The Great Debaters*

Desember 05, 2011



Amerika Serikat terbelah oleh dua ras paling bertentangan di muka bumi, ras anglo saxon atau yang biasa disebut orang kulit putih, dan yang satunya lagi adalah ras kulit hitam atau negroid. Kala itu, jurang pemisah antara keduanya terbentang sangat lebar, kebencian di antara keduanya sangat kental dan membathin. Tidak ada yang paling diinginkan orang kulit putih selain menyiksa dan membunuh orang kulit hitam. Terlebih, konteks yang diambil adalah Texas, sebuah kota di negara bagian Amerika Serikat yang sebagaimana diketahui adalah daerah kekuasaan orang kulit putih. Sedangkan Texas adalah wilayah yang dikenal paling rasis di Amerika Serikat.

Seringkali, perasaan tertekan memberikan seseorang kekuatan terselubung. Kondisi tertindas mengangkat mental seseorang untuk melawan. Ketidakharmonisan antara pikiran untuk melawan dan kondisi yang tidak mendukung memunculkan sebuah revolusi. Dan inilah yang tertuang dalam film The Great Debaters, sebuah  film tentang rasialisme yang masih kental di Amerika Serikat pada era 1930-an.

Cerita bermula dengan tarian dan suasana hiburan orang kulit hitam di suatu tempat, sementara di tempat lainnya seorang pastur sedang mengumandangkan keagungan pendidikan yang mampu menganugerahkan perubahan bagi siapapun. Pendidikan adalah alat untuk memperoleh keadilan dan kebebasan yang mereka -orang kulit hitam- kehendaki. Dengan pendidikan pula, mereka akan mampu memperbaiki aturan dunia agar menempatkan hak yang sama pada setiap ras.

Secara tersurat film The Great Debaters lebih megutamakan isu rasialisme, yakni paham yang mendeskripsikan warna kulit dan suku bangsa. Namun jika dilihat lebih mendalam film ini mengisyaratkan banyak isu yang menarik. Misalnya, pendidikan, politik, dan sosial. Dalam film ini pendidikan digambarkan sebagai sesuatu yang dapat membuat perubahan besar. Pendidikan di sini sangat berperan dalam pencapaian kesetaraan dan kebebasan. Pada tahun 1935, kuatnya paham rasialisme tumbuh sampai ranaah pendidikan. Di mana ada pendiskriminasian berdasarkan warna kulit. Kulit putih dianggap lebih pantas memperoleh pendidikan dibanding kulit hidam. Selain itu, orang kulit putih dianggap lebih pintar dibanding orang kulit hitam.

Dalam bidang politik, film ini menceritakan kulit hitam yang dianggap sebagai komunis. Karena pada masa itu, orang-orang kulit hitam lebih banyak menjadi buruh dan petani. Sedangkan komunis selalu dikaitkan dengan dua profesi tersebut karena lambang komunis menggunakan palu dan arit yang sangat identik dengan buruh dan petani. Kulit putih menyakini kegiatan komunis tersebut didalangi oleh aktor intelektual, yakni Mr. Tolson, ia merupakan salah satu tokoh dalam film ini.

Ada banyak tokoh yang berperan penting dalam membangun cerita, namun hal ini justru membuat tidak begitu ada tokoh yang menonjol karakternya dan hanya menjadikannya wayang yang menguraikan cerita. Sebagaimana Mr. Tolson yang menjadi guru debat dan berhasil mengantarkan muridnya memperoleh gelar juara secara terus-menerus, namun di lain sisi, ia adalah seorang radikal yang membangun kekuatan para petani dan buruh untuk membuat perubahan.

Dalam bidang sosial, film ini mengisahkan ketertindasan kulit hitam. Kesulitan memperoleh pendidikan bagi orang kulit hitam, kesulitan bergerak kaum petani kulit hitam, dan pembakaran orang-orang kulit hitam. Yang semua itu membuat ketakutan-ketakutan sosial. Belum lagi, dominasi orang kulit putih dalam seluruh aspek. Selain itu, partisipasi perempuan dalam segala bidang masih sangat kurang. Orang-orang negro juga tidak diijinkan meemiliki sertifikat lahir.

