Pendidikan di Indonesia lebih condong
pada aspek kognitif yang hanya berfokus pada transfer of knowledge, tetapi tidak mampu mengembangkan potensi
individu secara keseluruhan. Paulo Freire menekankan bahwa pendidikan merupakan
proses pembebasan, dan pendidikan adalah sebuah proses membangkitkan kesadaran
kritis. Maka, pendidikan yang sesungguhnya harus mampu mengembangkan potensi
kemanusiaan yang ada dalam diri individu. Jadi, pendidikan tidak hanya
persoalan transfer of knowledge,
tetapi meliputi transfer of skill dan transfer of value.
Namun pada kenyataannya, pendidikan di
Indonesia sangat jauh dari hal tersebut. Selama ini, pendidikan lebih condong
untuk mengejar target formalitas. Sehingga mengabaikan tujuan utama pendidikan,
yakni pembentukan watak dan kepribadian positif pada diri individu. Pendidikan
di negara ini hanya terfokus terhadap simbol-simbol semata, seperti nilai pada
rapor, indeks prestasi dan sebagainya. Tingkat keberhasilan belajar hanya
diukur berdasarkan penilaian hasil belajar secara berkelanjutan melalui ulangan
atau ujian dan tugas. Padahal, penilaian tersebut hanya mencerminkan satu aspek
saja, yakni kognitif.
Saat ini fokus tujuan pendidikan
semakin menyempit. Pendidikan hanya dilihat berdasarkan
nilai kompetensi akademik. Seharusnya, pendidikan mengarah kepada hal-hal yang lebih
bersifat realistis dan
mempertimbangkan perbedaan karakter setiap individu, sehingga peserta didik
tidak merasa tertekan dengan beban pelajaran dan tuntutan nilai tinggi. Dengan
ini, pendidikan dapat mendorong siswa untuk belajar sesuai dengan bakat dan
kemampuan, serta dapat memberikan ruang bagi siswa untuk mengekspresikan diri
mereka sebagai remaja. Sayangnya, sistem pendidikan di Indonesia tidak
memperkenankan peserta didik untuk mengekspresikan bakat alamiah mereka sebagai
remaja.
Itulah yang disebut pendidikan gaya bank
oleh Paulo Freire. Dalam pendidikan gaya bank manusia dianggap sebagai makhluk
yang dapat disamakan dengan sebuah benda dan gampang diatur. Pendidikan semacam
ini tidak membentuk peserta didik agar mereka dapat melihat realitas sosial
secara kritis. Selain itu, sistem yang demikian telah melunturkan sisi
kemanusian yang seharusnya menjadi poin penting dalam ranah pendidikan.
Penuturan informan di atas menggambarkan
secara jelas bagaimana beban yang dialami peserta didik. Beban yang mereka
alami membuat mereka terisolasi dari realitas sosial. Ketika mereka terisolasi
dari realitas sosial yang mengitarinya, maka mereka tidak mungkin dapat membawa
perubahan apa pun dalam kehidupan sosial masyarakat.
Tumpukan pelajaran, perjuangan mencapai
nilai tertinggi, serta kerja keras menyelesaikan beban pelajaran yang semakin
berat telah menciptakan tekanan yang berlawanan dengan kebutuhan perkembangan
siswa yang lebih mendalam. Pada umumnya remaja seusia mereka sedang membangun
identitas diri, menjalin hubungan, menyimpan banyak pertanyaan penting tentang
kehidupan dan menjadi lebih mandiri. Namun, sistem persekolahan tidak memberi
kesempatan pada siswa untuk membangun identitas mereka sebagai remaja. Kondisi
ini membuka celah bagi lembaga lain, yakni media massa, untuk menuntun siswa
menemukan identitasnya. Karakter, perilaku, gaya hidup dan cara berpikir
generasi muda telah dikendalikan oleh media massa.
Negosiasi
Prom Night dan Budaya Pop di Sekolah
Dengan sangat cermat, media massa mampu
melihat celah untuk masuk ke dalam ruang sosial remaja. Saat sekolah tidak lagi
mampu memberi apa yang remaja butuhkan, media massa mampu memberi kebutuhan
mereka. Media massa merupakan sebuah alat untuk memasarkan berbagai produk
industri. Dalam hal ini, remaja menjadi sasaran kerena karakteristik mereka
yang lebih cenderung labil dan mudah dipengaruhi, sehingga mendorong munculnya
berbagai gejala perilaku konsumsi. Untuk mengonsumsi barang dibutuhkan sebuah
ruang yang dapat terus direproduksi. Ruang tersebut diproduksi dan direproduksi
supaya mereka dapat terus mengonsumsi. Tujuannya, demi keuntungan pekerja
industri. Remaja telah dipandang oleh pekerja industri sebagai kalangan yang
dapat dicetak sesuai dengan selera mereka, menjadi sasaran produk dan menjadi
konsumen agar meningkatkan keuntungan.
Media menuntun remaja untuk menciptakan
ruangnya sendiri. Dalam konteks ini, muncullah Prom Night sebagai ruang tersebut. Prom Night diproduksi sebagai ruang di mana remaja bebas menunjukan
eksistensi mereka. Mereka bisa mendapatkan apa yang mereka tidak dapatkan di
dalam kelas maupun dalam kegiatan organisasi, karenanya Prom Night menjadi sebuah ruang untuk melepaskan ide-ide yang telah
lama terbelenggu, pelepasan segala beban remaja dan di sinilah remaja
mendapatkan “kebebasannya”.
“Anak-anak yang
kalah bersaing dalam ranah akademis dan prestasi…justru akan lari pada
kebiasaan hedonis. Perilaku ini seperti mencari kesenangan dengan cara
memamerkan kekayaan dan menunjukan pada teman-teman sekolahnya bahwa ia kaya.”[1]
Prom
Night menjelma sebagai semacam perayaan bagi kebebasan
remaja. Hal itu jelas tampak dari antusias mereka terhadap acara tersebut.
Bagaimana Prom Night dibentuk menjadi
sebuah acara yang bebas, mewah dan menjadi ruang konsumsi merupakan sebuah
perwujudan imaji-imaji remaja yang selama ini tidak terealisasikan. Selain itu,
Prom Night juga dibentuk sebagai
ruang yang dapat memproduksi modal simbolik, baik bagi siswa, orang tua siswa,
maupun sekolah.