Siapakah
manusia Indonesia? Pertanyaan itulah yang mengawali esai karya Robertus Robet
yang berjudul Gagasan Manusia Indonesia dan politik Kewargaan Indonesia
Kontemporer. Dari pertanyaan tersebut lahir pembahasan lebih dalam tentang
identitas manusia Indonesia. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Muchtar Lubis
mengemukakan ciri kultural manusia Indonesia. Menurutnya, manusia Indonesia
enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, suka takhayul, artistik dan berwatak
lemah. Menurut Robertus Robet, ciri yang disebutkan Muctar Lubis menyiratkan
bahwa manusia Indonesia memiliki karakter psikologis dan antropologis yang
lebih banyak buruknya daripada baiknya. Lebih jauh lagi, Robet mengemukakan
bahwa kritik Moctar Lubis tentang manusia Indonesia merupakan kritik modernis
terhadap realitas empirik dari konstruksi Manusia Pancasila Orde Baru.
Identitas
dan kewargaan tidak memiliki tetapan dan tidak stabil karena
pendirian-pendirian dasarnya terbentuk sebagai hasil dari kontestasi dan relasi
kekuasaan yang bisa terus-menerus berubah seiring dengan dinamika yang
melatarbelakanginya. Setiap kali membicarakan persoalan kewargaan, maka tidak
bisa terlepas dari suatu konstruksi tertentu mengenai subyek politik modern
dalam relasinya dengan praktek politik, hukum, sejarah dan kekuatan-kekuatan
ekonomi serta kebudayaan. Konsepsi kewargaan bergerak dan berubah seiring
dengan berbagai relasi dan kontradiksi dalam matriks ekonomi-politik Indonesia.
Politik Orde
Baru dimulai dengan politik kewargaan yang ditangkup dalam suatu politik
kebudayaan yang dari awal dimaksudkan untuk mengintegrasikan wilayah mental
dengan wilayah biologis dan dirumuskan dengan sebuah konsep antropologi politis
bernama Manusia Pancasila. Dari konsepsi tersebut dilanjutkan dengan gagasan
kewargaan yang lebih halus, yakni ‘manusia Indonesia seutuhnya’. Politik
kebudayaan berupaya menurunkan konsepsi ‘manusia Indonesia seutuhnya’ ke dalam
bidang-bidang kehidupan melalui institusi kebudayaan dan pranata sosial. Tantangan
terbesar politik kewargaan Orde Baru datang dari dua arah. Pertama, dari
konsepsi mengenai kelas, dan yang kedua dari konsepsi mengenai manusia
universal dalam gagasan HAM. Gagasan kelas menyodorkan suatu tantangan yang
berbasis pada fakta brutal mengenai ketidakadilan akibat perbedaan kepemilikan
sumber daya dalam masyarakat, sehingga masyarakat tidak dapat digeneralisasi
atau distandarisasi. Dalam gagasan ini, konsep kewargaan Orde Baru lebih
merupakan operasi ideologis untuk menciptakan ilusi mengenai keseimbangan dan
keteraturan tatanan. Sedangkan, gagasan HAM menantang pandangan ‘manusia
Indonesia seutuhnya’. Negara tidak berhak mengklaim ‘memiliki’ warganya atas
nama nasionalisme.
Misalnya dalam
kasus Ahmadiyah, hak sebagai warga hanya berarti apabila identitas
Ahmadiyah-nya diakui. Jika identitasnya ditanggalkan, maka lenyap pula
keseluruhan sistem identifikasi universalnya. Bagi mereka, hak sebagai warga
akan berarti jika eksistensinya sebagai Ahmadiyah diakui terlebih dahulu.
Selain itu, dalam kasus sakralitas tubuh perempuan jelas terlihat bahwa
perempuan belum dipandang sebagai suatu kekuatan politik dengan basis identitas
yang kuat sehingga rekonstruksi mengenai tubuhnya sendiri tidak muncul dalam
kontestasi politik kewargaan Indonesia. Dalam kasus kemiskinan pun negara tidak
memiliki kekuatan untuk mentransformasi identitas subyek ekonomi kemiskinan ke
subyek kesejahteraan. Di titik inilah ditemukan bahwa konstruksi politik
kewargaan yang dilakukan negara terbatas pada bentuk ‘kewargaan politik’ bukan
‘kewargaan sosial’. Kesimpulannya, Indonesia kontemporer tidak memiliki
konsepsi dan praktek kewargaan sosial.