Kondisi ini memancing kaum intelektual kulit hitam untuk bergerak, yang kemudian didukung oleh masyarakat kulit hitam lainnya. Kaum intelektual yang memiliki akses terhadap pendidikan tidak menyiakan kesempatan tersebut. Melalui pendidikan mereka ingin mengubah keadaan. Beberapa intelektual kulit hitam mengikuti pemilihan sebagai anggota kelompok debat Wiley College, yang pada akhirnya menyisakan empat orang terpilih, yang terdiri dari tiga laki-laki dan satu perempuan, Hamilton Burgess, Henry Lowe, James Farmer dan Samantha Booke. Samantha Booke merupakan satu-satunya perempuan yang berani mendaftarkan diri. Kemampuan perempuan itupun diragukan karena sebelumnya tidak ada partisipasi perempuan dalam kegiatan semacam ini. Namun dalam ujian pemilihan, perempuan tersebut mampu menunjukan kemampuannya.

Kelompok debat tersebut terus berlatih dan belajar untuk memenangkan beberapa ajang perdebatan. Keberadaan kelompok debat tersebut tidak diragukan lagi karena mereka mampu memenangkan beberapa ajang lomba debat. Media massa pun mempublikasikan prestasi mereka. Mereka tidak segan untuk mengajukan diri sebagai lawan (menantang).

Pada suatu hari, terjadi suatu masalah di dalam kelompok debat tersebut. Karena pembimbing debat dianggap terlibat dalam kelompok komunis, orang tua Hamilton Burgess meminta anaknya untuk keluar dari kelompok debat. Akhirnya, Hamilton Burgess memutuskan untuk keluar, dan kelompok debat kehilangan satu anggotanya. Mereka hanya tinggal tiga orang, namun itu tidak membuat mereka patah arang.

Pada suatu hari, kelompok debat tersebut mendapat undangan untuk berdebat dengan kampus Oklahoma. Kampus Oklahoma tidak menerima orang kulit hitam datang ke wilayahnya dan pihak Oklahoma pun tidak mau datang ke kampus kulit hitam, maka dari itu debat digelar di luar kampus, di ruang terbuka. Akhirnya, kulit hitam memenangkan perdebatan tersebut.

Meskipun anggota kelompok debat hanya terdiri dari tiga orang, namun mereka tetap melanjutkan perjuangan. Lomba demi lomba mereka menangkan. Namun, pada suatu hari salah satu anggota debat yang termuda –James- mempermasalahkan partisipasi di dalam kelompok. Ia merasa tidak diberikan kesempatan untuk menjadi pendebat, selama ini ia hanya aktor di belakang layar. Padahal, secara karakter James memiliki keberanian yang lebih jika dibandingkan dengan kedua temannya. Ia mengutarakan keluhannya kepada Mr. Tolson. Setelah James mengutarakan keluhanya, Mr. Tolson ditangkap oleh polisi karena dugaan partisipasi dalam kelompok komunis.

Disinyalir pemerintahan pada saat itu juga memiliki ketakutan dengan keberadaan kelompok debat orang-orang kulit hitam tersebut. Bahkan, masyaratkat kulit putih menuduh kelompok debat tersebut bagian dari kelompok komunis. Sehingga seluruh kegiatan mereka menuai kecurigaan. Namun, setelah diselidiki tidak ada keterlibatan Mr. Tolson dengan kelompok komunis, dan akhirnya ia dibebaskan.

Setelah kejadian tersebut James mendapat kesempatan untuk berdebat di hadapan publik, namun pada saat itu ia tidak siap karena ada faktor psikologis yang memengaruhinya, sehingga menyebabkan mereka tidak memenangkan lomba debat tersebut. Pada satu kesempatan mareka diperkenankan untuk berdebat di Harvard College. Awalnya mereka merasa minder untuk memenuhi debat tersebut, namun pada akhirnya mereka berani menerima.

