Oleh: Putri Cantika
Reviera*
Semakin
banyaknya jumlah anak jalanan menunjukkan bukan hanya kegagalan keluarga dan
masyarakat, tapi juga
negara.
Kehadiran anak jalanan tidak bisa dilepaskan dari
keberadaan kota-kota besar. Anak jalanan merupakan fenomena kota besar di mana
saja, tak terkecuali Jakarta. Kehidupan di Jakarta penuh dengan keglamouran. Namun,
di lain sisi masih ada kehidupan yang memprihatinkan, yakni kehidupan
anak jalanan. Anak jalanan adalah seseorang yang masih
belum dewasa (secara fisik dan psikis)
yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan dengan melakukan
kegiatan-kegiatan untuk mendapatkan uang guna mempertahankan hidupnya yang
terkadang mendapat tekanan fisik atau mental dari lingkungannya. Umumnya mereka berasal dari keluarga
yang ekonominya lemah. Anak jalanan tumbuh dan berkembang dengan latar
kehidupan jalanan dan akrab dengan kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya
kasih sayang, sehingga membuatnya berperilaku negatif.
Di setiap sudut-sudut kota terlihat
begitu banyak anak jalanan yang berusaha untuk mempertahankan hidupnya di kota
metropolitan ini. Contohnya, di wilayah
Jakarta Timur, tepatnya di sekitar Jalan Radin
Inten, Jalan I Gusti
Ngurah Rai, Duren Sawit dan Buaran. Di sana terlihat
sekali banyaknya anak jalanan yang sedang mengais rupiah. Setiap hari, tempat-tempat tersebut tidak pernah kosong dari anak jalanan. Di setiap waktu, dari
pagi hingga malam hari mereka
tetap berada di sana. Anak-anak
tersebut mengemis-ngemis di jalan, mereka berumur 3 sampai 14 tahun.
Di konsep sosiologi dikenal
istilah penyimpangan
sosial. Hal tersebut dapat terjadi pada kehidupan anak-anak
jalanan. Belum lama ini, terjadi sebuah kasus sodomi yang dilakukan oleh Baekuni
alias Babeh. Ia menyodomi anak-anak jalanan. Bila korbannya
menolak, ia tidak segan-segan membunuh, kemudian memutilasi untuk menghilangkan
korban dan jejak pembunuh. Hal ini membuktikan
bahwa dalam kehidupan anak-anak jalanan
sangat rentan dengan penyimpangan sosial. Penyimpangan sosial semacam itu
telah melanggar batas norma hukum, juga
agama.
Kasus kekerasan (fisik, psikologis,
maupun seksual) yang dialami anak jalanan hingga terungkap ke publik hanya sedikit dari banyak kasus-kasus kekerasan yang sebenarnya
sering terjadi di dalam kehidupan mereka. Oleh
karena itu, tidaklah terlalu berlebihan jika
dikatakan bahwa anak jalanan senantiasa berada dalam situasi yang mengancam
perkembangan fisik, mental dan sosial bahkan nyawa mereka. Dalam situasi
kekerasan yang dihadapi secara terus-menerus, maka pelajaran itulah yang
melekat dalam diri anak jalanan dan membentuk kepribadian mereka.
Permasalah anak jalanan merupakan tugas pemerintah
yang tak kunjung terselesaikan. Pemerintah bertanggung jawab atas kehidupan mereka. Namun yang terjadi, bukan mengatasi
permasalahan anak jalanan, pemerintah justru memberantas mereka dengan
cara-cara yang tidak manusiawi. Peran dan kebijakan-kebijakan pemerintah seharusnya tidak sebatas merazia dan menangkap anak-anak jalanan,
tetapi bagaimana supaya mereka tidak kembali lagi ke jalanan dan menikmati
pendidikan tanpa harus merasakan kehidupan jalanan.
Penanganan terhadap anak-anak jalanan ini harus
bersifat terpadu, tidak hanya melibatkan
anak itu sendiri, tapi juga keluarga,
dan masyarakat (termasuk lembaga pemerintah dan negara). Sangatlah
sulit memberdayakan anak-anak itu untuk kembali ke masyarakat karena mereka
telah terbiasa hidup dengan norma-norma mereka sendiri, yang kadang kala tidak
sesuai atau bahkan bertabrakan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Akan lebih sulit lagi apabila mereka sama sekali sudah terlepas dari
orang tua atau keluarga. Pemberdayaan juga perlu dilakukan terhadap masyarakat
untuk bersedia menerima anak-anak itu sebagai bagian dari masyarakat itu
sendiri. Banyak masyarakat yang bersikap apriori terhadap anak-anak jalanan
ini. Mereka mengganggap anak-anak itu sebagai sumber gangguan dan kegaduhan,
yang perlu disingkirkan jauh-jauh dari mereka.
*Siswa SMA Labschool Jakarta