Oleh: Winona
A.M.*
Tugas sekolah merupakan pekerjaan yang
diberikan guru pada siswanya untuk dikerjakan di rumah sebagai indikator
pemahaman siswa terhadap pelajaran yang diberikan dan diambil nilainya untuk
dimasukkan ke rapor. Sebagian siswa menganggap tugas sekolah sebagai lambang
penyiksaan. Mereka beranggapan, guru tidak seharusnya memberikan tugas yang membebani,
karena selama lima sampai enam hari, dari pagi sampai sore, siswa telah
dijejali pelajaran. Belum lagi, sebagian siswa ada yang harus menghadiri les tambahan
sepulang sekolah, bahkan ada yang sampai larut malam.
Selain itu, masih ada ulangan-ulangan
yang menuntut nilai bagus untuk bisa naik kelas atau masuk jurusan yang
diinginkan, juga untuk lulus sekolah. Sebagian guru selalu berkata bahwa
sekolah tidak “melulu” tentang nilai bagus dan kesuksesan akademik. Tapi
nyatanya, nilai akademik tetaplah prioritas.
SMA Labschool menerapkan sistem “full-day school”. Dalam sistem tersebut,
siswa diharuskan belajar di sekolah dari pukul 06.30 WIB sampai pukul 14-45
WIB. SMA Labschool juga menyediakan berbagai macam ekstrakurikuler yang
dilaksanakan setelah pulang sekolah. Setiap siswa wajib mengikuti paling tidak
satu ekstrakurikuler. Selain itu, banyak pilihan organisasi akademik maupun
non-akademik yang membuat sebagian besar siswanya (yang aktif) selalu pulang
sekolah pukul 17.00 WIB.
Bagi sebagian siswa, Labschool merupakan
rumah kedua. Labschool membiasakan siswanya untuk sibuk. Jadi, ketika sudah
terjun dalam dunia perkuliahan atau dunia kerja, siswa tidak kaget dengan
berbagai kegiatan yang membuat sibuk. Namun, terkadang kesibukan tersebut membuat
siswa merasa lelah, sehingga mereka membutuhkan istirahat. Namun bukan istirahat
yang mereka dapat, melainkan tugas yang menumpuk. Tugas-tugas tersebut
bermacam-macam bentuknya, mulai dari membuat makalah, puisi, rangkuman,
soal-soal latihan, tugas kelompok, dan masih banyak lagi.
Saya mengamati beberapa account Twitter yang dimiliki siswa Labschool,
setiap ada tugas mereka mengeluhkan betapa repotnya tugas itu dan mengkhayalkan
tiba-tiba guru yang memberi tugas berhalangan masuk, sehingga pengumpulan tugas
dapat ditunda. Selain itu, kebanyakan siswa hanya berpikir tentang banyaknya
tugas tanpa menyelesaikannya. Siswa terus memikirkan bagaimana cara menyelesaikan
tugas tanpa perlu repot mengerjakannya. Itu yang selalu mereka kerjakan sampai
tugas itu mencapai sehari sebelum deadline.
Hal tersebut membuat tugas semakin terlihat sulit dan mengerikan.
Fenomena menunda pekerjaan tugas ini
semakin menjamur. Sejujurnya, menumpuk tugas sangatlah tidak bagus. Namun, kebanyakan
dari siswa yang terdesak oleh deadline
merasa otaknya bekerja lebih keras, sehingga mampu menghasilkan ide-ide segar,
baik ide positif maupun negatif, seperti menyalin tugas teman, copy-paste dari Google, dan sebagainya. Sementara,
jika waktu yang tersisa masih banyak, itu membuat siswa menjadi santai. Hal
tersebut merupakan kesalahan maindset.
Otak sudah terbiasa terprogram bekerja
keras jika terdesak, sementara jika tidak terdesak maka otak tidak mau bekerja
keras. Siswa harus mulai merubah mindset-nya,
yang tadinya hanya mengandalkan “The
power of kepepet”, menjadi terbiasa mencicil pekerjaan sehingga terasa
lebih ringan. Sebenarnya, di balik semua kesulitan tugas-tugas itu, terdapat
banyak manfaat bagi para siswa. Siswa mendapatkan manfaat jika tugas-tugas yang
diberikan tidak menjemukan. Dalam hal ini guru dituntut untuk lebih kreatif
dalam memberikan tugas, supaya siswa mengerjakannya dengan senang, tanpa beban.
*Siswa SMA Labschool Jakarta