Bertuhan Tanpa Agama

Desember 05, 2011


Dapatkah anda menjawab, agama budayakah atau agama langitkah? Setiap keyakinan memiliki paham tersendiri tentang konsep Tuhan dalam sistem persembahannya. Oleh karenanya masih bisakah agama-agama itu disebut sebagai agama langit, yang diyakini keseluruhannya merupakan kemauan Tuhan. Lalu jadilah agama-agama itu sebagai agama budaya juga. Pembagian menjadi agama langit dan agama budaya pun sering menimbulkan diskusi yang tak bertitik. Pengelompokan agama langit dan agama budaya masih menyisaakan kesan mendalam karena suatu anggapan, yaitu apa pun nama Tuhan mereka, pada hakikatnya Tuhan hanya ada satu.
Tuhan adalah wujud dari kesadaran supranatural bagi mereka yang meyakininya. Eksistensi Tuhan sulit untuk ditampik keberadaannya. Termasuk oleh mereka yang selama ini menyatakan dirinya seorang atheis. Tapi ternyata mereka -orang yang anti Tuhan- tidak menolak eksistensi Tuhan. Seperti pandangan Karl Marx, Freidrich Nietzche, Ernst Bloch, dan Hegel terhadap agama. Ungkapan Marx bahwa agama adalah produk alienasi atau agama sebagai sumber alienasi yang dipaparkan Hegel, tidak berarti bahwa mereka menolak keberadaan Tuhan dan Agama. Ini menumbuhkan suatu pandangan bahwa manusia yang tidak perlu merasa beragama untuk berjumpa dengan Tuhan. Argumen ontologis menunjukkan bahwa Tuhan berarti perfect being, wujud yang sempurna. Kesempurnaan itu merupakan kombinasi dari kekuasaan, kebaikan dan realitas yang sempurna pula.
Muncul pertanyaan yang mendasar, mungkinkah manusia bisa mengenal Tuhannya tanpa melalui lembaga keagamaan? Manusia memiliki bagian yang paling fundamental yaitu intelejensi, perasaan dan kehendak (Frithjof Schuon). Intelejensi ditempatkan dalam bagian yang paling penting. Karena dengan memahami intelejensi sebagai sesuatu yang ada dalam diri kita, maka akan ditemukan realitas absolut yang mahabaik dan berkuasa. Walaupun tidak dapat dicapai melalui kehendak Tuhan tetapi kita harus menyadari hal tersebut bisa dicapai melalui cinta dan kebajikan Tuhan. Inilah yang diyakini sebagai “iman”. Iman merupakan proses dialektis antara duniawi dan transenden, yang sifatnya mendasar dan individual sehingga tidak dapat diukur secara kuantitatif.
Iman secara personal bisa dipahami sebagai pengalaman religius yang mendalam dari seseorang, pengaruh dan akibat-akibat dari yang transenden terhadap seseorang. Jadi, dapat disepakati bahwa fenomena bertuhan tanpa agama, bukanlah sesuatu yang aneh. Karena fenomena ini muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap institusi agama yang kerap mendukung tercipta dan berkembangnya diskriminasi. Apalagi manusia, secara lahiriah memiliki kapasitas untuk langsung berkomunikasi dengan Tuhan tanpa melalui institusi agama. Dan fenomena munculnya manusia yang bertuhan tanpa agama harus dimaknai sebagai bentuk kritik terhadap tereduksinya peran agama oleh kepentingan pribadi pemuka agama.
Berthran Russell, seorang filosof yang memiliki figur pemikir bebas ini menulis buku yang provokatif tentang filsafat, sains dan agama yang diberi judul Bertuhan Tanpa Agama. Buku ini memaparkan wujud penolakan keras terhadap akar-akar fundamentalisme, dogmatisme irasionalisme yang ada dalam agama.
Dalam buku ini Russell secara habis-habisan mengkritik agama, namun bukan berarti ia adalah orang yang anti agama secara keseluruhan. Justru, ia merupakan seorang yang sangat memperhatikan agama, memiliki keprihatinan terhadap agama, dan memiliki harapan serta dorongan yang kuat terhadap berfungsinya agama-agama bagi kehidupan manusia dan kemanusiaan. Dalam kritiknya ia meyakini dua hal yang utama, yaitu kecenderungan besar agama-agama untuk lebih mengedepankan dogma yang seringkali menjadi penghalang bagi pertumbuhan akal budi, dan kedua, kecenderungan praksis sosial agama yang lebih banyak menimbulkan pertentangan, perpecahan, perang dan penderitaan manusia sebagai akibat dari upaya mempertahankan dogma beserta klaim-klaim akan satu-satunya kebenaran yang mengungguli serta meniadakan kebenaran yang lain.
Dalam konteks Indonesia, kritik dan saran Russell terhadap agama-agama dapat dijadikan referensi untuk belajar menata kembali wajah agama-agama yang lebih manusiawi, dan lebih menghargai hak hidup manusia. Walaupun memiliki banyak perbedaan, tidak perlu ada diskriminasi dengan alasan bahwa yang lain itu tidak lebih benar daripada yang dianutnya.

 
Design by Pocket