Budaya Barat jelas
mengesankan bagi masyarakat Indonesia, ini terbukti dari peniruan-peniruan yang
dilakukan oleh masyarakat terhadap gaya hidup, tata nilai, dan bahkan
pemikiran-pemikiran Barat. Meski terjadi usaha resistensi dan perimbangan
terhadap fenomena ini, namun imbalan-imbalan sesaat budaya kosmopolis Barat
terlalu memesona untuk disingkirkan. Sebenarnya, pesona Barat sudah bergaung
sejak zaman kolonialisme Belanda. Namun, objek keterpesonaan masyarakat tidak
pada “fisik”, pesona Barat saat itu terletak pada kebebasan dan ilmu
pengetahuan. Dalam hal ini jelas terlihat perbedaan antara pesona Barat di zaman
kolonial dengan pesona Barat kontemporer. Saat ini, hal-hal yang berbau Barat
(makanan, fashion, arsitektur, musik,
film dan sebagainya) telah menjadi kiblat. Sejalan dengan itu, media turut
memperbesar gairah masyarakat untuk menjadi bagian dari pemuja Barat.
Dalam konteks
Indonesia, sistem kapitalisme Orde Baru (Orba) dalam industri media secara umum
tidak memberi peluang kepada masyarakat untuk mau menikmati budayanya sendiri
ataupun merangsang kegiatan dan kreativitas kultural lokal masyarakat. Secara stuktural,
negara tidak memberikan iklim bagi persoalan pembentukan
identitas, negosiasi nilai, dan perlawanan terhadap budaya dominan. Pasalnya,
Orba menjadi pintu masuk bagi modernisasi, industrialisasi, dan urbanisasi yang
diiringi oleh munculnya kultur konsumtif dalam masyarakat.
Modernitas dan
globalisasi membentuk masyarakat menjadi semakin seragam atau homogen dengan
sistem standarisasi melalui teknologi, hal-hal yang bersifat komersial, dan
sinkronisasi kultural terhadap budaya Barat. Modernitas dalam bidang budaya mengalihkan
nilai-nilai tradisional dengan nilai-nilai modern. Realitas tersebut dibentuk
pada masa Orba, di mana Soeharto memberi kelonggaran khusus pada orang-orang
dekatnya menjadi agen-agen media untuk mengusai industri perfilman.
Vissia Ita Yulianto dalam bukunya menjelaskan bagaimana
kekuasaan Orba dalam memonopoli media di Indonesia. Sebagai contoh, kebijakan dan kelonggaran yang diberikan Soeharto pada
Sudwikatmono yang memperoleh akses khusus untuk mendapatkan kucuran dana dan
investasi dari Amerika untuk menjadi pengusaha dalam industri perfilman Indonesia. Sudwikatmono memiliki
hubungan khusus dengan Harmoko, terutama sejak 1970 telah menjadi importir film Mandarin dan film Barat terkemuka
dan pemilik bioskop 21, yang
memiliki outlet di seluruh kota besar di Indonesia. Selain menjadi pengimpor
terbesar, pemilik grup bioskop 21 ini memiliki 283 layar dari keseluruhan
sebanyak 2.850 yang ada di bawah 2.345 gedung bioskop.[1]
Dalam hal ini, outlet-outlet tersebut menjadi ujung tombak transmisi budaya yang berpengaruh
besar terhadap kesadaran persepsi dan gairah masyarakat luas terhadap
modernitas dan globalisasi. Gaya hidup, ideologi kebebasan, prestise dan fashion
adalah sebagian nilai-nilai Barat yang ditampilkan melalui media demi meraup
keuntungan. Hal ini menandakan bahwa sebenarnya keberadaan budaya pop -yang
dihasilkan melalui teknik-teknik industrial produksi massa dan dipasarkan untuk
mendapatkan keuntungan dari khalayak konsumen massa- telah sejak lama
berkembang di Indonesia.
Seakan telah
mengakar, budaya pop merambah ke seluruh lapisan masyarakat, tidak terbatas
kelas dan golongan atau status sosial tertentu. Maraknya industri media massa
seiring dengan globalisasi menandakan bahwa kapitalisme telah bermain di arena
budaya pop dengan memanfaatkan keberadaan remaja sebagai penikmat dan
pengonsumsi. Prom Night merupakan
ruang konsumsi paling nyata bagi para remaja.
