan sikap perlawanan dari peserta didik. Bahkan, saat ini
seringkali kita temukan kekerasan dalam kegiatan pembelajaran di sekolah. Guru sebagai seorang pendidik lebih sering berperan sebagai penghukum. Maka, peserta
didik menganggap guru tak lebih dari seorang yang otoriter, yang sebenarnya juga menggunakan dan mengajarkan kekerasan pada
peserta didiknya.
Faktor lainnya, yakni lingkungan. Lingkungan membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya, lingkungan yang
masyarakatnya berperilaku buruk akan berpengaruh pada karakter dan dapat merangsang remaja
untuk belajar sesuatu dari sana. Kemudian reaksi
emosional yang berkembang mendukung munculnya
perilaku buruk yang diadopsi dari lingkungan tersebut.
Dari permasalahan di atas kita dapat melihat betapa pentingnya interaksi positif di dalam lingkungan, baik di
lingkungan keluarga maupun di sekolah. Dalam hal
ini, orangtua dan guru menjadi aktor penting untuk menumbuhkan sikap anti
kekerasan melalui pendidikan, dengan cara membentuk kegiatan yang
positif dan bermanfaat yang nantinya dapat mengalihkan remaja dari kegiatan tawuran.
*Siswa SMA
Labschool Jakarta