Akhirnya, mereka datang ke Cambridge tanpa didampingi oleh Mr. Tolson karena ia sudah masuk ”daftar hitam”. Sesampainya di Harvard mereka disambut dengan baik. Namun, yang membuat mereka hampir putus asa adalah pada saat perubahan tema debat. Perubahan tema tersebut sangat mendadak. Tema diubah menjadi Ketidakpatuhan Penduduk Adalah Senjata Moral di Dalam Perlawanan Melawan Hukum. Perubahan tema tersebut sempat menimbulkan konflik di dalam kelompok, ada pertentangan antara James dan Henry mengenai bagaimana memulai perdebatan tersebut. James lebih memilih memulai debat tersebut dengan pemikiran Gandhi tentang Satyagraha, namun Henry tidak setuju. Pada akhirnya Henry mengalah dan perdebatan tersebut dibuka dengan menggunakan konsep Gandhi tentang Satyagraha. Pada perdebatan tersebut mereka mampu mengalahkan pendebat dari Harvard.

Para pendebat dari Wiley College yang selalu juara dan pada akhirnya berhasil mengalahkan Harvard juga tidak dimainkan oleh karakter yang menonjol. Film ini tidak bermaksud memunculkan suatu karakter khas, tetapi kekuatan cerita itu sendiri yang membuat film ini menarik perhatian banyak pihak.

Tidak mudah untuk menuju kemenangan tersebut. Perjuangan panjang mereka lalui untuk menggugah kesadaran masyarakat supaya berani melawan bukan menghindar. Mereka menggugah masyarakat melalui pendidikan. Meskipun sebelumnya telah banyak orang-orang kulit hitam yang berjuang, namun perjuangan tidak hanya berhenti di satu titik. Perjuangan harus tetap dilanjutkan.

Secara keseluruhan, film ini bercerita tentang perjuangan melawan rasialisme. Banyak kulit hitam memiliki apa yang disebut Marx sebagai kesadaran palsu. Mereka sadar akan ketertindasan yang merenggut banyak kebahagiaan dalam hidup mereka, namun mereka sama sekali tidak bisa melakukan perlawanan. Atas nama ketertindasan inilah pendidikan muncul bagai cahaya yang menuntun mereka untuk meraih kebebasan sebagai manusia seutuhnya.

Negro Amerika ini menyadari ketertindasan mereka, dan sejumlah pihak meyakini untuk melawan ketertindasan itu mereka harus memiliki bargaining position yang kuat di dalam masyarakat yang didominasi oleh kulit putih. Mereka menyadari, bahwa mereka sama dengan manusia lainnya di muka bumi ini. Hanya berbeda warna kulit, dan seharusnya bukan karena hal itu pembedaan terhadap manusia diadakan. Dan mereka memang sama dengan manusia lainnya, mereka memiliki kecerdasan, bahkan kecerdasan yang tidak biasa. Sebagaimana yang dimiliki oleh James Farmer dan James Farmer Jr.

Perlawanan tidak selamanya terkait dengan kekerasan. Perlawanan dalam film ini lebih elegan dan tepat sasaran. Mereka melawan kaum kulit putih melalui perdebatan. Mereka tidak akan bisa berdebat jika tidak memiliki pengetahuan yang cukup, untuk itu mereka membaca dan melalui pendidikan mereka memperkaya ilmu pengetahuan.

Pendidikan adalah kunci dari perlawanan, dan itu terbukti. Film yang dilatarbelakangi dari kisah nyata ini membuktikan bahwa pendidikan bisa memberikan perubahan dan perkembangan ke arah yang lebih baik. Pendidikan bisa menghilangkan ketidakmungkinan dan dalam hal ini, pendidikan bisa membawa kaum kulit hitam diakui sebagai manusia yang memiliki hak sama.

*Ditulis oleh Trisna, Sayang, Rianita dan Christina M.
 
Design by Pocket