Musik
merupakan sesuatu yang sangat disukai oleh kebanyakan orang. Pasalnya, musik
senantiasa menemani kegiatan manusia, begitu juga dengan perkembangan teknologi
rekaman dan alat-alat yang canggih menyebabkan semua orang dapat lebih mudah
menikmati musik. Musik merupakan perilaku sosial yang komplek dan universal, di
dalamnya memuat banyak ungkapan gagasan dan ide.
Musik
tidak hanya dipandang menjadi sebuah sarana hiburan dan rekreasi, lebih dari
itu musik memiliki peran tersendiri dalam sebuah pendidikan, seperti dalam
proses komunikasi menyuarakan pesan maupun kritik terhadap suatu hal dengan
gaya bahasa yang dimiliki oleh musisi. Melalui musik, orang dapat menjelaskan
maksud hati atau pengalaman jiwanya, selain itu musik juga dapat memengaruhi
orang untuk menikmatinya. Dengan liriknya, musik dapat membawa suasana hati,
baik dalam perasaan sedih maupun bahagia, bahkan dapat menimbulkan rasa puas.
Sebagai commodity listening, dalam perkembangannya musik (yang diyakini
sebagai bahasa universal yang bisa memberikan kehangatan rohani bagi si
pendengar dan mungkin bisa membuat tubuh bergoyang) ternyata punya logika atau
bahkan ideologinya sendiri. Musik rupanya relatif bisa mengisi waktu luang
manusia, selain itu musik dianggap dapat mengatasi permasalahan psikologis
seseorang. Seperti lagu-lagu pop yang dipandang dapat merefleksikan kesulitan
remaja dalam menghadapi kekusutan persoalan emosional dan seksual.
Lagu-lagu tersebut menyerukan kebutuhan
untuk menjalani kehidupan secara langsung dan intens. Lagu-lagu itu
mengekspresikan dorongan akan keamanan di dunia emosional yang tidak pasti dan
berubah-ubah. John Storey mengungkapkan bahwa “lagu-lagu pop diproduksi bagi
pasar komerisal, berarti lagu dan setting-nya
kekurangan autentisitas. Kendati demikian, lagu-lagu tersebut mendramatisasi
perasaan-perasaan autentik dan mengekspresikan dilema emosional remaja dengan
gamblang.”[1]
Dalam lagu, kata-kata merupakan tanda
dari suara. Sebuah lagu selalu merupakan performa, dan kata-kata dalam lagu
senantiasa diucapkan, sarana bagi suara, struktur bunyi yang merupakan tanda
langsung dari emosi serta ciri dan karakter. Lagu-lagu pop tidak merayakan
sesuatu yang diartikulasikan melainkan sesuatu yang tidak terartikulasikan, dan
penilaian terhadap penyanyi pop tidak tergantung pada kata-kata melainkan pada
bunyi yang timbul di sekitar kata-kata.
“Bunyi yang
timbul di sekitar kata-kata (misalnya ketidakmampuan menemukan kata-kata yang
tepat dan karena itu menggantinya dengan bahasa sehari-hari) merupakan tanda
emosi dan kesungguhan yang nyata. Ketidakjelasan penuturan kata, bukan puisi,
merupakan tanda konvensional dan kesungguhan penulis lagu populer.”[2]
Ketika mencari makna dalam sebuah lagu
sudah pasti yang dilihat adalah liriknya. Padahal, makna sebuah lagu tidak bisa
direduksi sebatas kata-kata. Kata-kata adalah bunyi yang bisa dirasakan lebih
dahulu sebelum menjadi pernyataan-pernyataan untuk dipahami. Lirik ditulis
untuk dimainkan. Lirik akan benar-benar hidup dalam penampilan seorang
penyanyi.
Kritik terhadap dugaan kedangkalan
lirik-lirik musik pop, karenanya, kehilangan fokus. Kata-kata dalam musik pop
tidak dimaksudkan sebagai sajak. Musik pop meminjam bahasa sehari-hari, kata
yang basi, kejadian sehari-hari dan mementaskannya dalam sebuah permainan suara
dan performa yang efektif. Hasilnya, membuat kata-kata sederhana menjadi enak
didengar, membuat bahasa yang biasa menjadi hidup dan bertenaga, kata-kata
selanjutnya beresonansi, kata-kata itu membawa sentuhan fantasi ke dalam
penggunaan biasa kita atas kata-kata itu.
Selain sebagai hiburan, ternyata musik
juga dikonsumsi sebagai pembentuk identitas, karena hal ini terkait dengan
selera dan status sosial seseorang atau kelompok. Konsumsi musik merupakan
salah satu cara bagi seseorang atau kelompok untuk memalsukan identitasnya dan
mereproduksi dirinya sendiri secara kultural dengan menandai pembedaan dan
perbedaan dari anggota masyarakat lainnya.
Jadi, mengonsumsi musik tertentu menjadi
sebuah cara mangada (way of being) di
dunia. Konsumsi musik digunakan sebagai tanda yang dengannya remaja menilai dan
dinilai oleh orang lain. Musik menyediakan sense
akan komunitas. Ia adalah komunitas yang tercipta melalui tindakan konsumsi.
Dalam hal ini, remaja tampil sebagai masyarakat konsumen. Bagi mereka, musik
dapat berubah menjadi arena angan-angan yang dikuasai oleh hasrat untuk
menaklukan dunia yang dirasa suram karena persaingan identitas, atau persisnya
perburuan merebut pasar (publik musik) yang tidak seimbang dan seolah tanpa
akhir.
[1] John Storey, Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop,
(Yogyakarta: Jalasutra, 2007), hlm. 126.
[2] John Storey, Ibid., hlm. 134.