Budaya pop yang
erat kaitannya dengan budaya komersil sebagai dampak dari
produksi massal turut membangun Prom
Night menjadi ikon penting bagi remaja. Sebuah ikon di
mana para remaja dapat mengendarai mobil mewah, memakai
gaun mahal, pergi ke salon berjam-jam hanya untuk hadir dalam
acara tersebut. Hal ini membuat Prom
Night dekat dengan kegiatan konsumsi. [2]
Kegiatan konsumsi
yang dilakukan banyak remaja demi sebuah Prom
Night memang tampak berlebihan. Namun, bagi mereka semua itu tak sebanding
dengan kepuasan
yang mereka dapatkan dari acara tersebut.
Prom Night dan budaya pop
merupakan dua hal tidak dapat dipisahkan. Di satu sisi budaya pop menghidupkan Prom Night di kalangan remaja, di lain
sisi Prom Night menjadi wadah bagi
budaya pop untuk menyebarkan produknya dalam lingkungan remaja melalui kegiatan
konsumsi. Konsumsi di sini tidak hanya dipahami sebagai konsumsi nilai, manfaat dan
suatu keperluan material, tetapi konsumsi di sini juga dipahami sebagai tanda. Hal
itu ditegaskan oleh Mike Featherstone, menurutnya “dalam banyak hal, orang (khususnya remaja) dipandang
sedang terlibat dalam permainan tanda yang kompleks, yang menirukan atau
menggemakan kejenuhan tanda dalam lingkungan yang terbentuk.”[3]
Prom Night
merupakan budaya yang berasal dari Amerika. Di negara asalnya acara ini sudah
mendarah daging dalam kehidupan remaja. Acara ini dihidupkan melalui budaya
pop. Budaya pop seringkali disamakan dengan budaya yang remeh temeh, tidak
mendidik, merusak dan kontroversial. Maka tak heran, jika Prom Night menjadi kontroversial karena di dalamnya hidup budaya
pop.
Budaya pop (fashion, dansa, musik, film) dipandang
didominasi oleh media. Berbagai pilihan muncul berdasarkan ketentuan-ketentuan
yang diambil dari sisi kehidupan lain, yang terdapat dalam film, fashion, periklanan, serta anjuran yang
tidak terbatas dari ikonografi perkotaan. Hal inilah yang mengundang daya tarik
masyarakat, khususnya remaja.
Remaja dapat
didefinisikan sebagai kelompok yang semakin dibentuk oleh pasar. Remaja berada
pada masa terjadinya kontradiksi antara nilai-nilai tradisional dan nilai-nilai
baru seperti konsumsi. Remaja dibentuk oleh kemunculan budaya konsumen.
Remaja dipandang
sebagai kalangan yang menjadi motor utama terbentuknya budaya global. Remaja
wajib diperhitungkan sebagai generasi muda, sebagian karena mereka menjadi
pasar konsumen yang penting. Kebangkitan generasi muda sebagai sebuah pasar
seiring dengan semakin meningkatnya cengkraman budaya pop.
Dibuat dan dikemas
secara menarik, serta memiliki sasaran wilayah dalam penyebarannya membuat
budaya pop terus hidup dan berkembang, bahkan di sekolah sekalipun. Maka tak heran jika sekolah tak luput dari
kehadiran Prom Night. Pasalnya,
acara tersebut dihidupkan oleh
budaya pop yang kian mendominasi dalam kehidupan sehari-hari.
Inilah potret dominasi budaya Barat di institusi pendidikan.
[1] Vissia Ita Yulianto, Pesona Barat: Analisa Kritis-Historis
tentang Kesadaran Warna Kulit di Indonesia, (Yogyakarta: Jalasutra 2007),
hlm. 109.
[2] Konsumsi lebih dari sekedar
aktivitas ekonomi (mengonsumsi produk atau menggunakan komoditas untuk
memuaskan kebutuhan-kebutuhan material). Lebih dari itu, konsumsi juga
berhubungan dengan mimpi, hasrat, identitas dan komunikasi.
[3] Mike Featherstone, Postmoderinisme dan Budaya Konsumen,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 239.